Novel Pukul Setengah Lima Karya Rintik Sedu: Tokoh Siti dan Konsep Keadilan Tuhan bagi Semua Makhluk - Soeara Moeria

Breaking

Minggu, 03 Desember 2023

Novel Pukul Setengah Lima Karya Rintik Sedu: Tokoh Siti dan Konsep Keadilan Tuhan bagi Semua Makhluk

Foto kolase @rintiksedu. 

Judul : Pukul Setengah Lima

Penulis : Rintik Sedu

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Terbit : 21 September 2023

Peresensi : Anjar Pratiwi, mahasiswi Fakultas Ilmu Budaya Prodi Sastra Indonesia Universitas Diponegoro Semarang


Tokoh Siti memang bukan yang utama dalam Novel Pukul Setengah Lima karya terbaru Rintik Sedu pada tahun ini, 2023. Meski demikian, kehadiran tokoh Siti dalam Novel Pukul Setengah Lima memiliki peranan tersendiri dalam penyampaian pesan atas relasi Tuhan dan makhluknya.


Lebih khusus, tokoh Siti dalam Novel Pukul Setengah Lima menjadi sosok yang dengan jelas menampilkan sisi keadilan Tuhan bagi semua ciptaannya. Bagian adilnya Tuhan tersebut dilihat dari kelebihan / keungguhan dan kelemahan yang menyertai tokoh Siti.


Misalnya, dia dinarasikan sebagai sosok perempuan yang pandai sebagaimana diceritakan oleh tokoh Alina. Siti bukan perempuan bodoh. Dia pintar, lebih pintar dariku. Dia bahkan sering menawarkan bantuannya untuk mengerjakan bagian pekerjaanku, ya asal aku jangan membocorkan rahasianya yang itu (Sedu, 2023: 17).


Siti merupakan rekan kerja dari Alina. Sehari-hari, dia digambarkan sebagai orang yang sering sok dekat. Dia juga selalu bercerita banyak hal, sekaligus melakukan timbal balik kepada rekannya untuk menjadi pendengar yang baik ketika Alina bercerita.


Kelebihan Siti apabila dimaknai dari penggunaan kata “pintar” tersebut berarti berkorelasi pada non-fisik, sedangkan dia pun mempunyai keunggulan lain yang berasal dari segi fisik atau penampilan.

Dia memang dinarasikan dalam figur perempuan sempurna yang membawa karunia terbaik Tuhan, secara fisik ataupun non-fisik layaknya intelektual.


“Lha, bener, kan, Yo? Semua orang suka Siti. Cantik, seksi, pinter, supel. Dari pejabat sampe tukang sate, kalau ngobrol sama dia pasti seneng. Dia tuh… sempurna, kurangnya cuma jatuh cinta sama laki orang aja. Yah, Tuhan emang adil, ya, Yo?” (Sedu, 2023: 24).


Lengkap sudah penceritaan tokoh Siti yang unggul bahkan dalam hal interaksi sosial, seperti berkomunikasi dengan orang dikenal ataupun tidak. Sebagaimana dikatakan oleh Alina, dia mampu menjadikan situasi menjadi lebih santai dan akrab, bahkan dengan penjual satai yang notabene bukan orang terdekatnya. Jadi, kemampuannya dalam menjalani hidup sebagai makhluk sosial dapat dikatakan telah mencapai tahap mumpuni.


Namun, di sisi lain keadilan Tuhan dinilai tertunjuk pada tokoh Siti ini, yakni mengenai hal yang sudah dikatakan Alina sebelumnya tentang rahasia di kantor. Dia memiliki rahasia yaitu jatuh hati dengan atasannya di tempat bekerja, bernama Farid, padahal laki-laki tersebut telah menikah.


Apabila menengok dari sisi kesetaraan, status Siti sebagai perempuan sempurna seharusnya mampu dan layak mendapatkan sosok pria dengan derajat sempurna juga. Akan tetapi, realitasnya dia malah menyandarkan hatinya pada laki-laki yang posisinya sudah terikat oleh perempuan lain dalam akad resmi yang sah bagi agama dan negara.


Sebagai sesama perempuan, apabila Siti merupakan istri dari bosnya itu, pasti akan sakit hati dan cemburu pula ketika sang suami ternyata menjalin hubungan bersama perempuan lain. Namun, Siti di sini pun sakit. Dengan segala kelebihannya, dia malah dinilai gagal mendapatkan sosok yang lebih baik dari Farid.


Kondisi Siti yang demikian dapat lebih dipahami apabila mencoba melihat respons dari tokoh Tio ketika menanggapi pernyataan tentang kelemahan Siti adalah menyukai pria tidak lajang.


“Na, itu mah bukan kurangnya Siti. Sejak kapan jatuh cinta sama punya orang tuh sebuah kekurangan? Jatuh cinta mah nggak ada yang salah, Siti juga nggak pernah tuh nyuruh lakinya buat milih dia dan ninggalin istrinya.” 


“Kamu suka sama Siti, ya?”


“Apaan sih? Nggak.”


“Kamu belain dia barusan.”


“Hah? Siapa yang belain, sih? Cuma ya, namanya cinta, mana bisa diajarin?” (Sedu, 2023: 24—25).


Pandangan tokoh Tio tersebut menjadi pendapat dan perspektif lain dalam memahami karakter dari Siti yang terus memuja Farid, meski sudah tahu risikonya kelak. Sikap dan rasa sayangnya kepada atasan telanjur dalam dan jauh, hingga akhirnya suatu hari akhirnya rahasia tersebut diketahui oleh sang istri.


Masa itu, terjadi keributan besar di kantor dan semua karyawan mengetahui kejadian antara suami-istri dan perempuan bernama Siti. Di sana, dia memang menangis, tetapi puncak fakta dari perasaan yang sesungguhnya bukan mengenai pertikaian dengan sang istri dari laki-laki yang dicintainya.


“Lo tahu apa yang lucu, Al?” tanya Siti. “Sejak dulu gue tahu ini bakal terjadi. Tapi ketika benar-benar terjadi, ternyata gue nggak pernah siap.”


“Nggak siap apa, nih? Nggak siap dilabrak di tengah banyak orang kayak gitu?”


“Bukan… Buat gue, itu mah bukan masalah besar. Gue nangis bukan karena jadi tontonan,” jawab Siti. “Tapi, gue nggak siap lihat Farid lebih memilih istrinya dibandingkan gue.” (Sedu, 2023: 129).


Percakapannya dengan Alina di atas membuat Alina sendiri tidak lagi menggunakan logika dalam menanggapi situasi yang menimpa Siti. Kondisi Siti kala itu benar-benar telah hilang, dalam artian, dia telah kehilangan dirinya sendiri dengan memutuskan untuk menyerahkan segenap dirinya pada atasannya, yaitu Farid.


Tanpa menyisakan apa pun, dia tetap memikirkan bagaimana kisah cintanya bersama Farid, meski faktanya hubungan mereka tidak bisa dikatakan sebagai sebuah hubungan yang layak. Hal demikian dapat menjadi tanda atau petunjuk tentang konsep manusia beserta segala yang dimilikinya telah mempunyai porsi masing-masing.


Sebagaimana nasib Siti dengan kelebihan fisik dan non-fisik, tetapi dua dianggap kurang bertakdir baik dalam hubungan romansa. Begitu juga apabila direfleksikan kepada individu-individu lain, tentu setiap manusia telah dibekali dan ditakdirkan dengan seimbang atas keputusan terbaik oleh Tuhan. (05)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar