![]() |
https://luvizhea.com |
Cerpen Kartika Catur Pelita
Bermula dari seorang nelayan mencari kayu untuk bahan dayung perahunya. Maka ia teringat pada kebun rimbun di samping makam di pinggiran pantai. Ia gegas menaiki sepeda ontel dan berkeliling di kebun petai cina.
Ia terpikat pada pohon yang batangnya seukuran dua kali lengan lelaki dewasa. Ia memanjat dan memotong dahan seukuran lengan. Ia menebang, crus, sesuatu itu jatuh. Buk, bukan batang atau dahan, tapi malah tubuh si nelayan tua. Aneh, ia terjatuh dari pohon petai setinggi dua puluh meter, ia tiba-tiba terbangun, dan terbungkuk-bungkuk menaiki sepeda. Pulang.
Ia tak terluka sedikit pun, namun kala hendak mengontel sepeda, tiba-tiba tubuh tua dan sepeda renta menghempas, menghunjam ke bumi. Gelap gulita menyelubungi benak, kemudian ia tak ingat apa-apa.
* * *
Sejak ditemukan pingsan di bawah pohon petai, dan dibawa ke rumahnya, nelayan tua terlihat seperti orang linglung. Setiap pagi bangun tidur, ia tak mandi. Padahal biasanya ia seorang yang tak betah kotor, ia dijuluki raja mandi. Tak mandi di sumur, pun mandi di laut tidak, asal tubuh terbuai air. Tubuh hitam legam, bersisik khas nelayan. Entah.
Ia kini enggan mandi, tepatnya takut air. Kulitnya busik, kasar. Ia suka garuk-garuk, mungkin tubuhnya terasa gatal. Ia pun suka membungkuk-bungkuk ketika berjalan. Ia sering cengar-cengir sendirian, padahal ia dulu pendiam, jarang tersenyum. Melihat lagak dan polahnya maka tersiar kabar jika ia terkena sawan beruk.
“Ia lancang berani menebang pohon keramat.”
“Kebun petai itu angker. Ia kena kutuk.”
”Kalau tak segara disembur Mbah dukun, bisa-bisa ia jadi kera selamanya.’
“Mengerikan!”
“Makanya jangan bertindak ngawur.”
“Jangan asal menebang pohon. Apalagi pohon yang ada ‘penunggu’nya!”
* * *
Sejak nelayan tua terkena sawan beruk, ia terlihat semakin gila berperilaku seperti monyet. Ia melepas baju, telanjang dada tinggal mengenakan celana kolor lusuh. Tubuhnya yang kekar legam berbulu menguarkan perilaku seekor primata
Setiap hari duduk-duduk di pos ronda, enggan bekerja, tidak mau menebar jaring atau jala, bahkan memancing ikan pun, tak. Ia memilih melakukan sesuatu yang menurutnya biasa saja, padahal perilakunya menarik perhatian orang. Ia suka cengar-cengir, naik di atas pohon, garuk-garuk, melompat-lompat. Nguik-nguik, suara-suara aneh berdesis dari mulut dowernya.
Ia suka diam-diam saba dan menari di kebun pisang, memakan pisang sekenyang-kenyangnya. Orang-orang memandangnya beraneka reaksi. Ada yang kasihan. Ada yang menyumpah, ada yang takut. Anak-anak malah mengolok-olok. “Ada beruk, ada beruk...”
Aneh, ia tidak marah. Malah tertawa ringan, kegilaan semakin menjadi-jadi. Berhari-hari, berminggu. Tentu pihak keluarga merasa prihatin. Mereka ke sana-ke mari mencari obat. Mendatangi dokter, paranormal, tabib, hingga kiai. Obat-obat dan terapi pun diberikan. Tak mempan. Kelakuan si nelayan tua semakin menggila. Pernah beberapa kali ia berak dan tak cebok. Tai basah-kering berceceran di mana-mana. Warga mengusulkan agar ia dipasung. Pihak keluarga jelas-jelas menolak. Mereka pun mendatangi dukun. Dukun mengatakan hal miris: nelayan tua terkena sawan monyet, sawan beruk!
“Apakah dia bisa sembuh Mbah?”
“Tentu, asal engkau mencarikan syarat-syaratnya.”
“Kami akan memenuhi syaratnya. Mbah. Penting sembuh.”
“Bukan sekadar syarat. Tapi tumbal.”
“Tumbal? Apa tumbalnya, Mbah?”
“Ayam jantan hitam. Kalian cari ayam jantan yang masih perjaka. Ayam jantan hitam yang belum pernah mengawini babon.”
“Untuk apa, Mbah?’
“Kok untuk apa? Ya untuk tumbal penunggu pohon petai. Kau sembelihlah ayam jantan hitam, darahnya kau balurkan di pohon tempat ia menebang pohon itu. Ia akan sembuh.”
* * *
Maka anak si nelayan melakukan perburuan : mencari ayam jantan yang masih perjaka, masih perawan, berbulu hitam pula. Sungguh sulit nian menentukan apakah seekor ayam jantan sudah pernah atau belum pernah mengawini babon. Mereka sudah mencari, sabur berusaha, sabar menanti. Si anak nelayan berpikir, bagaimanapun caranya ia harus bisa menemukan ayam jantan itu.
Hingga timbul pikiran cemerlang si anak nelayan: ia menunggui babon yang sedang mengerami telur. Menjaga agar si anak ayam hitam tetap perawan.
Ia akan menunggu, mengharap menetas ayam berbulu hitam. Ayam berjenis jantan. Ia akan memeliharanya, menunggunya hingga ayam besar, kemudian menyembelih, dan melaburkan darahnya di pohon petai keramat. Semoga selama waktu menunggu si ayahnya tidak benar-benar berubah menjadi kera sungguhan.
* * *
Telah tiba saatnya, si anak cemani jantan sudah temanggang, remaja. Bugar, bersih, dan segar. Sang dukun memutuskan malam Jumat kliwon pas pukul dua belas tengah kala ritual akan dilakukan. Dukun telah siap melakukan pengobatan, ubarampe : kembang, menyan, dan darah ayam harus segera disiapkan. Tetangga berdatangan, ingin melihat proses penyembuhan nelayan yang tersabet sawan. Mereka berharap semoga si nelayan tua segera sembuh, afiat seperti sedia kala.
Ritual jelang dilakukan ketika sang nelayan sawan kera menghilang. Orang was-was pada nasib buruk yang mengintai. Mungkin si sawan kera berbuat nekat mengakhiri hidup, atau musibah menjemputnya?
Mereka menabuh kentongan, berpenerangan obor, mencari jejak si sawan kera. Pada ujung pantai di bawah pohon petai si nelayan sawan kera akhirnya ditemukan. Ia tengah menungging dan menyetubuhi ayam hitam yang masih perjaka! (*)
Kota Ukir, 29 Maret 2019
Kartika Catur Pelita, prosa dan puisi dimuat media cetak- online. Buku fiksi ‘Perjaka’ dan ‘Balada Orang-Orang Tercinta.’ Bermukim dan bergiat di komunitas Akademi Menulis Jepara (AMJ). Novel terbarunya : Kentut Presiden.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar