Pemikiran Gus Dur: Beragama Tak Boleh Mementingkan Simbol Tapi Lebih Penting Esensi dan Substansi - Soeara Moeria

Breaking

Selasa, 03 Januari 2017

Pemikiran Gus Dur: Beragama Tak Boleh Mementingkan Simbol Tapi Lebih Penting Esensi dan Substansi

Semarang, soearamoeria.com
Salah satu gagasan Gus Dur yaitu pribumisasi Islam. Melalui gagasan ini Gus Dur ingin mengajak umat Islam di Indonesia supaya dalam beragama tidak mementingkan simbol, tapi lebih menekankan kepada esensi dan substansi.

Hal itu disampaikan Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah KH Abu Hapsin dalam dialog kebangsaan dengan tema “Kenduri Gus Dur: Agama dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan” yang diselenggarakan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Abdurrahman Wahid Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Walisongo di Auditorium I kampus I UIN Walisongo Semarang, Jumat (30/12/16).

Menurut pengajar Ushul al-Fiqh di UIN Walisongo itu, gagasan Gus Dur tentang pribumisasi Islam meski mulai dimunculkan pada tahun 1970-an, namun masih sangat relevan sekali dengan keadaan umat Islam sekarang.

“Orang bertengkar dengan orang lain dalam satu agama atau antaragama karena rebutan simbol.  Maka Gus Dur ingin mencoba mendewasakan orang-orang yang  beragama itu agar kemudian tidak fokus pada aspek-aspek yang bersifat simbol saja,” jelasnya.

Gus Dur, kata Kiai Abu, ingin sekali mendobrak pemikiran umat Islam di Indonesia agar tidak terjebak dalam simbol-simbol keagamaan. “Karena sekali lagi, kalau orang masih terjebak dalam simbol-simbol itu mereka belum dewasa dalam beragama,” katanya.

Gagasan Gus Dur sendiri pada saat itu atau bahkan sampai sekarang masih dianggap sangat asing di kalangan umat Islam, namun hal itu sebenarnya terobosan yang sangat luar biasa, sebagai ajakan kepada umat Islam supaya dalam beragama tidak kekanak-kanakan.

Simbol agama sendiri, papar Kiai Abu, ada dua macam; ada simbol agama yang primer seperti ketuhanan dan kitab suci, dan ada yang sekunder seperti pakaian atau tempat ibadah. Pribumisasi Islam yang digagas Gus Dur pada dasarnya seruan untuk tidak mementingkan simbol-simbol sekunder, melainkan lebih mengambil kepada esensi dan substansi ajaran Islam.

Terpaku terhadap simbol-simbol sekunder yang sebenarnya sama sekali tidak menyentuh terhadap inti ajaran agama, dapat menimbulkan konflik dan membuang waktu serta energi yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan lain seperti bersama-sama membangun kehidupan berbangsa dan bernegara ke arah yang lebih baik.

“Konflik antarumat beragama atau intern umat beragama itu karena persoalan simbol. Bukan persoalan esensi agama, bukan bagaimana kita berlomba untuk menjadi orang yang kerja keras, orang yang jujur, orang yang mandiri,” paparnya.

Bagi Gus Dur, kata Kiai Abu, inti ajaran agama terangkum dalam tiga hal, yaitu; filosofis, etis, dan humanis. Ketiga nilai ini apabila benar-benar diterapkan oleh umat beragama maka akan jelas manfaatnya.

“Nilai-nilai agama seperti ini ketika kita berkomitmen untuk melaksanakannya justru lebih bermanfaat, karena ketiga nilai inilah saya kira kita bisa dipertemukan dengan semua umat beragama. Kalau simbol-simbol keagamaan tidak bisa dipersatukan, tapi substansi dan esensi ajaran agama yang terangkum dalam tiga tadi; filsafat agamanya, etika agamanya, kemudian humanisme religiusnya itu bisa menyatu,” jelasnya.

Kendati demikian, pada kenyataannya umat beragama lebih tertarik pada aspek-aspek yang bersifat simbolik dan formalistik, daripada esensi dan substansi ajaran agamanya.

“Saya kira pribumisasi Islam yang digagas Gus Dur itu sebenarnya, sekali lagi, ingin membawa umat Islam dewasa dalam beragama. Sehingga kita dalam beragama tidak hanya terperangkap dalam simbol,” tuturnya.

Hadir sebagai pembicara dalam diskusi rangkaian peringatan Haul Gus Dur Ke-7 PMII Abdurrahman Wahid UIN Walisongo Semarang; Pdt. Dr. Tjahjadi Nugroho (Pendiri EIN Institute), Shuniyya Ruhama (Santri Gus Dur), dan Yoseph Suyatno Hadi Atmojo Pr (tokoh Katolik). (*)

Source : NU Jateng 

1 komentar: