Penulis : Aguk Irawan MN
Penerbit : Javanica
Cetakan : I, September 2015
Tebal : 389 halaman
ISBN : 978-602-72793-1-5
Penerbit : Javanica
Cetakan : I, September 2015
Tebal : 389 halaman
ISBN : 978-602-72793-1-5
Peresensi : Jumadi
Order Buku : 085 640 033 625 (SMS/WA)
Setelah sukses dengan novel biografi KH. Hasyim
Asy’ari yang berjudul Penakluk Badai, kini Aguk Irawan MN kembali menulis novel
tentang Gus Dur. Meskipun sudah banyak buku yang mengulas diri sang guru bangsa
ini, baik dari segi biografi, cerita humor dan lainnya. Kini Gus Dur tampil
berbeda, yakni lewat sebuah novel.
Membaca
Gus Dur lewat novel, memang berbeda dengan membaca buku biografinya yang
bersifat ilmiah. Terlebih, dalam novel ini, ada banyak sisi lain dari Mantan
Presiden RI Ke-4 ini yang belum terungkap di buku manapun. Sebab, penulis
menggunakan riset selama tiga bulan dengan proses penulisan yang hanya beberapa
hari saja seperti yang diungkapkannya dalam sebuah acara bedah buku di
Yogyakarta.
Novel
ini bermula dari kisah lahir dan tumbuh kembangnya Gus Dur di Tebuireng. Nama
kecil Gus Dur ialah Abdurrahman Ad-Dakhil yang dikenal nakal dan jahil. Namun
karena lahir di lingkungan pesantren, sejak kecil ia pun sudah didik untuk
berpuasa oleh orang tuanya, yakni KH. Wahid Hasyim dan Nyai Sholichah.
Tujuannya
yakni supaya mampu melatih kepasrahan, keikhlasan dan kesabaran (hal. 39).
Meskipun Gus Dur cucu dari ulama besar dan seorang kiai, ia tidak ingin belajar
ilmu agama saja. Semua ilmu dipelajarinya lewat membaca. Bahkan ketika ia
membeli kacang rebus, kertas pembungkusnya pun dibaca (hal. 45).
Masa
pengembaraan Gus Dur juga dimulai ketika dirinya masih kecil. Yakni, ketika
Presiden Soekarno menunjuk ayahnya sebagai Menteri Agama masa itu. Gus Dur
lantas masuk sekolah Yayasan Perguruan Perguruan Kebaktian Rakyat Indonesia
Sulawesi (KRIS) di Jl. Dr. Sam Ratulangi, Jakarta.
Pasca
ayahnya meninggal dalam sebuah kecelakaan, lantas Gus Dur, dikirim ke Pesantren
Krapyak, Yogyakarta, di bawah asuhan KH. Ali Maksum. Akan tetapi tidak betah
dan lebih memilih kos di Rumah sahabat ayahnya, Haji Junaidi (hal. 134).
Demi
mengarungi keilmuan, Gus Dur pun dikirim pesantren Tegalrejo, Magelang di bawah
asuhan Kiai Chudlori. Dari sini Gus Dur mulai membuat gebrakan. Ia yang
menggagas kesenian boleh masuk ke pesantren (hal. 248). Selain itu,
pendidikannya di Magelang ini hanya ditempuh dua tahun lebih pendek dari pada
santri yang lain (hal. 258).
Dari
Magelang, Gus Dur pun kembali ke Jombang untuk mengajar di madrasah dan
pesantren. Ia pun selanjutnya dikirim ke Mesir, Al-Azhar, atas permintaan kakek
dan pamannya. Namun hanya bertahan tiga tahun, sebab ia merasa sudah menguasai
ilmu yang di ajarkan di sana. Kemudian ia pun pindah ke Baghdad dan selanjutnya
berkelana ke Eropa. Perjalanan panjang pengembaraan seorang Gus Dur pun tidak
sampai disitu. Selain kisah perjalanan seorang Gus, dalam novel bercover hijau
gelap ini penulis juga memasukkan kisah lucu dan joke-joke khas seorang Gus
Dur.
Membaca
sebuah novel memang sangat menyenangkan. Lebih mengalir bak air. Terlebih yang
ditulis dalam novel tersebut tokoh sekaliber Gus Dur. Orang yang lucu dan
nyeleneh. Tetapi dengan tingkat intelektual yang tinggi. Membaca novel setebal
389 halaman ini dijamin tidak akan rugi. Akan banyak inspirasi yang Anda
dapatkan.
Seperti
apa yang dikatakan KH. Ahmad Mustofa Bisri atau yang lebih akrab disapa Gus
Mus, novel ini memang mengisahkan banyak hal yang jarang diketahui orang
tentang kehidupan Gus Dur sebelum dikenal sebagai seorang guru bangsa. Selamat
membaca! (*)
_____________________________
Novel
ini mengisahkan banyak hal yang jarang diketahui orang tentang kehidupan Gus
Dur sebelum beliau dikenal sebagai seorang guru bangsa (KH. Ahmad Mustofa
Bisri)
Novel ini mengingatkan saya pada segala hal tentang Gus Dur sejak belia dan remaja, sebelum tumbuh menjadi seorang tokoh nasional dan guru bangsa. Bacaan yang sangat inspiratif (Dr. KH. Abdul Ghofur)
Novel ini mengingatkan saya pada segala hal tentang Gus Dur sejak belia dan remaja, sebelum tumbuh menjadi seorang tokoh nasional dan guru bangsa. Bacaan yang sangat inspiratif (Dr. KH. Abdul Ghofur)
Penulis
begitu mengenal dunia pesantren dan Gus Dur. Bahasanya begitu hidup. Bahkan
saya merasa ia lebih banyak tahu tentang Gus Dur ketimbang saya. Patut dibaca oleh
siapa saja, terutama para santri (KH. Mahfudz Ridwan)
Source: Koran Madura & Kaurama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar