Novel Pukul Setengah Lima Karya Rintik Sedu: Ketergantungan kepada Orang Lain atau Teguh Andalkan Diri Sendiri - Soeara Moeria

Breaking

Minggu, 03 Desember 2023

Novel Pukul Setengah Lima Karya Rintik Sedu: Ketergantungan kepada Orang Lain atau Teguh Andalkan Diri Sendiri

Ilustrasi karakter Danu. (Foto Rintik Sedu)

Judul : Pukul Setengah Lima

Penulis : Rintik Sedu

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Terbit : 21 September 2023

Peresensi : Anjar Pratiwi, mahasiswi Fakultas Ilmu Budaya Prodi Sastra Indonesia Universitas Diponegoro Semarang


Novel Pukul Setengah Lima, karya terbaru Rintik Sedu pada tahun 2023 merupakan tulisan dengan beragam pesan, mulai dari ranah keluarga, romansa, hingga diri sendiri. Pesan khusus yang hendak dibagikan Rintik Sedu atau Tsana sebagai pengarang dalam Novel Pukul Setengah Lima diselipkan lewat tanda-tanda tersirat ataupun tersurat.


Salah satu pesan dalam Novel Pukul Setengah Lima karya Rintik Sedu ialah tentang ketergantungan kepada orang lain atau pilihan untuk tetap teguh mengandalkan diri sendiri. Hal demikian ditunjukkan oleh Alina, tokoh utama perempuan dari karya ini yang membawa latar belakang dari keluarga tidak harmonis.


Situasi tersebut berdampak pada karakternya yakni tidak menggantungkan nasib hidup dan kesehariannya kepada orang lain. Dia mencoba menggarisbawahi makna “rumah” dengan sesuatu / seseorang yang statis, bukannya dinamis.


Seharusnya, “rumah” adalah “tempat” dengan berbagai kenyamanan dan kasih sayang bagi seluruh penghuni. Biasanya, definisi itu merujuk pada relasi terdekat yaitu keluarga. Di sana, seorang anak dan orang tua menjadi sandaran satu sama lain dalam suka dan duka.


Saat menghadapi masalah, misalnya, keluarga sudah semestinya menjadi pihak yang mampu diandalkan untuk sekadar menenteramkan hati. Atau lebih lanjut, keluarga merupakan pihak yang dapat membantu menghadapi dan menyelesaikan persoalan. Jadi, seringkali seseorang menggantungkan dirinya pada keluarga yang dinilai bisa memberikan semua keamanan hidup.


Analoginya adalah ketika situasi sulit datang, keluarga adalah titik pasti untuk mencari pembelaan dan mendapat solusi. Akan tetapi, Alina tidak demikian. Dia menjauh dari perspektif mengenai keluarga yang yang terhimpun dari beberapa individu itu dijadikan titik ternyaman dalam segala situasi.


Sebab di sana, dia harus hidup dengan orang tua yang ayahnya berani melakukan kekerasan dan ibunya hanya diam menerima. Oleh karenanya, ketika berinteraksi sosial, Alina selalu menerapkan konsep bahwa manusia sifatnya dinamis atau dapat berubah kapan saja. Dia juga berpikir manusia dan kepentingannya adalah sesuatu yang tidak bisa dipisahkan kaitannya. Jadi, sudah pasti manusia bukan “rumah” yang seharusnya bersifat tetap, statis, dan tidak berubah-ubah dalam memberikan afeksi kepada penghuninya.


Alina tampak menunjukkan pengaplikasian prinsip tersebut misalnya ketika harus menghadapi suatu situasi pada ranah percintaan.


“Aku mau kita putus, Na.”


“Oke,” kataku.


“Oke?” katanya, terdengar tidak terima. (Sedu, 2023: 8—9).


Kutipan di atas adalah situasi saat pasangannya mengatakan ingin mengakhiri hubungan mereka.


Prinsipnya otomatis diterapkan di sini, dia langsung saja mengiyakan tanpa mencoba mengupayakan untuk tetap bersama-sama.


Kenapa ya, selalu ada orang kayak dia? Kenapa orang yang minta putus duluan kerap kali tidak terima dengan apa yang mereka dengar selanjutnya?


“Ya… oke. Kamu mau putus, ya udah,” kataku lagi.  (Sedu, 2023: 9)


Selain keluarga, terkadang pasangan juga dijadikan “rumah” bagi beberapa orang untuk menggantungkan diri atau bersandar sepenuhnya.


Situasi demikian berpeluang terjadi karena dua perspektif apabila dikaitkan dengan kondisi latar belakang relasi keluarga.


Pertama adalah karena berasal dari keluarga yang harmonis, sehingga ingin mencurahkan berbagai bentuk kasih sayang yang diterima dari internal kepada orang lain yaitu pasangan. Kedua adalah situasi sebaliknya, pihak itu berasal dari keluarga tidak harmonis, sehingga menganggap perlu mencari tempat nyaman pada orang lain seperti pasangan.


Namun, dalam situasi di atas, karakter Alina yang tegas belum termasuk dalam bagian kedua perspektif. Dia sama sekali tidak menjadikan pasangan adalah “rumah” meski keluarganya pun tidak harmonis. Dirinya lebih memilih untuk berdiri di kaki sendiri atau mengandalkan diri sendiri sebagai garda terdepan saat menghadapi permasalahan.


Aku tidak suka membela sesuatu yang sudah tidak ada artinya. Memberikan alasan kadang hanya menambah beban. Buatku, kata putus tidak perlu penjelasan panjang lebar. Putus adalah tanda titik yang pasti. Sekali diucapkan, sudah jelas tersampaikan (Sedu, 2023: 9).


Karakter Alina dapat menjadi bentuk realisasi individu tegas dan mandiri serta selalu menaruh kewarasan diri sendiri sebagai prioritas. Dia mampu menolak bergantung atau mengaduh pada pasangannya agar bertahan bersamanya.


Akan tetapi, Alina juga merupakan individu yang dinamis dan prinsipnya tidak selamanya mampu diaplikasikan, apalagi menyangkut kebutuhan kasih dan sayang.


Latar belakang keluarganya yang kurang harmonis tentu memengaruhi sikap dan tindakannya dalam setiap momen kehidupan. Alina dalam babak selanjutnya diceritakan sebagai manusia biasa yang membutuhkan rasa kasih sayang dan kenyamanan dari orang lain.


Misalnya ketika dia memilih untuk mengganti namanya saat bertemu secara tidak sengaja dengan tokoh Danu dalam bus kota. Dia menggunakan nama samaran yaitu Marni yang merupakan nama ibunya. Alina memutuskan menjadi orang lain demi “kabur” dari situasi kelam.


Bersama Danu, karakter baru bernama Marni menemukan kebahagiaan dan mendapat curahan kasih sayang yang mampu menghidupkan kembali semangat dan tawa dalam wajahnya.


Bersama Danu, dia bisa menjalani hari-hari yang lebih menyenangkan. Lantas muncul harapan interaksi hangat itu mampu bertahan lama.


Akan tetapi, takdir belum merestui impiannya. Semesta memilihkan jalan bagi tokoh Danu untuk pergi tanpa kabar dan hanya meninggalkan kenangan indah dalam pikiran Alina.


Situasi demikian membuat Marni mencari-carinya dan rela menunggu berjam-jam di halte bus kota demi bertemu Danu. Hal itu bisa menjadi tanda bahwasannya Marni alias Alina menemukan kenyamanan saat bersama orang lain yaitu Danu, sehingga dia ingin memberikan proteksi atas hal tersebut.


Berbeda dengan hubungan sebelumnya yang langsung bisa diputuskan dengan tegas tidak akan meminta orang lain untuk tinggal, di sini Alina tersirat berharap Danu terus membersamainya.


Pada perhitungan waktu yang terus berjalan, dia tetap tidak bertemu dan akhirnya memilih berdamai dengan takdir dengan merelakan kepergian Danu dan melanjutkan hari-harinya. Dia kembali menjadi diri Alina yang menjalani kehidupan dengan berporos pada rutinitas monoton.


Namun, Tsana sebagai penulis kembali menyuguhkan fakta pada akhir cerita tentang Alina yang akhirnya menemukan figur Danu dalam tokoh baru. Dia bertemu orang baru bernama Aksa dan Alina mengambil peluang masuk ke dunia baru pula dengan nama samaran Dinda.


Lebih mendalam, Alina menemukan kembali kebahagiaan dan kenyamanan ketika bersama orang lain karena mampu membawanya kabur dari dunia yang menyedihkan. (04)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar