Ilustrasi : google. |
Cerpen : Kartika Catur Pelita
Di masa kerajaan Majapahit, saat Sang
Raja Brawijaya berkuasa, tersebutlah
seorang pelukis
dan ahli pahat yang sangat
terkenal. Ia bernama Sungging Prabangkara. Karyanya banyak dibeli
dikoleksi oleh para saudagar, bangsawan
dan kaum kerajaan. Hingga suatu ketika
Sang Raja terpesona melihat sebuah lukisan karya Prabangkara. Beliau mengutus seorang pejabat istana untuk mengundang Sungging Prabangkara ke istana. Sang Raja Brawijaya memberi tugas
pada Sungging Prabangkara untuk membuat sebuah lukisan.
“Aku ingin kau melukis
Permaisuriku tanpa permasuri tahu kalau dia sedang kau lukis.”
“Baiklah
Paduka.”
“Sebentar lagi akan
ada partemuan agung. Permaisuriku
hadir. Kau boleh datang dan melihatnya, lalu setelah itu pulanglah dan buatlah
lukisan permasuri untukku. Oya…lukislah istriku dalam keadaan tanpa busana. Kau
lukis semirip mungkin. Aku akan menghukummu
jika lukisan pesananku tak sesuai dengan
yang kuinginkan!”
Sungging Prabangkara menyanggupi
dan mohon diri.
Selama dalam perjalanan pulang ia
berpikir, bagaimana bisa melukis sesuai keinginan
Sang Raja, sementara ia hanya dari kejauhan melihat permaisuri. Itu pun dalam waktu yang
sebentar. Tapi sebagai pelukis profesional Sungging Prabangkara harus bisa memenuhi
keinginan sang raja, sekaligus
menepati janjinya.
* * *
Setiba di Sanggar Lukisnya, Prabangkara
bersemedi memohon petunjuk Sang
Pencipta. Esoknya kemudian dia memulai pekerjaannya melukis Sang Permaisuri Brawijaya.
Selama melukis dia tak makan, tak minum. Bahkan tidak tidur selama beberapa
hari. Prabangkara hanya mencurahkan pikirannya untuk bisa
menyelesaikan lukisan sesuai keinginan sang raja.
Seminggu kemudian datang seorang prajurit utusan dari Raja Brawijaya.
“Saya diutus Sang Raja Brawijaya untuk mengambil lukisan Sang Permaisuri. Sekalian Sang Sungging
Prabangkara di mohon datang ke istana untuk mengantarkan lukisan tersebut!”.
“Tapi lukisannya belum selesai.
Sebentar lagi.”
“Hamba hanya diutus Sang Raja
Brawijaya. Hari ini juga Sang Paduka ingin melihat lukisan itu!”
“Baiklah kalau begitu. Tunggu sebentar biar aku menyelesaikannya sedikit lagi.”
Sang Prabangkara kembali ke sanggar lukisnya. Menyelesaikan lukisan yang
sebentar lagi selesai. Mungkin karena tergesa-gesa menyapukan kuas, setitik pewarna
hitam jatuh di lukisannya. Menetes di
pangkal paha permaisuri dan menjadikannya
setitik noda. Prabangkara tak melihatnya
dan membawa lukisan tersebut ke istana.
* * *
Setiba di kerajaan, Sang Raja
Brawijaya tak sabar lagi ingin melihat hasil lukisan Sungging Prabangkara.
Ketika melihat gambar permaisuri
yang begitu mirip dengan orangnya Raja Brawijaya
terkagum. Tapi sesaat kemudian paras penguasa bumi Majapahit itu memerah
ketika mendapati setitik noda, seperti tahi lalat di pangkal paha lukisan
permaisuri.
“Hamba mohon maaf Sang Paduka. Karena
tergesa-gesa hamba berbuat ceroboh dan setitik pewarna hitam itu mengotori pangkal paha permasuri. Hamba benar-benar tak sengaja….”
Prabu Brawijaya tak percaya dan telah menuduh Prabangkara mengkhianatinya. Prabangkara
disangkanya telah diam-diam melihat Permasuri ketika mandi di keputren.
Menurutnya perbuatan Sungging Prabangkara ini sangat keterlaluan dan sulit dimaafkan.
Raja Brawijaya diam-diam marah. Karenanya Raja
Brawijaya berniat menghukum Sungging Prabangkara yang sebenarnya tak
bersalah.
* * *
Di hari yanag telah ditentukan raja Brawijaya mengundang Sungging Prabangkara
ke istana.
“Aku ingin memberi tugas padamu lagi Prabangkara.”
“Apa yang Paduka inginkan hamba akan lakukan?”
“Buatkan aku patung permaisuriku dari
batang kayu cendana ini. Kau pahatlah kayu ini sehingga menjadi patung
permasuri. Seperti tempo hari kau
harus membuat patung itu semirip mungkin
dengan Sang Permasuri!”
“Hamba akan mencobanya.”
“Kau sanggup mengerjakannya Prabangkara?”
“Titah seorang Raja hamba tak
kuasa menolaknya.”
“Jadi kau menolak juga jika aku minta kau membuat patung nanti bukan di sanggar tempat kerjamu?”
“Di mana hamba harus membuatnya,
Paduka?”
“Aku sudah menyiapkan tempat khusus untukmu!”
Prabangkara tak mengerti maksud Sang Prabu Brawijaya. Tapi dia menurut ketika di ajak ke sebuah bukit, tak jauh dari lapangan
kerajaan Majapahit. Di sana para
prajurit sedang menyiapkan sebuah
layang-layang raksasa!
“Aku membuatkan layang-layang ini
untukmu. Sungging Prangkara. Kau naiklah
ke atas layang-layang itu, lalu di sana kau buatkan patung permaisuriku. Sebagai pemahat profesional,
bukankah di mana saja kau bisa
mengerjakan pekerjaanmu.”
“Hamba akan mencobanya, Paduka.”
“Aku juga ingin memberikan hiburan
bagi rakyatku. Bukankah sebuah pertunjukkan yang menarik, ketika melihat layang-layang
raksasa terbang dan di dalamnya ada seorang pemahat terkenal yang sedang bekerja!”
Sungging Prabangkara hanya mengiyakan.
Beberapa prajurit menaikkan
Sungging Prabangkara ke atas
layang-layang raksasa. Lalu
sebatang kayu cendana dan peralatan
memahat disertakan pula.
Beberapa prajurit menaikan layang-layang dari atas bukit. Saat itu angin berhembus kencang. Layang-layang raksasa
mengudara dan di dalamnya ada Sungging
Prabangakara yang tengah memahat.
Penduduk Majapahit memandang dengan
takjub. Sungging Prabangkara
mencoba menyelesaikan pekerjaannya
mematung di sela-sela angin yang berhembus
kencang.
Prabangkara agak kesulitan memahat.
Tapi dia harus bisa memenuhi tugas yang diembannya dari seorang raja. Sungging
Prabangkara pantang menyerah. Angin kembali berhembus kencang. Penduduk yang
melihatnya bersorak-sorak senang. Layang-layang raksasa mengudara semakin
tinggi. Tinggi! Jauh dan jauh!
Layang-layang raksasa yang mengangkasa memang semakin jauh meninggalkan
bumi Majapahit!
Karena diam-diam Raja Brawijaya memutus tali layang-layang itu!
Sebagai hukuman karena kesalahan
yang diduga dilakukan oleh Prabangkara.
* * *
Sementara layang-layang terus terbang ke angkasa. Semakin tinggi dan jauh.
Tapi Sungging Prabangkara tetap
mengerjakan keinginan Sang Prabu Brawijaya. Hingga patung berwujud permasuri
itu selesai, ketika badai tiba-tiba
datang.
Patung Parmasuri—hasil pahatan Sungging Prabangkara dan ganden jatuh di
Pulau Bali. Sementara Sungging Prabangkara dan tatah, pahat—terhempas jatuh di Belakang Gunung, kerajaan Japara (Jepara).
* * *
Kota Ukir, 07 Agustus 2014
Kartika
Catur Pelita, novelis Perjaka (Akoer, 2011) ini tinggal di Jepara.
Beberapa cerpen anak dia dimuat di Yunior (Suara Merdeka, Lampung Post, dan
Kedaultan Rakyat). Selain cernak cerpennya juga mewarnai berbagai media; Suara
Pembaruan, Annida Online, Satelit Pos, Okezone, Joe Fiksi, Majalah Kartini,
Minggu Pagi, Solo Pos, Koran Merapi,
Koran Muria, Metro Riau, Inilah Koran
dan Nova.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar