Peci Miring: Membaca Gus Dur Lewat Novel - Soeara Moeria

Breaking

Rabu, 25 Januari 2017

Peci Miring: Membaca Gus Dur Lewat Novel



Judul Buku : Peci Miring
Penulis : Aguk Irawan MN
Penerbit : Javanica
Cetakan : I, September 2015
Tebal : 389 halaman
ISBN : 978-602-72793-1-5
Peresensi : Jumadi
Order Buku : 085 640 033 625 (SMS/WA)

Setelah sukses dengan novel biografi KH. Hasyim Asy’ari yang berjudul Penakluk Badai, kini Aguk Irawan MN kembali menulis novel tentang Gus Dur. Meskipun sudah banyak buku yang mengulas diri sang guru bangsa ini, baik dari segi biografi, cerita humor dan lainnya. Kini Gus Dur tampil berbeda, yakni lewat sebuah novel.

Membaca Gus Dur lewat novel, memang berbeda dengan membaca buku biografinya yang bersifat ilmiah. Terlebih, dalam novel ini, ada banyak sisi lain dari Mantan Presiden RI Ke-4 ini yang belum terungkap di buku manapun. Sebab, penulis menggunakan riset selama tiga bulan dengan proses penulisan yang hanya beberapa hari saja seperti yang diungkapkannya dalam sebuah acara bedah buku di Yogyakarta.

Novel ini bermula dari kisah lahir dan tumbuh kembangnya Gus Dur di Tebuireng. Nama kecil Gus Dur ialah Abdurrahman Ad-Dakhil yang dikenal nakal dan jahil. Namun karena lahir di lingkungan pesantren, sejak kecil ia pun sudah didik untuk berpuasa oleh orang tuanya, yakni KH. Wahid Hasyim dan Nyai Sholichah.

Tujuannya yakni supaya mampu melatih kepasrahan, keikhlasan dan kesabaran (hal. 39). Meskipun Gus Dur cucu dari ulama besar dan seorang kiai, ia tidak ingin belajar ilmu agama saja. Semua ilmu dipelajarinya lewat membaca. Bahkan ketika ia membeli kacang rebus, kertas pembungkusnya pun dibaca (hal. 45).

Masa pengembaraan Gus Dur juga dimulai ketika dirinya masih kecil. Yakni, ketika Presiden Soekarno menunjuk ayahnya sebagai Menteri Agama masa itu. Gus Dur lantas masuk sekolah Yayasan Perguruan Perguruan Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) di Jl. Dr. Sam Ratulangi, Jakarta.

Pasca ayahnya meninggal dalam sebuah kecelakaan, lantas Gus Dur, dikirim ke Pesantren Krapyak, Yogyakarta, di bawah asuhan KH. Ali Maksum. Akan tetapi tidak betah dan lebih memilih kos di Rumah sahabat ayahnya, Haji Junaidi (hal. 134).

Demi mengarungi keilmuan, Gus Dur pun dikirim pesantren Tegalrejo, Magelang di bawah asuhan Kiai Chudlori. Dari sini Gus Dur mulai membuat gebrakan. Ia yang menggagas kesenian boleh masuk ke pesantren (hal. 248). Selain itu, pendidikannya di Magelang ini hanya ditempuh dua tahun lebih pendek dari pada santri yang lain (hal. 258).

Dari Magelang, Gus Dur pun kembali ke Jombang untuk mengajar di madrasah dan pesantren. Ia pun selanjutnya dikirim ke Mesir, Al-Azhar, atas permintaan kakek dan pamannya. Namun hanya bertahan tiga tahun, sebab ia merasa sudah menguasai ilmu yang di ajarkan di sana. Kemudian ia pun pindah ke Baghdad dan selanjutnya berkelana ke Eropa. Perjalanan panjang pengembaraan seorang Gus Dur pun tidak sampai disitu. Selain kisah perjalanan seorang Gus, dalam novel bercover hijau gelap ini penulis juga memasukkan kisah lucu dan joke-joke khas seorang Gus Dur.

Membaca sebuah novel memang sangat menyenangkan. Lebih mengalir bak air. Terlebih yang ditulis dalam novel tersebut tokoh sekaliber Gus Dur. Orang yang lucu dan nyeleneh. Tetapi dengan tingkat intelektual yang tinggi. Membaca novel setebal 389 halaman ini dijamin tidak akan rugi. Akan banyak inspirasi yang Anda dapatkan.

Seperti apa yang dikatakan KH. Ahmad Mustofa Bisri atau yang lebih akrab disapa Gus Mus, novel ini memang mengisahkan banyak hal yang jarang diketahui orang tentang kehidupan Gus Dur sebelum dikenal sebagai seorang guru bangsa. Selamat membaca! (*)
_____________________________

Novel ini mengisahkan banyak hal yang jarang diketahui orang tentang kehidupan Gus Dur sebelum beliau dikenal sebagai seorang guru bangsa (KH. Ahmad Mustofa Bisri)

Novel ini mengingatkan saya pada segala hal tentang Gus Dur sejak belia dan remaja, sebelum tumbuh menjadi seorang tokoh nasional dan guru bangsa. Bacaan yang sangat inspiratif (Dr. KH. Abdul Ghofur)

Penulis begitu mengenal dunia pesantren dan Gus Dur. Bahasanya begitu hidup. Bahkan saya merasa ia lebih banyak tahu tentang Gus Dur ketimbang saya. Patut dibaca oleh siapa saja, terutama para santri (KH. Mahfudz Ridwan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar