Pria yang Bersekutu dengan Malaikat - Soeara Moeria

Breaking

Jumat, 13 Januari 2017

Pria yang Bersekutu dengan Malaikat



Ilustrasi : Google
Cerpen Ferry Fansuri

Kulihat wajah itu, mata itu, bibir itu terbujur kaku bersama tubuhnya. Tak terasa tetesan airmata mengalir di mataku yang tak pernah sekalipun menangis. Irine, istriku telah berjuang 2 windu melawan kesakitan pasca Kyra lahir.

Berlarilah aku berhamburan dari ruang ICU menuju lorong rumah sakit. Malam itu terasa menyesakkan biar pun hujan lebat, ku terus berlari dan lari tanpa henti. Sampai aku terengah lelah di sebuah taman ruah sakit. Wajah kusut dan rambut awut-awutan tak terurus, telah kutunggu dia selama ini untuk berharap akan kesembuhan.
       
Ini tak adil, kau ambil keduanya dan tidak menyisakan bagiku” teriakku di dalam malam dipenuhi petir. Berkali-kali kupukul kedua tanganku ke tanah untuk mengusir rasa geramku. Seperti tak rela bila ini terjadi, kuterus menggeram dan mengacak-acak tanah rumput. Seolah menyari sesuatu, tiba-tiba kuterdiam seperti berpikir dalam. Tak lama kemudian aku terngadahkan kepalaku.
       
Jika ini takdirmu, aku akan lawan. Aku akan cari jawabannya. Aku cari jawabannya…ha…ha” seruku sambil menyeringai.

* * *

Setelah seribu hari kepergian Irine, sekarang aku berada di padang pasir Irak yang dulu dikenal Babylonia. Aku sedang mencari jawaban itu di sini, legenda Harut dan Marut konon dua mantan malaikat itu memiliki kitab sihir yang semua jawaban dunia ada di sana.

Kutelurusi tiap inchi pasang pasir untuk menemukan mitos tersebut dan aku percaya itu ada. Tak terasa 2 tahun berlalu berkelana ke sana-ke mari dari bumi nusantara ke bumi Sunni dan Syiah ini. Rambut panjang dan muka dipenuhi brewok tak terawat, itu tak kupedulikan.

Sesuatu ketika saat kelelahan tanpa air minum, ku tak sadarkan diri. Dan tak terasa jatuh pingsan. Badan ini terasa berat rasanya dan mata menahan. Panas yang menyengat membuatku kehilangan kesadaran, tenaga yang tersisa untuk terus bertahan. Saat injakan terakhir, kaki ini lemah tapi tiba-tiba bumi yang kupijak bergetar hebat.

Pasir itu menyedotku ke dalam lebih dalam, akhirnya aku terhempas di tanah kasar. Posisi terlengkup samar-samar aku melihat dua sosok hitam menggantung di atas langit-langit dan tak terasa mata ini berat dan jatuh pingsan.
       
Hei anak Adam, bangun kau! Suara itu teramat berat dan keras mengiang di telingaku membuat kesadaranku pulih. Tak tahu berapa lama aku pingsan, kupaksa berdiri untuk sejenak duduk melihat ke sekelilingku dan mencari suara misterius itu. Mata ini terbelalak dua sosok tubuh terbujur dari bawah ke atas.
Apa kau yang cari di sini, hei manusia bernama Penta? Suara lantang membuat jantung berdegup kencang. “Siapa kalian?” berbalik ku bertanya dengan rasa penasaran sambil heran tahu akan namaku.
 
Ha..Ha berani juga manusia satu ini” salah sosok sebelah juga berkata. Ku berani diri bertanya “Apakah kalian Harut dan Marut yang melengenda itu?

Tiba-tiba sebelum pertanyaanku dijawab, hembusan keras mengarah kepada membuat tubuhku terhempas ke dinding keras. Membuat tulang-tulang di tubuhku bergemeretak dan bergeser “Beraninya kau menyebut nama itu di sini. Hah tampak rasa marah itu menyengat ditelingaku. Kami di sini telah beribu-ribu tahun menunggu pencipta kami memanggil lagi dan kamu tak layak menyebut nama kami itu.”       

Dengan sedikit tenaga aku mencoba mendekat. Aku tahu kalian adalah nama itu, kalian yang mengajarkan sihir di bumi Namrud kala itu” suara getirku. “Kedatanganku ke sini kalian pasti tahu maksudku”keduanya terdiam. Sesungguhnya kami hanya cobaan bagimu, sebab itu janganlah kamu kehilangan kepercayaan padaNya” berkata bersamaan mereka.

Aku tak peduli, Dia telah menggambil hal yang berharga dari aku. Merenggut dengan tidak adil” terasa hati itu sakit mengingat semuanya kembali. “Berikan sihir kalian, biar kutanggung resikonya” tantangku berani. Ada hening diantara keduanya dan baiklah kami ajarkan sihir yang kami inginkan, tapi yang kau pelajari tidak memberikan mudharat dan manfaat apapun kepadamu.

Tapi ada satu syarat, saat terakhir nanti kamu buka ini” dilemparkan di hadapanku gulungan kertas terbuat dari papyrus terdapat stempel segel pengikat dari lilin cair merah bertuliskan 1846 tekstur persia. Ini saja syarat, baik aku terima tegasku.

Tiba-tiba kedua mata sosok menggantung terbuka terbelalak, bola mata memerah memancar sekeliling ruangan kuno tersebut. Dalam hitungan detik sekejab sebersit cahaya menyambarku, terasa pening tubuh dan lemas. Kehilangan kesadaran seketika, pingsan yang aku ingat hanyalah dua bayangan sosok perlahan menghilang dari mataku.

* * *

Terik matahari menusuk di bawah kelopak mataku membuatku membuka mata biar pun terasa berat. Tubuh ini terasa lelah seperti habis aktivitas berat, kesadaranku perlahan pulih. Kulihat sekelilingku seperti ku kenal tapi mengapa aku di sini karena sebelumnya dibawah perut bumi bersama Harut Marut.

Apakah hanya mimpi atau ilusi, tapi sejenak kuberpikir dan kulihat tangan kananku menggenggam gulungan papyrus dan satu lagi sebuah tanda mirip tatto tertera dibawah siku tangan 2102. “Angka 2102 apa artinya ini semua, apakah sihir Harut Marut itu berhasil?

Dibalik pintu depan itu terbuka, kukenal wajah itu…wajah yang selalu kurindu sejak kepergiaannya. Sayang…sudah bangun? suara lembut itu terngiang di telingaku lagi lama tak kudengar. “Apakah ini nyata atau hanya khayalanku saja” suara dan tubuh Erine-istriku tercinta.

Dia duduk di sampingku, seperti biasa meraba pundakku. “Kenapa sayang?, kok termenung gimana enak tidurnya? Tadi malam sayang baru datang dari kerja. Gimana kerjaan? tanyanya kepadaku. Hanya kupandangi wajahnya yang begitu menenangkan hati dan jiwa ini. Wajah yang selalu ingin pulang menemui dia, tak terasa mata ini basah, kurangkul dia kurangkul erat seperti tidak mau lepas.

Sayang kenapa? tak biasa begini” ucap Erine lembut. “Jangan kemana-mana, jangan pergi dari hadapannku ma” kataku. “Hei sayang, aku nggak akan kemana-mana. Di sini khan, bersama kita bersama” kata-kata terakhir bersama apa maksudnya. Dibalik pintu muncul bocah balita perempuan dengan poni rambut panjang lucu dan menggemaskan “Ayah. Hore ayah udah bangun. Entar kita jalan-jalan yah” Anak perempuan menubruk manja bergelayutan dipundakku. Tapi aku masih terheran-heran melihat dia, dalam hati ini siapakah ini.
Hei sayang kok diam, ini khan Kyra. Dia kangen ama sayang, tugas luar kota memang kerjaan sayang” ujar lagi. Inikah sihir Harut Marut yang dijanjikan olehku, kudapatkan keluarga lagi, kudapat Erine istriku tercinta dan seoarang anak lucu Kyra. Memang semua terbukti, sampai tak terasa genggaman gulungan kuno itu telepas dariku. Tapi aku tak peduli, inilah yang kumau dan tidak ada yang lain. Kehidupan duniawi dan seisinya.

Kuhabiskan waktu berminggu-minggu, berbulan-bulan dan bertahun-tahun bersama keluarga kecilku. Kujalani semua hariku penuh canda tawa dan gembira seperti dunia ini milik kami. Pernah ku berujar ke Irine “Aku ingin seperti ini selama bersama kamu.

* * *

Suatu malam kami habiskan sekeluarga untuk keluar makan dan jalan-jalan, mengendarai SUV pekat dinginnya malam menuju rumah. Tanpa kusadari masuk tikungan dengan kecepaan rendah, tiba-tiba ada sesosok gelap melintas tak pelak ku banting setir ke kiri tuk menghindar. Brakk..bumper depan menyenggol pembatas jalan, SUV itu terguling..yang kulihat Irine dan Kyra berteriak memanggilku dan..semuanya gelap.

Saat kubuka mataku, aku sudah terbaring diatas kereta tandu. Kulirik samping Irine dan Kyra tampak diinfus tapi petugas koroner melepas infus itu dan munutup muka Irine dan Kyra dengan selimut.

Tidak..Tidak !!! ini tak mungkin terjadi lagi” tanganku mencoba meraih mereka tapi terasa mati rasa hanya pikiran dan hatiku yang bergerak. Hanya kupandangi mereka memasuki ambulance dan aku tetap disini.

Sedikit demi dikit jari kelingking bergerak, kupaksa terus demi menit ke jam untuk bisa bergerak lagi. Urat syarafku sudah terasa normal mengalirkan darah dari jantung ke otak, kupaksa berdiri. Langsung ku berdiri beranjak dari kereta tandu itu, mencoba berdiri terus berlari. Tak kuhiraukan seruan suara petugas yang lambat laun menjauh dari telinga. Kuberlari terus menuju rumahku, setiba disana kucarikan lembaran papyrus tersebut yang berasaal dari gua Harut Marut itu. Akhirnya kudapatkan, ku berlari keluar disaat guntur menggelegar dan kilat menyambar.
Kenapa ini terjadi lagi !!!” teriakku keatas langit-langit gelap tanpa bintang sedikit. “Apa ini yang kau mau, membuat hidupku hancur sekali lagi!!” tertunduk diatas lutut yang lemas dan tertunduk diatas tanah yang lembab. Didalam kegalauanku, kuingat bahwa dua malaikatku pernah berpesan bahwa gulungan papyrus dibuka saat tepat. “Apakah ini saat yang tepat ??” didalam hati.

Coba kulit gulungan itu tidak ada yang istimewa hanya cap lilin warna merah berlogo 1846. Kucoba merobek segel tersebut, kubuka perlahan-lahan. Hanya gulungan kosong tidak ada apa-apa, kubanting gulungan itu “Apa ini, kalian mempermainkan aku” sambil menghujat Harut Marut dengan celaka. Tak terasa hujan turun diatas kepalaku dan gelagar kilat terus bergemuruh. Sebersit mataku menatap gulungan, muncul sebuah tulisan setelah terkena air hujan

Harta, Wanita dan Anak adalah Perhiasan Dunia. Mata ini terlihat berkaca-kaca memandang tulisan, gemetar badan ini memaknai tulisan itu.

Badan ini lemas secara tidak kusadari lutut memaksaku sujud, kening menyentuh tanah yang telah basah. “Aku paham apa yang Kau sampaikan padaku dan ini jawabannya” menangis tersedu-sedu meratapi kebodohanku selama ini. (*)

Ferry Fansuri kelahiran Surabaya, 23 Maret 1980 adalah penulis, fotografer dan entreprenur lulusan Fakultas Sastra jurusan Ilmu Sejarah Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya. Pernah bergabung dalam teater Gapus-Unair dan ikut dalam pendirian majalah kampus Situs dan cerpen pertamanya "Roman Picisan" (2000) termuat. Mantan redaktur tabloid Ototrend (2001-2013) Jawa Pos Group. Sekarang menulis freelance dan tulisannya tersebar di berbagai media Nasional. (*) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar