Historical Consiousness: Nusantaraku Indonesia - Soeara Moeria

Breaking

Rabu, 10 Januari 2024

Historical Consiousness: Nusantaraku Indonesia

Peta nusantara. (Foto: totabuan news)
Oleh : Fikri Hailal, mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 


Nusantara yang bermetamorfosis menjadi Indonesia, merupakan bukti nyata dari kumpulan nilai-nilai luhur yang terlahir dari rahim agama. Pada 17 Agustus 1945 di jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta Pusat. Teks proklamasi resmi dibacakan oleh Ir. Soekarno dan didampingi oleh Ir. Moh. Hatta. Pergerakan ini menjadikan tanda titik awal penolakan atas penjajahan di bumi Pertiwi secara diplomatik dan secara militer untuk memerangi keberadaan pasukan Belanda dan warga sipil yang ikut berpihak pada Belanda. Lambat laun, pada tahun 1949 pasukan Belanda mengikrarkan kedaulatan bumi Nusantara, yaitu Republik Indonesia.


“Nusantaraku Indonesia” merupakan perwujudan wilayah berdaulat yang melimpah ruah akan semuanya. Sumber alamnya, isi buminya, jenis flora fauna, tradisi budaya, kultur suku, bahasa dan kekayaan yang lainnya turut serta mencukupi kehidupan bumi dan lautan Nusantara Indonesia. Selain itu, negara Indonesia adalah negara yang masyhur dengan pola prilaku luhur dan tutur kata yang santun.


Namun, pada akhir-akhir ini bumi Nusantara seolah-olah mendapatkan tamparan keras dari generasi kaum muda-mudinya. Sifat santun dan prilaku luhur yang terlahir dari rahim Ibu Pertiwi, seolah-olah seperti indah dikabar namun bias dirupa. Berbagai isu-isu tidak sedap sering menghujani bumi Nusantra ini, Indonesia.


Kabar berita yang mengiris hati datang dari insiden seorang siswa SD berinisial F (11) yang mengalami perundungan atau bullying, dipaksa mensetubuhi seekor kucing dan teman-teman sekolahnya merekamnya serta menyebar di media sosial. Hingga berujung F meregang nyawa karena depresi berat atas perundungan dari teman-temannya.


Kemudian di Banjarmasin; Kalimantan Selatan, seorang pelajar SMA berinisial AR (15) yang merupakan korban bully yang telah gelap hati, dengan berani menikam MR (15) saat sedang duduk di kelas, karena AR mengaku sakit hati karena sering di-bully¬ oleh MR. Faktanyanya, kasus bullying di negara ini tidak hanya terjadi kali pertama. Mengutip dari riset Programmer for International Students Assessment (PISA), pada tahun 2018 kasus bullying di negara Indonesia sebanyak 41,1% dan menjadikan Indonesia sebagai negara nomer lima tertinggi dalam insinden murid yang mengalami perundungan atau bullying.


Tidak kalah menyedihkan dari kasus perundungan, negara Indonesia juga dilanda kasus pergaulan bebas yang berujung dengan “kumpul kebo”. Menurut hasil data survei dari Dinas Pendidikan Kota Bandung mengenai pergaulan bebas. Mini surevei yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa 56% anak dibawah usia 14 tahun dari 60 reponden. Mengaku bahwa sudah pernah melakukan hubungan badan atau seks bebas.


Selanjutnya mengenai fenomena kasus dispensasi nikah usia dini yang terjadi di Indonesia. Mengutip sumber data dari Kementrian PPPA dan BKKBN, bahwa semenjak tahun 2019 sampai akhir tahun 2021. Setiap tahunnya angka permintaan dispensasi nikah pada usia dini mencapai 30%. Dari data Kemenag Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2021, kasus yang diajukan mencapai 11.505 kasus. Penulis berfikir, kemudian bagaimana keadaan kasus-kasus lain yang belum terekspos di bumi Nusantara? Kasus korupsi, judi atau slot, pornografi, pemerkosaan, pelacur atau gigolo, LGBT, kekerasan, pembegalan dan kasus-kasus yang masih banyak lagi. Akan tetapi, jika kasus ini hanya dihadapkan pada generasi muda-mudinya sebagai aktor pelaku. Maka, negara ini tidak akan pernah mendapatkan solusi. Karena faktanya, para muda mudi juga merupakan bagian dari korban yang terkena dampak negatif dari maraknya globalisasi dan modernisasi.


Historical Consiousness: Nusantaraku Indonesia

Mengutip pendapat dari Talcott Person, beliau menuturkan bahwa agama merupakan sistem acuan nilai (system referenced values) untuk bergerak dalam sistem tindakan (system of action).  Mafhum-nya, agama yang selama ini diimani oleh manusia. Terlahir menjadi spirit keberagamaan, dimana fitrahnya sebagai makhluk sosial yang mengemban titah khalifah fil ‘ardh. Tidak jarang, menjadikan manusia berlomba-lomba untuk berprilaku bijaksana dan arif demi kemaslahatan lingkungan sekitarnya seperti yang telah diajarkan oleh nilai-nilai agama itu sendiri. Artinya, pada konteks ini agama dijadikan sebagai barometer ideal yang dijadikan sumber acuan oleh masyarakat. Apa yang mereka pahami dari agama, maka itulah yang akan mereka lahirkan dan praktikkan dalam kehidupan bermasyarakat. Singkatnya, pergolakan tindakan manusia adalah pergolakan dari agama. Sehingga pada perkembangannya, secara tidak langsung cerminan dari citra agama akan nampak terlihat dari buah hasil tindakan para pemeluk agama di mata sejarah yang akan datang.


Nusantaraku Indonesia, merupakan bukti nyata kekayaan keragaman yang lahir dari rahim agama yang musti dijaga dan dirawat secara bersama-sama oleh siapa pun dan sampai kapan pun. Dari Sabang sampai Merauke, semua insan fardhu ‘ain hukumnya menjaga dan memperkokoh kesatuan Republik Indonesia dalam balutan pedoman asas “Bhinneka Tunggal Ika”. Agar sejarah kelam di masa lampau; penjajahan, tidak terulang kembali diatas negera kesatuan Republik Indonesia. Baik penjajahan yang berlatar belakang spiritual, kekuasaan, finansial, pengetahuan maupun penjajahan-penjajahan lainnya. Semuanya harus dihapuskan dan dimusnahkan.


Bumi Nusantara yang bermetamorfosis menjadi Indonesia, merupakan perwujudan wilayah yang menjadi primadona bagi setiap bangsa. Tidak hanya karena alasan hasil rempah-rempah buminya. Indonesia sering menjadi tujuan sasaran bangsa lain, karena ingin menguasai wilayah buminya dan menggantikan paham ideologi peradaban dari masyarakat pribumi. Semangat inilah yang bangsa lain emban dengan balutan spirit motivasi 3G, yaitu gold (kekayaan), glory (kekuasaan) dan gospel (ajaran).


Mengutip dari pendapatnya Borries (1988, dalam Koeber: 2015) mengenai historical consiousness atau kesadaran sejarah. Beliau menuturkan bahwa membangun historical consiousness atau kesadaran dalam sejarah – arti penting dibalik sebuah sejarah – dapat dicapai melalui tiga dimensi: 1) Dimensi historical ignorance, pada dimensi ini seorang individu mengabaikan – bersikap tidak acuh – terhadap peristiwa sejarah dikarenkan belum memahami tujuan epistemologi dari sebuah sejarah. 2) Dimensi historical belonging, pada dimensi ini seorang individu memiliki sudut pandang yang berlebihan terhadap suatu sejarah – semacam terlalu mengkultuskan suatu kejadian –. Terlebih, seorang individu yang mempunyai ikatan emosional terhadap sejarah itu sendiri. Pada fase dimensi ini, seorang individu akan cenderung bersikap asketis dengan sejarah dan menganggap seolah peristiwa yang bersejarah merupakan suatu hal yang perlu dikenang sehingga memposisikan sejarah seperti sebuah mitos atau legenda. 3) Dimensi historical recognition/ historical consiousness, pada tahapan ini seorang individu telah memahami epistimologi sebuah sejarah dari berbagai peristiwa yang mempunyai unsur-unsur substantif.  Pada dimensi ini, seorang individu telah mampu menangkap suatu sejarah secara fair sehingga memahami epistemologi sejarah sesuai porsinya. Artinya, pada dimensi ini seorang individu telah mempunyai judgemnt berdasarkan rasionalitas dan analisis mengenai fakta-fakta mengenai suatu peristiwa (sejarah) yang ada dihadapannya.


Jika dihadapkan mengenai makna historical consiousness terhadap “Nusantaraku Indonesia”. Pesan yang hendak disampaikan adalah mengajak generasi Indonesia untuk kembali secara sadar meniru dan tabaruk-kan kepada para salafusshalihin, alim ulama aliran Ahlussunnah wal Jama’ah. Karena ibarat kata dalam dunia kasta, ulama adalah golongan tertinggi dalam jajaran sosial masyarakat yaitu brahmana. Setiap pemikiran, ucapan, dan tindakannya selalu dilandasi dengan budi luhur yang agung dan perilaku yang arif sesuai dengan yang diharapkan oleh ibu Pertiwi demi memperkokoh persatuan keragaman Indonesia agar lebih sejahtera dan bermartabat.


Nusantaraku Indonesia, bapak proklamator bangsa Indonesia yaitu Ir. Soekarno berpesan kepada warga ini, bahwa: “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa para pahlawannya”. Dalam sebuah syair Arab dari Syaikh Musthofa Al-Ghulayain menyampaikan bahwa “syubbanul yaum rijaalul ghod”, yang berarti pemuda hari ini adalah pemimpin dimasa mendatang. Pesan lain datang dari syaikh Dr. Yusuf al-Qaradhawi ulama’ kontemporer dari Mesir, beliau menuturkan bahwa: “Pemuda jika diibaratkan itu seperti matahari yang bersinar terang di siang hari”. Untuk itu, marilah dari semua jajaran abdi negara maupun masyarakat sipil; khususnya generasi muda mudi, saling bersinergi menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dan mencintai keberagaman bumi pertiwi dengan segenap jiwa raga, demi memperkokoh persatuan Republik Indonesia agar lebih sejahtera dan bermartabat. Karena mencintai tanah air adalah bagian dari tradisi menjaga keimanan yang telah lama lahir. 


Langkah awal yang musti diambil adalah dengan cerdas dalam mencontoh dan meniru. Para orang-orang shalih terdahulu berpesan, “bersungguh-sungguhlah dan teruslah berada pada jalur tapak tilas orang-orang shalih dahulu”. Sebab, orang shalih terdahulu (ulama) adalah para pelita yang senantiasa menyinari dengan hangat kehidupan dunia hingga kehidupan berikutnya yaitu akhirat kelak.


Nusantaraku Indonesia, bangsa ini perlu menanamkan kembali benih-benih patriot kecintaan kepada orang-orang sholeh terdahulu, pahlawan Indonesia. Sehingga kelak, bangsa ini akan semakin sadar dan mengerti arti pentingnya sebuah sejarah (historical consiousness). Para generasi penerus bangsa ini, akan secara terbuka melanjutkan dan meneruskan tongkat estafet para tokoh-tokoh nasionalis terdahulu dan juga menjadi bagian revolusioner jargon “Al-Ulama’ Waratsatu Al-Anbiyak” yang berjiwa moderat dan toleran dalam peradaban kehidupan selanjutnya. Dimasa mendatang demi menuju Indonesia Emas 2045, bangsa ini harus siap dan mampu menjadi bagian dari generasi-genarasi yang mewarisi spirit keislaman Walisongo dan ulama Ahlussunnah wal Jama’ah, yang mampu menyebarkan dan melahirkan jiwa-jiwa generasi yang mempunyai nafas keislaman toleran, damai, terbuka, dan akomodatif terhadap budaya Nusantara. Spirit inilah yang kelak akan melahirkan atmosfir harmonis (memadukan konsep teologi, fiqih, dan tasawuf) dan menghasilkan tradisi-tradisi majemuk yang terkonsolidasi, mapan, dan dominan.  Untuk itu, bangsa ini harus mulai berlaku jujur dan mulai sadar dengan melihat dengan kaca mata ruhani untuk turut serta meneladani sepak terjang para tokoh-tokoh Ulama dan Nasionalisme yang bersama-sama memperjuangankan keutuhan dan kedaulatan Republik Indonesia. Jika bukan bangsa ini yang mewujudkan dan melanjutkan cita-cita luhur (Bhinneka Tunggal Ika) para tokoh sejarah, lantas siapa lagi?.


Jadi, dalam tulisan mengenai “Historical Consiousness: Nusantaraku Indonesia”, Pesan yang hendak disampaikan adalah mengajak kepada semua jajaran abdi negara maupun masyarakat sipil; khususnya generasi muda, untuk saling bersinergi mengobarkan semangat api patriot dalam diri pribadi masing-masing, khususnya pada pribadi generasi muda mudi bumi Nusantara Indonesia. Bangsa Indonesia butuh simbol kontekstual dari asas “Bhinneka Tunggal Ika” yang  menumbuhkan nilai-nilai moderasi dan toleransi ditengah-tengah Nusantara Indonesia yang sarat akan kemajemukan dan keragamannya.


Generasi bangsa Indonesia yang digadang-gadang sebagai “syubbanul yaum rijaalul ghod”, merupakan generasi yang diharapkan mampu mempersembahkan kepada bumi pertiwi sebuah prestasi, dedikasi, komitmen serta loyalitas terbaik tanpa henti demi menjaga keutuhan dan kesatuan marwah negara republik Indonesia. Generasi tersebut adalah golongan yang mampu memberikan warna terbaik pada peradaban Indonesia dengan menjunjung tinggi etika luhur, sopan santun yang beradab, dan menjadi bagian dari insan yang berdaya pengetahuan wawasan internasional. Sehingga kedepannya, para penduduk Indonesia khususnya generasi kaum muda mudi. Mampu serta lebih siap untuk menjawab tantangan zaman dan bersaing secara cerdas di masa yang akan datang, yaitu menuju era Indonesia Emas 2045.


Generasi muda Indonesia pada hari ini, digadang-gadang oleh para leluhur yang terlahir dari rahim ibu pertiwi Indonesia. Karena semangat mudanya yang menyengat bagai sinaran matahari, kelak akan menyinari dan menghangatkan peradaban bumi pertiwi Indonesia. Karena kaum pemuda mempunyai peran dan andil yang sangat besar bagi kemajuan peradaban suatu negara. 


Wahai kaum muda mudi yang menyinari Nusantara Indonesia, sejenak pikirkan dan renungkan bagaimana keadaan nasib negara ini dikemudian hari?. Jika semisal generasi muda mudi bangsa Indonesia hanya bertindak pasif, hedonis, anarkis dan mempunyai tabiat sumbu pendek serta minim eksplorasi sejarah atau historical consciousness dari negaranya. Apakah negara ini akan hancur lebur atau negara ini akan baik-baik saja? disaat generasi muda mudi yang digadang-gadang sebagai tiang garda dan penerus Nusantara Indonesia hanya mengedepankan hawa nafsu belaka. Cobalah buka hati nurani dan renungkan bersama-sama mengenai potret gambaran tersebut.   


Nusantaraku Indonesia, dunia boleh mengalami globalisasi, pengetahuan boleh mengalami revolusi, dan teknologi pun boleh mengalami transformasi. Akan tetapi indentitas diri, jati diri, serta tradisi bumi pertiwi. Jangan sampai terdisrupsi dan semangat patriot nasionalisme harus tetap terpatri dalam lubuk hati. Sebagai generasi bangsa; khususnya kaum muda mudi Indonesia, yang berada pada era digitalisasi. Sudah sepatutnya bangsa ini jangan sampai terlena dan tergerus oleh budaya modernisasi, Wallahu a’lam biqudratihi. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar