Fikih Pajak, Upaya Tingkatkan Masyarakat Sadar Pajak - Soeara Moeria

Breaking

Kamis, 07 Maret 2024

Fikih Pajak, Upaya Tingkatkan Masyarakat Sadar Pajak

FGD Fikih Pajak di Jakarta. 

Jakarta, soearamoeria.com - Saat ini banyak persoalan perpajakan yang terkait dengan pesantren. Salah satunya adalah ketika pesantren telah memiliki usaha yang kemudian berhubungan dengan masalah pajak. Untuk itu perlu dirumuskan pajak yang terkait dengan pesantren yang dulunya pajaknya adalah pajak sosial. 


Untuk itu, diperlukan pola yang sistematis untuk mengubah perilaku masyarakat agar sadar dan taat pajak. Untuk itu sangat penting melakukan penggalian prinsip-prinsip fikih yang mendukung penerimaan negara dari pajak yang bisa jadi bahan ampuh untuk edukasi, sosialisasi dan literasi perpajakan di kalangan muslim. Hal tersebut dikemukakan oleh KH Sarmidi Husna, Direktur Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) dalam Focus Group Discussion di Jakarta, Kamis (7/3/2024).  


Menurutnya kurangnya kesadaran masyarakat sebagai wajib pajak membayar pajak kepada negara merupakan persoalan serius bagi bangsa ini, karena pemasukan negara sebagian besar diperoleh dari pajak. “Pentingnya kesadaran membayar pajak. Karena kurangnya kesadaran membayar pajak, tidak mengetahui manfaat membayar pajak, mengabaikan kewajiban membayar pajak dan kurangnya sosialisasi dari pemerintah  tentang pajak dapat menyebabkan terjadinya perlawanan berupa penghindaran dan penggelapan pajak,” ujarnya.

 


Sarmidi menambahkan perlu adanya pola yang sistematis untuk mengubah perilaku masyarakat agar sadar dan taat pajak. Hal tersebut dapat dilakukan melalui pendidikan, forum seminar, mimbar-mimbar keagamaan, pertemuan warga, dan lain sebagainya dalam bentuk inklusi kesadaran perpajakan. 


Bagi umat Islam, lanjut Sarmidi, pungutan yang wajib dibayar berdasarkan perintah langsung dari Al-Quran dan Hadits secara eksplisit adalah zakat. “Sedangkan pajak, ada perintah tidak langsung yang  dapat digali dari argumen fikih dan atau usul fikih. Memberikan informasi kepada masyarakat agar sadar membayar pajak itu merupakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar yang sangat dianjurkan oleh Islam (QS. Ali-Imron:104). Selain itu, dalam Islam juga dikenal satu pendekatan yang sering digunakan untuk menyelesaiakan masalah, termasuk juga masalah perpajakan, yaitu dengan pendekatan fikih,” ungkap Sarmidi.


Kemudian ia menjelaskan melalui fikih dapat merambah pada masalah perpajakan untuk menjelaskan segala hal yang berkaitan dengan perpajakan dalam pandangan dan pemahaman ajaran Islam yang diperoleh dari teks al-Qur’an dan Hadis. “Tentunya, fikih di sini bukan saja sekumpulan ketentuan hukum (legal-formal), melainkan juga kerangka etika moral sosial yang sangat penting untuk memandu kehidupan manusia yang adil, maslahah, manusiawi, dan bijaksana untuk kemaslahatan bangsa dan negara. 


Untuk Itu P3M akan menyusun sebuah buku bertema Fikih Pajak: Solusi Permasalahan Pajak dalam Perspektif Islam. “Maka dari itu P3M memandang perlunya bahkan sangat penting dilakukan penggalian prinsip-prinsip fikih yang mendukung penerimaan negara dari pajak yang bisa jadi bahan ampuh untuk edukasi, sosialisasi dan literasi perpajakan di kalangan Muslim,” ungkapnya. 


Sementara itu menurut Muhammad Noor, Direktur P2 Humas DJP mengatakan di Indonesia tingkat kepatuhan bayar pajak masih kurang.  Menurutnya teks rasio yang masih rendah sekitar 10 persen.  


“Pada tahun 2024 negara ini membutuhkan dana 3300 T, sedangkan pendapatan negara diproyeksikan sekitar 2700 T, pembiayaan anggaran sekitar 522 T. Sehingga negara masih butuh pembiayaan anggaran yang besar, karena jika dilihat dari nominalnya jelas besar pasak daripada tiang, sehingga kita perlu memikirkan sumber pendapatan,” ungkapnya. 


Menurutnya banyak pendapat kaum muslim terkait pajak. “Khususnya di Indonesia terutama kalangan santri masih menjadi pertentangan apakah wajib, sunah, haram, mubah atau makruh,” tambahnya.


Kemudian Noor menyebut Muslim di Indonesia terdapat 87 persen dan merupakan umat muslim terbanyak di dunia. Hal ini menunjukan bahwa seharusnya potensi di luar pajak seperti zakat sangat besar yaitu 300 T. “Namun yang terkumpul masih kecil yaitu sebesar 22 persen. Zakat secara program dapat mengurangi pengahsilan yang dapat mengurangi besaran pajak yang harus dibayarkan,” pungkasnya. (kh)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar