Semarang, soearamoeria.com
Salah satu
gagasan Gus Dur yaitu pribumisasi Islam. Melalui gagasan ini Gus Dur ingin
mengajak umat Islam di Indonesia supaya dalam beragama tidak mementingkan
simbol, tapi lebih menekankan kepada esensi dan substansi.
Hal itu
disampaikan Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah KH Abu
Hapsin dalam dialog kebangsaan dengan tema “Kenduri
Gus Dur: Agama dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan” yang
diselenggarakan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Abdurrahman Wahid
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Walisongo di Auditorium I kampus
I UIN Walisongo Semarang, Jumat (30/12/16).
Menurut
pengajar Ushul al-Fiqh di UIN Walisongo itu, gagasan Gus Dur tentang
pribumisasi Islam meski mulai dimunculkan pada tahun 1970-an, namun masih
sangat relevan sekali dengan keadaan umat Islam sekarang.
“Orang
bertengkar dengan orang lain dalam satu agama atau antaragama karena rebutan
simbol. Maka Gus Dur ingin mencoba
mendewasakan orang-orang yang beragama
itu agar kemudian tidak fokus pada aspek-aspek yang bersifat simbol saja,”
jelasnya.
Gus Dur,
kata Kiai Abu, ingin sekali mendobrak pemikiran umat Islam di Indonesia agar
tidak terjebak dalam simbol-simbol keagamaan. “Karena sekali lagi, kalau orang
masih terjebak dalam simbol-simbol itu mereka belum dewasa dalam beragama,”
katanya.
Gagasan
Gus Dur sendiri pada saat itu atau bahkan sampai sekarang masih dianggap sangat
asing di kalangan umat Islam, namun hal itu sebenarnya terobosan yang sangat
luar biasa, sebagai ajakan kepada umat Islam supaya dalam beragama tidak
kekanak-kanakan.
Simbol
agama sendiri, papar Kiai Abu, ada dua macam; ada simbol agama yang primer
seperti ketuhanan dan kitab suci, dan ada yang sekunder seperti pakaian atau
tempat ibadah. Pribumisasi Islam yang digagas Gus Dur pada dasarnya seruan
untuk tidak mementingkan simbol-simbol sekunder, melainkan lebih mengambil
kepada esensi dan substansi ajaran Islam.
Terpaku
terhadap simbol-simbol sekunder yang sebenarnya sama sekali tidak menyentuh
terhadap inti ajaran agama, dapat menimbulkan konflik dan membuang waktu serta
energi yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan lain seperti bersama-sama
membangun kehidupan berbangsa dan bernegara ke arah yang lebih baik.
“Konflik
antarumat beragama atau intern umat beragama itu karena persoalan simbol. Bukan
persoalan esensi agama, bukan bagaimana kita berlomba untuk menjadi orang yang
kerja keras, orang yang jujur, orang yang mandiri,” paparnya.
Bagi Gus
Dur, kata Kiai Abu, inti ajaran agama terangkum dalam tiga hal, yaitu;
filosofis, etis, dan humanis. Ketiga nilai ini apabila benar-benar diterapkan
oleh umat beragama maka akan jelas manfaatnya.
“Nilai-nilai
agama seperti ini ketika kita berkomitmen untuk melaksanakannya justru lebih
bermanfaat, karena ketiga nilai inilah saya kira kita bisa dipertemukan dengan
semua umat beragama. Kalau simbol-simbol keagamaan tidak bisa dipersatukan,
tapi substansi dan esensi ajaran agama yang terangkum dalam tiga tadi; filsafat
agamanya, etika agamanya, kemudian humanisme religiusnya itu bisa menyatu,”
jelasnya.
Kendati
demikian, pada kenyataannya umat beragama lebih tertarik pada aspek-aspek yang
bersifat simbolik dan formalistik, daripada esensi dan substansi ajaran
agamanya.
“Saya kira
pribumisasi Islam yang digagas Gus Dur itu sebenarnya, sekali lagi, ingin membawa
umat Islam dewasa dalam beragama. Sehingga kita dalam beragama tidak hanya
terperangkap dalam simbol,” tuturnya.
Hadir
sebagai pembicara dalam diskusi rangkaian peringatan Haul Gus Dur Ke-7 PMII
Abdurrahman Wahid UIN Walisongo Semarang; Pdt. Dr. Tjahjadi Nugroho (Pendiri
EIN Institute), Shuniyya Ruhama (Santri Gus Dur), dan Yoseph Suyatno Hadi
Atmojo Pr (tokoh Katolik). (*)
Source : NU Jateng
Tidak ada komentar:
Posting Komentar