![]() |
Instagram @rintiksedu. |
Penulis : Rintik Sedu
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit : September 2023
Peresensi : Anjar Pratiwi, mahasiswi Fakultas Ilmu Budaya Prodi Sastra
Indonesia Universitas Diponegoro Semarang.
Novel Pukul Setengah Lima Karya Rintik Sedu: Sebuah Bukti Pura-Pura
Jadi Orang Lain Bukan Hal Salah Jika Kesehatan Mental Adalah Taruhannya
Rintik Sedu kembali menerbitkan karya epik bertajuk Pukul Setengah Lima
pada September tahun ini. Novel tersebut menceritakan tokoh Alina yang lelah
dengan dirinya sendiri lantas memilih untuk berpura-pura menjadi orang lain.
Keputusannya begitu berhasil membawa pada hal-hal membahagiakan. Dia
menemukan dunia baru yang lebih menyenangkan dibandingkan menjalani hidupnya
sebagai Alina.
Sebagai Alina, dia membawa latar belakang yang cukup miris. Dia
tertekan oleh berbagai keadaan. Pertama dari keluarga yang tidak harmonis. Lain
situasi kelam adalah orang yang selama ini menemaninya ingin pernikahan, ketika
Alina sendiri menolak.
Pernikahan belum masuk pada daftar keharusannya, meski umurnya sudah
matang. Dia masih mencoba berdamai dengan diri sendiri, apalagi pihak terdekat,
keluarga, sedang tidak baik-baik saja.
Dia benci di rumah. Di dalamnya tertunjuk sosok ayah pemarah dan suka
memukul tokoh ibu. Batin Alina menangis sembari berteriak melihat ibunya yang
masih bertahan.
Ibu tidak sama sekali ingin berpisah, bahkan setelah ayah menawarkan
banyak luka ke tubuh sampai perasaannya. Dia teguh menjadikan sang ayah sebagai
suami dan kepala rumah tangga.
Alina tidak berdaya akan kondisi demikian. Alhasil, dia suka pulang
telat demi melarikan diri sesaat di luar rumah.
Dia masih terus menjalani rutinitas seperti bekerja. Dia berangkat dan
pulang dengan bus. Di sini momentum penting kehidupan Alina berlangsung.
Sepanjang perjalanan bus kota, takdir terlihat mencoba mengusir kesuntukan
dirinya.
Tokoh bernama Danu dihadirkan untuk mengajaknya pergi sejenak ke
kondisi paling indah. Ke kedai kopi, ke pasar mencari makan, atau ke halte
pemberhentian terakhir bus yang mereka naiki.
Dirinya langsung menerima pertemuan singkat itu dengan gebrakan berupa
perubahan nama Alina menjadi Marni. Marni adalah nama ibunya, sosok yang sabar
dan tahan banting.
Bersama identitas baru, dia sukses mengistirahatkan mentalnya sejenak.
Memainkan peran sebagai orang lain pun terbukti menjadi respons ideal atas
kepenatan Alina. Kini, dia dapat menikmati setiap pergantian hari berkat
kepura-puraan itu.
Alina menemukan kebahagiaan dalam nama Marni. Dia bisa lebih
mengekspresikan dirinya dalam topeng lain. Dia bebas.
“Karena kamu mulai senyum sekarang.” Melalui kaca jendela bus kota, aku
mengamini banyak kebohongan dari sana (hlm. 100).
Kepribadian Alina selalu mempertontonkan wajah muram bernuansa “gelap”.
Sekarang, dia menjelma sebagai Marni yang perlahan memamerkan senyum dan
berbagai hal “cerah”. Betapa melegakan melihat kondisinya membaik.
Teman dekat Alina, Siti, menyadari pula perubahan tersebut. Siti tentu
kaget sambil bertanya-tanya siapa dan apa yang mampu mengubah hidup sahabatnya.
Novel Pukul Setengah Lima mengilustrasikan mengenai pemakaian identitas
orang lain atau nama baru bukan hal terlarang. Akhir dari keputusan itu
mengarah pada puncak kondisi terbaik, yaitu tidak dikenal. Penulisnya, Tsana,
menjabarkan bahwa interaksi tanpa banyak mengetahui nyatanya meringankan hari.
Tidak ada nama. Bagian terbaik dari dua orang asing. Ya. Tidak ada
nama. Hanya ada cerita, tanpa tokoh dan nama. Hanya ada tragedi, tanpa
persepsi. Bukankah itu menarik? Bukankah nama adalah hal yang pelik? Kadang aku
berpikir, hidup pasti lebih mudah kalau kita tidak terlalu mengetahui banyak
nama. Kita hanya tahu, tanpa perlu kenal. Kita hanya membaca, tanpa perlu ambil
tanggung jawab atas apa yang ada di di dalamnya (hlm. 50).
Sebagaimana kutipan di atas, mengenal seseorang merupakan tanggung
jawab berat. Apalagi, interaksi dua individu atau lebih memerlukan keseimbangan
akal dan perasaan.
Saat perasaan mendominasi dan gagal melindungi batin, maka risikonya
adalah mental yang terganggu. Batin akan berupaya membekukan waktu demi
mengobati rasa sakit yang sulit ditemukan obatnya ini.
Begitu juga tokoh Alina yang rasa sakitnya sudah begitu dalam.
Perjalanan panjangnya berakhir pada memilih kehidupan baru melalui
kepura-puraan menjadi Marni. Marni dinilai sebagai obat dari luka-luka yang
selama ini ditahannya agar tidak semakin parah.
Alina segera sembuh bersama Marni dan identitas-identitas baru selanjutnya, misalnya setelah Marni ada Dinda. Dirinya yang lain itu akan bersenang-senang bersama tokoh-tokoh baru pula. Dampak baik setelahnya ialah Alina asli beserta mental rapuhnya perlahan terselamatkan. (02)