Menguak Penyalahgunaan Money Politic dalam Pilkada - Soeara Moeria

Breaking

Minggu, 19 Januari 2020

Menguak Penyalahgunaan Money Politic dalam Pilkada

Ayu Nurhayati
Oleh : Ayu Nurhayati, mahasiswi Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Islam Malang
 
Dalam kasus pilkada sudah tidak heran jika ada pelanggaran disetiap sudutnya. Seperti yang sering terjadi adalah kasus money politik atau dikenal dengan politik uang. Pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat yang seyogyanya diselenggarakan demi menegakkan nilai-nilai demokrasi itu justru menimbulkan berbagai permasalahan yang pelik. Tidak jarang para calon pilkada terkesan menghalalkan segala cara untuk memenangkan plikada tersebut. Dalam Pemilihan pilkada serentak masing masing calon kepala desa tentu sudah bersosialisasi baik secara langsung maupun tidak langsung melalui tim sukses, saksi atau para simpatisan. Berbagai cara tentu sudah dilakukan masing masing pilkada untuk meraih hati warga desa. Itu tentu sah saja selama tidak ada aturan dan norma yang dilanggar. Mereka kerap melakukan tindakan politik uang yang mencederai nilai-nilai demokrasi yang dibangun oleh semangat reformasi. Tidak hanya dalam Pilkada, dalam Pileg pun sering terjadi kasus-kasus serupa.

Politik uang ini merupakan salah satu calon pemimpin daerah harus menyiapkan modal uang yang fantastis demi pemenangan sebagai pemimpin daerah. Sudah tidak sedikit cerita yang beredar, kalau tidak punya modal tidak usah nyalon kepala daerah. calon kades harus mengeluarkan uang sekian banyaknya, banyak pertanyaan yang muncul kemudian. Darimanakah asal uang yang dikeluarkan calon kades? Lalu kenapa sampai sebegitu beraninya calon kades menghabiskan uang selama pencalonan? Apakah nanti setelah jadi, akan fokus bekerja untuk rakyat atau sebaliknya? dari pertanyaan di tersebut bisa jadi relatif, tengantung siapa dan apa kepentingannya. darimanapun sumber uangnya, menebar uang dengan tujuan untuk menang, itu pembodohan bagi rakyat. Disuatu misal dana pencalonan Rp 500 juta sampai Rp 1 milyar, itu masih rasional karena masih ada potensi keuntungan yang bersumber dari Dana Desa dan semacamnya. Kalau demikian adanya, berarti pesta demokrasi yang kita lakukan masih sebatas seremonial. Pesta hura hura, pesta menggerogoti uang calon kepala daerah. Pesta yang hanya kesenangan semu sementara. Karena setelah pesta pilkades usai, siapapun yang terpilih, dipastikan sebagian atau mungkin keseluruhan hak masyarakat sebagai rakyat akan hilang.

Korupsi pemilu bisanya terjadi dalam tiga bentuk. Pertama, penerimaaan dan kampanye yang berasal dari sumber-sumber yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan; Kedua, penyalahgunaan fasilitas negara dan jabatan untuk keperluan atau tujuan kampanye (abuse of power); dan Ketiga, pembelian suara pemilih (money politic) Dari laporan yang diterima Bawaslu itu juga diketahui bahwa praktik politik uang terjadi dalam bentuk pemberian uang dan bingkisan yang sebagian besar dilakukan oleh relawan. Hal ini menunjukkan betapa masih longgar dan banyaknya celah dari aturan-aturan yang dibuat untuk menjaga kontestasi politik ini agar terbebas dari praktik politik uang. Disamping itu, hal ini juga menunjukkan bahwa belum ada pengawasan ketat dan pemberian hukuman yang setimpal kepada pelaku politik uang. Undang-undang terkesan hanya dibuat tanpa ada pengawasan yang berarti dalam pelaksanaannya. Kurang sadarnya masyarakat Indonesia akan budaya politik yang baik juga merupakan salah satu pendorong masih banyaknya kasus politik uang dalam pemilu. Masyarakat cenderung pasif akan adanya kontestasi politik dan merasa pesimis akibat tidak adanya calon yang dianggap memiliki kapabilitas untuk memanggul jabatan publik. Tingkat pendidikan juga sangat mempengaruhi daya kritis masyarakat dalam memilih seorang kepala daerah dan anggota legislatif. Calon-calon kepala daerah dan legislatif yang minim gagasan pun bisa jadi akan terpilih karena masyarakat tidak kritis akan figur yang menjadi calon.

Politik uang dalam penyelenggaraan pemilu merupakan sebuah tindakan yang sangat mencederai nilai-nilai demokrasi yang coba dibangun berdasarkan semangat reformasi. Kita tidak bisa menyalahkan satu pihak atas kronisnya permasalahan ini. Banyak hal yang dapat menjadi faktor mengapa praktik politik uang masih terus terjadi baik itu karena longgarnya aturan maupun kesadaran masyarakat akan budaya politik yang baik. Begitu pun dengan korupsi, sebuah tindak kejahatan yang sangat merugikan negara karena korupsi menyalahgunakan jabatan publik untuk memperkaya diri sendiri. Dua variabel; politik uang dan korupsi pejabat publik seperti lingkaran setan yang sulit diberangus karena dua hal tersebut saling mempengaruhi satu sama lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar