Siapa sih yang tidak ingin
bisa memahami tulisan-tulisan berbahasa Arab secara baik dan benar? Tidak ada
yang bisa meragu, kitab suci Al-Qur’an dan teks-teks hadits Nabi serta sebagian
besar khazanah keislaman disuguhkan dengan bahasa dan tulisan Arab. Ada yang
berlebihan bahkan menyebut bahasa Arab sebagai bahasa surga.
Akan tetapi melihat huruf-huruf yang kelihatan ruwet dalam kitab-kitab kuning atau kitab gundul itu orang menjadi ngeri. Yang menakutkan lagi, jika orang ingin bisa berbahasa Arab harus mengeram berlama-lama di pesantren, sampai tua dan tidak sempat menikah.
Orang harus belajar ilmu
nahwu, memutar-mutar harakat sampai ngelu;
harus belajar ilmu sharaf yang menegangkan saraf, satu kata dibolak-balik
menjadi puluhan kata, puluhan makna. Banyak yang ketakutan bahwa bahasa Arab
adalah bahasa tersulit di dunia.
Hal itulah yang menginspirasi
Taufiqul Hakim, seorang kiai muda usia, untuk menyusun metode pembelajaran
kitab kuning secara cepat, tepat, dan menyenangkan.
Metode itu diberi nama
”Amtsilati” yang terinspirasi dari metode belajar cepat membaca Al-Quran, yakni
”Qiro’ati”. Jika dalam metode Qiro’ati orang bisa belajar membaca Al-Qur’an
dengan cepat, maka dengan metode Amtsilati orang akan dapat membaca dan
memahami kitab ‘gundul’ kitab tanpa harakat, kenapa tidak?
“Terdorong dari metode
Qiro’ati yang mengupas cara membaca yang ada harokatnya, saya ingin menulis
yang bisa digunakan untuk membaca yang tidak ada harokatnya. Terbetiklah nama
Amtsilati yang berarti beberapa contoh dari saya yang sesuai dengan akhiran
“ti” dari Qiro’ati. Mulai tanggal 27
Rajab 2001, saya merenung dan bermujahadah, di mana dalam thoriqoh ada do’a khusus,
yang jika orang secara ikhlas melaksanakannya, insya Allah akan diberi jalan
keluar dari masalah apapun oleh Allah dalam jangka waktu kurang dari 4 hari.
Setiap hari saya lakukan mujahadah terus-terusan sampai tanggal 17 Ramadhan
yang bertepatan dengan Nuzulul Qur’an,” katanya.
”Saat mujahadah, kadang saya
ke makam Mbah Ahmad Mutamakin. Di situ kadang seakan-akan berjumpa dengan Syekh
Muhammad Baha’uddin An-Naqsyabandiyyah, Syekh Ahmad Mutammakin dan Ibnu Malik
dalam keadaan setengah tidur dan setengah sadar. Hari itu seakan-akan ada
dorongan kuat untuk menulis. Siang malam saya ikuti dorongan tersebut dan
akhirnya tanggal 27 Ramadlan selesailah penulisan Amtsilati dalam bentuk
tulisan tangan. Amtsilati tetulis hanya sepuluh hari.”
”Kemudian diketik komputer
oleh Bapak Nur Shubki, kang Toni dan kang Marno. Proses pengetikan mulai dari
Khulashoh sampai Amtsilati memakan waktu hampir 1 tahun. Kemudian dicetak
sebanyak 300 set. Sebagai follow up
terciptanya Amtsilati, kami gelar bedah buku di gedung Nahdlatul Ulama (NU)
Kabupaten Jepara, tanggal 16 Juni 2002 diprakarsai Bapak Nur Kholis. Sehingga
timbullah tanggapan dari peserta yang pro dan kontra.”
Diceritakan, Salah satu dari
peserta bedah buku di Jepara kebetulan mempunyai kakak di Mojokerto yang menjadi
pengasuh Pesantren. Beliau bernama KH. Hafidz pengasuh pondok pesantren
“Manba’ul Qur’an”. Beliau berinisiatif untuk menyelenggarakan pengenalan sistem
cepat baca kitab kuning Metode Amtsilati, tanggal 30 Juni 2002. untuk acara
tersebut Bapak H. Syauqi Fadli sebagai donatur, menyarankan agar dicetak 1000
set buku Amtsilati dan sekaligus untuk acara Hubbur Rosul di Ngabul Jepara.
Dari Mojokertolah dukungan
mengalir sampai ke beberapa daerah di Jawa Timur melalui forum yang digelar
oleh Universitas Darul Ulum (Undar) Jombang, Jember, dan Pamekasan Madura.
Sampai saat ini Amtsilati telah tersebar ke pelosok Jawa, bahkan sudah sampai
ke luar Jawa, seperti Kalimantan, Batam dan Alhamdulillah telah dikenal di luar
negeri, seperti Malaysia. Dalam waktu 4 tahun kitab amtsilati sudah diterbitkan
tidak kurang dari 5 juta exemplar.
Kitab Amtsilati pertama kali
digandakan dengan mesin foto copy. Hasil penjualannya dipakai untuk
menggandakan Amtsilati di mesin percetakan. Kemudian, hasil penjualan
selanjutnya digunakan untuk membeli mesin cetak sendiri. Setiap kali cetak
sejumlah 5000 ekslempar. Pegawai percetakan adalah masyarakat sekitar, termasuk
ibu-ibu rumah tangga.
Taufiqul Hakim lahir pada 14
Juni 1975 di Sidorejo RT. 03 RW. 12 Bangsri, Jepara, Jawa Tengah. Dia adalah
anak terakhir dari tujuh bersaudara. Dia bukan keterunan kiai atau bangsawan.
Ayah dan ibunya hanya petani. Dari tujuh bersaudara hanya dia yang berprofesi
sebagai seorang guru, dan saat ini dia dikenal sebagai kiai. Hal yang paling
disesalinya adalah ketika ayahnya meninggal, dia tidak sempat ikut mengantarkan
jenazah ayahnya karena harus menyelesaikan tugas belajar.
Dia adalah alumnus Perguruan
Islam Matholiul Falah Kajen Pati. Ketika menjadi siswa di Matholiul Falah, dia
juga nyantri di Pondok Pesantren Maslakhul Huda Kajen, yang diasuh oleh Rais
“am PBNU KH. MA. Sahal Mahfudh. Pada tahun yang sama dia nyantri di Popongan
Klaten, belajar Thariqah an-Nagsabandiyah dibimbing oleh KH. Salman Dahlawi,
dan dinyatakan lulus setelah belajar selama 100 hari.
Selain sibuk mengajar dan
mengisi pelatihan-pelatihan Amtsilati di berbagai kota di Indonesia dia juga
tetap produktif menulis. Di antara karyanya adalah Program Pemula Membaca Kitab
Kuning: Amtsilati jilid 1-5; Qaidati: Rumus dan Qaidah, Shorfiyah: Metode
Praktis Memahami Sharaf dan I’lâl, Tatimmah: Praktek Penerapan Rumus 1-2,
Khulashah Alfiyah Ibnu Malik, ‘Aqidati: Aqidah Tauhid, Syari’ati: Fiqih,
Mukhtarul Hadits 1-7, Muhadatsah, Kamus At-Taufik 587 halaman, Fiqih Muamalah
1-2, Fiqih Jinayat, Fikih Taharah, Fikih Munakahat, Fikih Ubudiyah 1-2, dan
beberapa kitab lainnya. Sudah ada sekitar 30 buku, dan masih terus menulis. “Di
mana saja menulis, di mobil, di mana saja menulis. Kalau ada mud menulis, kalo
tidak, ya tidak,” katanya.
Pesantren Darul Falah yang
dipimpinnya kini membimbing tidak kurang dari 650 santri. Santri Darul Falah
ada dua kategori: santri tetap dan santri kilatan. Santri tetap harus mengikuti
semua aturan yang ada dalam program Amtsilati, sementara santri kilatan tidak
diwajibkan banyak hafalan. Masa belajar bagi santri kilatan antara 1 minggu
s.d. dua bulan saja.
Nama Al-Falah diambil dari
nama pesantren Matholiul Falah, tempat dia pernah menjadi santri. Secara tidak
resmi, Darul Falah ada sejak Taufiqul Hakim lulus dari Pesantren. Secara resmi,
Darul Falah didaftarkan ke Notaris (Bapak H. Zainurrohman, S.H. Jepara) tanggal
01 Mei 2002 dengan nomor registrasi 02.
* * *
Awalnya Tufiqul hakim
menyimpulkan bahwa ternyata tidak semua nadzam atau syair dalam kitab Alfiyah
yang disebut-sebut sebagai babonnya gramatikal arab itu tidak semuanya
digunakan dalam praktek membaca kitab kuning. Dia menyimpulkan bahwa dari 1000
nazham Alfiyah yang terpenting hanya berjumlah sekitar 100 sampai 200 bait,
sementara nazham lainnya sekedar penyempurna. Dengan bekal hafalan dan
pemahamannya terhadap kitab Alfiyah, dia mulai menyusun metode Amtsilati.
Penyusunan tersebut dia mulai dari peletakan dasar-dasarnya kemudian terus
berkembang sesuai kebutuhan.
Amtsilati memberi rumusan
berpikir untuk memahami bahasa Arab. Di sana ada rumusan sistematis untuk
mengetahui bentuk atau posisi satu kata tertentu. Hal ini dapat dilihat pada
rumus utama isim dan fi’il atau tabel. Lalu juga ada rumus bayangan dhamīr
untuk mengetahui jenis atau kata tertentu; penyaringan melalui dzauq
(sensitivitas) dan siyāqul kalām (konteks kalimat).
Sebelum memasuki praktek,
Amtsilati telah memberi rambu-rambu mengenai kata-kata yang serupa tapi tak
sama (homonimi: homografi, homofoni). Kata-kata yang serupa ini bisa terjadi
dari beberapa kemungkinan: isim; fi’il mādhi; fi’il mudhāri’; fi’il amar; isim
fi’il; huruf; dhamīr; isyrāh; maushūl; dan lainnya. Rumus selengkapnya
terangkum dalam buku Tatimmah 1 hal. 3-7, 10, 12, 15-34.
Kelebihan Amtsilati adalah
peletakan rumus secara sitematis, dan penyelesaian masalah gramatikal Bahasa
Arab melalui penyaringan dan pentarjihan. Selain itu, rumus yang pernah
dipelajari diikat dengan hafalan yang terangkum dalam dua buku khusus, yaitu
“Rumus Qaidati” dan “Khulashah Alfiyah”. Diharapkan, para pemula tidak perlu
bersusah-susah mempelajari bahasa Arab selama 3 sampai 9 tahun; cukup 3 sampai
6 bulan saja. (*)
*) Abdul Rosyid,
Ketua Forum Mahasiswa Alumni Pesantren Lirboyo (Formal).
Tulisan ini diambil dari skripsi penulis “Metode Amtsilati dalam Proses Penerjemahan: Studi Analisis Buku “Program Pemula Membaca Kitab Kuning’, Karya H. Taufiqul Hakim” di Jurusan Tarjamah Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta.
Sumber : NU Online
Ketua Forum Mahasiswa Alumni Pesantren Lirboyo (Formal).
Tulisan ini diambil dari skripsi penulis “Metode Amtsilati dalam Proses Penerjemahan: Studi Analisis Buku “Program Pemula Membaca Kitab Kuning’, Karya H. Taufiqul Hakim” di Jurusan Tarjamah Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta.
Sumber : NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar