Novel Pukul Setengah Lima Karya Rintik Sedu: Kesehatan Mental dan Kepura-puraan Menjadi Orang Lain - Soeara Moeria

Breaking

Jumat, 06 Oktober 2023

Novel Pukul Setengah Lima Karya Rintik Sedu: Kesehatan Mental dan Kepura-puraan Menjadi Orang Lain

Instagram @rintiksedu. 


Judul : Pukul Setengah Lima

Penulis : Rintik Sedu

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Terbit : September 2023

Peresensi : Anjar Pratiwi, mahasiswi Fakultas Ilmu Budaya Prodi Sastra Indonesia Universitas Diponegoro Semarang.

 

Novel Pukul Setengah Lima Karya Rintik Sedu: Sebuah Bukti Pura-Pura Jadi Orang Lain Bukan Hal Salah Jika Kesehatan Mental Adalah Taruhannya

 

Rintik Sedu kembali menerbitkan karya epik bertajuk Pukul Setengah Lima pada September tahun ini. Novel tersebut menceritakan tokoh Alina yang lelah dengan dirinya sendiri lantas memilih untuk berpura-pura menjadi orang lain.

 

Keputusannya begitu berhasil membawa pada hal-hal membahagiakan. Dia menemukan dunia baru yang lebih menyenangkan dibandingkan menjalani hidupnya sebagai Alina.

 

Sebagai Alina, dia membawa latar belakang yang cukup miris. Dia tertekan oleh berbagai keadaan. Pertama dari keluarga yang tidak harmonis. Lain situasi kelam adalah orang yang selama ini menemaninya ingin pernikahan, ketika Alina sendiri menolak.

 

Pernikahan belum masuk pada daftar keharusannya, meski umurnya sudah matang. Dia masih mencoba berdamai dengan diri sendiri, apalagi pihak terdekat, keluarga, sedang tidak baik-baik saja.

 

Dia benci di rumah. Di dalamnya tertunjuk sosok ayah pemarah dan suka memukul tokoh ibu. Batin Alina menangis sembari berteriak melihat ibunya yang masih bertahan.

 

Ibu tidak sama sekali ingin berpisah, bahkan setelah ayah menawarkan banyak luka ke tubuh sampai perasaannya. Dia teguh menjadikan sang ayah sebagai suami dan kepala rumah tangga.

 

Alina tidak berdaya akan kondisi demikian. Alhasil, dia suka pulang telat demi melarikan diri sesaat di luar rumah.

 

Dia masih terus menjalani rutinitas seperti bekerja. Dia berangkat dan pulang dengan bus. Di sini momentum penting kehidupan Alina berlangsung. Sepanjang perjalanan bus kota, takdir terlihat mencoba mengusir kesuntukan dirinya.

 

Tokoh bernama Danu dihadirkan untuk mengajaknya pergi sejenak ke kondisi paling indah. Ke kedai kopi, ke pasar mencari makan, atau ke halte pemberhentian terakhir bus yang mereka naiki.

 

Dirinya langsung menerima pertemuan singkat itu dengan gebrakan berupa perubahan nama Alina menjadi Marni. Marni adalah nama ibunya, sosok yang sabar dan tahan banting.

 

Bersama identitas baru, dia sukses mengistirahatkan mentalnya sejenak. Memainkan peran sebagai orang lain pun terbukti menjadi respons ideal atas kepenatan Alina. Kini, dia dapat menikmati setiap pergantian hari berkat kepura-puraan itu.

 

Alina menemukan kebahagiaan dalam nama Marni. Dia bisa lebih mengekspresikan dirinya dalam topeng lain. Dia bebas.

 

“Karena kamu mulai senyum sekarang.” Melalui kaca jendela bus kota, aku mengamini banyak kebohongan dari sana (hlm. 100).

 

Kepribadian Alina selalu mempertontonkan wajah muram bernuansa “gelap”. Sekarang, dia menjelma sebagai Marni yang perlahan memamerkan senyum dan berbagai hal “cerah”. Betapa melegakan melihat kondisinya membaik.

 

Teman dekat Alina, Siti, menyadari pula perubahan tersebut. Siti tentu kaget sambil bertanya-tanya siapa dan apa yang mampu mengubah hidup sahabatnya.

 

Novel Pukul Setengah Lima mengilustrasikan mengenai pemakaian identitas orang lain atau nama baru bukan hal terlarang. Akhir dari keputusan itu mengarah pada puncak kondisi terbaik, yaitu tidak dikenal. Penulisnya, Tsana, menjabarkan bahwa interaksi tanpa banyak mengetahui nyatanya meringankan hari.

 

Tidak ada nama. Bagian terbaik dari dua orang asing. Ya. Tidak ada nama. Hanya ada cerita, tanpa tokoh dan nama. Hanya ada tragedi, tanpa persepsi. Bukankah itu menarik? Bukankah nama adalah hal yang pelik? Kadang aku berpikir, hidup pasti lebih mudah kalau kita tidak terlalu mengetahui banyak nama. Kita hanya tahu, tanpa perlu kenal. Kita hanya membaca, tanpa perlu ambil tanggung jawab atas apa yang ada di di dalamnya (hlm. 50).

 

Sebagaimana kutipan di atas, mengenal seseorang merupakan tanggung jawab berat. Apalagi, interaksi dua individu atau lebih memerlukan keseimbangan akal dan perasaan.

 

Saat perasaan mendominasi dan gagal melindungi batin, maka risikonya adalah mental yang terganggu. Batin akan berupaya membekukan waktu demi mengobati rasa sakit yang sulit ditemukan obatnya ini.

 

Begitu juga tokoh Alina yang rasa sakitnya sudah begitu dalam. Perjalanan panjangnya berakhir pada memilih kehidupan baru melalui kepura-puraan menjadi Marni. Marni dinilai sebagai obat dari luka-luka yang selama ini ditahannya agar tidak semakin parah.

 

Alina segera sembuh bersama Marni dan identitas-identitas baru selanjutnya, misalnya setelah Marni ada Dinda. Dirinya yang lain itu akan bersenang-senang bersama tokoh-tokoh baru pula. Dampak baik setelahnya ialah Alina asli beserta mental rapuhnya perlahan terselamatkan. (02)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar