Banyu Langit di Hati Khumairah - Soeara Moeria

Breaking

Rabu, 19 Juli 2023

Banyu Langit di Hati Khumairah

Ilustrasi : bpbd.slemankab.go.id

Cerpen : Kartika Catur Pelita


Air deras turun dari langit sedari pagi hingga sore. Sungai meluap, menerjang bantaran, menggenangi pekarangan, halaman, merembesi jalan, rumah. Orang-orang yang bermukim pada bantaran sungai berteriak-teriak menabuh kentungan!

    

“Banjir! Banjir! Banjir!”

    

“Naiklah ke atas, Nak. Cepat-cepat  ajak adikmu.”

   

“Tapi mainanku masih di bawah, Nek.”

   

“Biar Nenek ambilkan. Layla, Ana, Aldi ayo naik, cepat!”

    

Seorang perempuan  sepuh  tertatih mengambil bola kemudian hati-hati meniti anak  tangga kayu. 


Menyusul ketiga cucunya yang sudah lebih dahulu naik ke loteng. Rumahnya berada tak jauh dari sungai. Suami dibantu anak menantunya membangun rumah bertingkat, meski bertingkat ala kadarnya. 


Loteng yang hanya seukuran 3 X 4, kamar terbuat dari kayu. Di sana ia suami, dan anak menantu, dan cucunya  mengungsi saat terjadi banjir.                  

                                                                                   ***

   

“Bang... bangun, bangun, banjir!” seorang istri berdaster menepuk pundak suami. Lelaki muda, berkaus buntung yang sedang tiduran di lantai menggeragap, ngedumel. “Apaan, gangguin  orang tidur.”

    

“Banjir. Ada banjir, Bang Ganteng.”

    

“Bah, banjir udah kemari?!”

    

“Tuh... air merembes udah pada maksa masuk rumah.”

    

“Sudah kamu ungsiin barang-barang ke lantai atas?”

    

“Makanya ayo abang ganteng bangun dan bantuin Eneng. Eneng enggak kuat angkut kasur sendirian.”

    

Air semakin merangsang naik. Sepasang suami-istri muda tanpa anak bertengger  di lantai atas rumahnya, seperti burung.

                                                                                   ***

      

Pada  sebuah rumah berada paling ujung, sepasang suami-istri sedang menghadapi anak bungsunya yang rewel. 


Banyu, sebagai kepala keluarga mencoba menenangkan Langit,  bocah lima tahun yang menangis. Khumairah, si  ibu sudah berusaha membujuk rayu, tapi si anak tetap menangis. 


Dari lantai atas, anak beranak melihat banjir datang. Menengok jalan dan halaman,  air cokelat menggenang.

    

“Kau lapar, Nak?” si ayah menatap putra bungsunya sarat sayang.

    

“Ia belum makan sejak pagi.” si ibu  yang menjawab.

    

“Kenapa?”

    

“Ia maunya makan ayam goreng. Mana mau tahu dan tempe.”

    

“Sesekali enggak apa-apa.”

    

“Iya, tapi ini hampir setiap hari.”

    

“Namanya anak bontot.”

     

Dua kakaknya, dua perempuan  usia lima dan tujuh tahun kelihatan tenang meski resah memandang  air bah. Keduanya  menghabiskan waktu membaca, meski sebentar lagi hari gelap dan  ibu mereka sudah menyiapkan lampu seadanya, terbuat dari kapas yang dicelupkan pada minyak goreng yang dituang di secawan  lepek.

     

“Seandainya Mas tak memanjakannya, si Langit tak kolokan dan manja begini.”

     

“Sudahlah, tak usah menyalahkan. Untuk apa  aku capek kerja kalau bukan demi kau dan buah hati kita, Rah.”

     

“Tapi...”

     

“Aku akan turun mau beli ayam goreng di warung makan seberang.”

     

“Tapi banjir...”

     

“Kau  lupa suamimu jagoan renang. Jelek begini saat di pondok pesantren sering menang lomba renang  Agustusan.”

    

“Iya, aku percaya, Mas. Tapi apakah tak lebih baik kau di sini, karena banjir....”

    

“Sudahlah, Rah. Aku  pergi hanya sebentar saja. Aku paling tak  tahan melihat anak nangis.”

    

“Ya, sudahlah, Mas.  Hati-hati.”

    

“Ya, jaga anak-anak kita. Sebelum petang, aku pulang.”

                                                                                   ***

Hujan masih deras.  Banyu membeli beberapa potong ayam goreng, mi instan, roti, kopi sachet, air mineral botol, dan snack.  

     

Banyu membungkus makanan dalam kantung plastik bertali. Erat-erat. Supaya tak rembes, karena dia nanti berenang ke seberang. Semoga air  banjir tak semakin bertambah.

     

Banyu  melangkah gegas, ke pemukiman, di dekat bantaran sungai. Ia terlongong saat  sejauh melihat tak ada lagi deretan rumah. Sepanjang pandang hanya  air cokelat menggenang. Banyu terlongong-melongong.


Ia berenang, berenang,  menuju  rumah di mana di sana berada istri dan permata hati-yang pasti menunggu kepulangannya. Ganas arus deras banjir menyapu, menggulungnya. 

                                                                                   ***

Pada sebuah masjid yang dijadikan tempat pengungsian  korban banjir,  orang-orang sibuk berbenah, menggelar kasur, karpet, tikar, kardus, atau alas tidur seadanya. Beberapa perempuan sibuk menenangkan anak-anak yang rewel, bayi-bayi yang menangis karena kekurangan susu, atau makanan. Bayi rewel karena  kedinginan, sementara  ketersediaan susu,  bubur, popok, selimut, persedian terbatas. Bantuan dari para dermawan tiada sebanding kebutuhan para pengungsi yang terus berdatangan.

    

Di antara keriuhan para pengungsi, seorang perempuan mendekap tiga permata hatinya. Si sulung tidur meringkuk, si tengah  menggelendot di  bahunya, dan si bungsu yang tidur di atas pangkuan. Perlahan direbahkannya si penengah, dijejerkannya pada si sulung yang beralas seprei yang dibawanya saat mengungsi. Dikerudungkannya sarung  suaminya untuk kemul anak-anaknya.

  

Ah, dia tiba-tiba merasa khawatir  dengan keberadaan sang kepala keluarga. Kala banjir menerjang tadi, si suami izin menyeberang demi membeli lauk untuk si bungsu yang rewel. Satu jam sudah lewat, anak beranak menunggu, ketika banjir kian meninggi. Ketakutan semakin meruah. Pada saat kritis, perahu karet SAR datang, dan menolong warga, termasuk dirinya, membawanya ke tempat aman. Mengungsi di gedung-gedung sekolah dan balai desa kampung seberang. Sebagian pengungsi  ditempatkan di dalam masjid. Termasuk Khumairah dan ketiga buah hati. 

      

Perempuan beranak tiga termangu, tiba-tiba meneteskan air mata. Ia teringat suami yang berpamitan pergi hendak membelikan ayam goreng untuk si bungsu, tapi mengapa tak jua  kembali. Semoga suamiku baik-baik saja. 


Perempuan bersahaja memeluk si bungsu, saat tiba-tiba ia tertidur, terlelap dan dalam mimpinya ia melihat suaminya  berenang  di sungai yang sangat deras arusnya, tangannya menggapai-gapai, seolah minta tolong. Namun, mengapa tak ada kata yang keluar dari bibir yang tak pernah terpapar rokok itu. Ia memanggil-manggil nama suami terkasih, ayah dari permata-permata hati. 

     

Sungguh ia tidak ingin kehilangan suami. Ia membayangkan bila menjadi seorang janda. Ia sangat mencintai suaminya, seperti ia sangat mengasihi buah hatinya. Ia memanggil nama suaminya. Ia berteriak. Ia berteriak. Terbangun berbasah derap keringat menggulma resah. Ia ngungun. Apa yang telah terjadi? Oh, mengapa, ada apa ini? Sebuah firasat burukkah? Oh, ia beristigfar berulang-ulang. 


Ya, Allah, tolong jagakan suamiku, seperti Engkau menjagaku, menjaga orangtuaku, menjaga anak-anakku. Hanya kepada-Mu, ya, Allah, aku berserah diri.

      

“Ibu mimpi buruk?” tetangga pengungsian menepuk pundaknya

      

“Astagfirullah, astagfirullah, astagfirullah... “ perempuan semampai beristigfar berulang-ulang, bersamaan saat anak bungsunya terbangun dan menangis keras-keras. 


Ia menggendongnya, meninabobokan, berusaha menenangkan. Berjalan hilir mudik. Sang anak terus menangis, sementara ia kian  mengkhawatirkan keadaan suaminya. Mungkinkah telah terjadi hal buruk pada lelaki yang telah menikahnya di depan penghulu, sebelas tahun silam? Lelaki gagah, baik, santun, saleh, dan bertanggung jawab pada keluarga.

      

Sesaat setelah tangis anak bungsunya mereda, Khumairah khusyuk salat malam. Memohon semoga Allah memberi keselamatan pada keluarganya. Bercucuran air mata ia mendoa. 


“Ya, Allah, ya, Tuhan kami, lindungilah kami, lindungilah hamba, suami dan anak-anak hamba yang hina dan lemah ini. Tuntunlah kami dalam jalan Lurus-Mu. Hanya pada-Mu kami berlindung, dan hanya pada ya Allah kami berserah diri.”

      

Hati Khumairah  merasa tenang.  Ia hendak beranjak ke tempat pembaringan kedua permata hati, saat dari serambi masjid terdengar keributan. Beberapa orang menggotong seseorang yang ditengarai korban banjir

      

“Ada apa, Pak?”

      

“Seseorang menjadi korban banjir. Nekat menyeberang padahal banjir hebat.  Ia terseret arus, dan...”

      

“Innalilaahi...”

      

“Ia mening...?”

      

“Allah masih menyelamatkan nyawanya.”

      

Perempuan  beranak menerobos dan memeluk lelaki yang sangat dicintainya. Syahdu alunan  suara azan Subuh mengalun dari masjid, rumah Allah. 

                                                                                   ***

Kota Ukir, 14 Agustus 2022


Karya prosa dan puisi dalam bahasa Jawa dan bahasa Indonesia dimuat di puluhan media cetak-daring, di antaranya: Suara Merdeka, Suara Pembaruan, Republika,  Kedaulatan Rakyat, Solopos, Media Indonesia, Nova, Kompas, Basis, Panjebar Semangat. Menulis buku fiksi Perjaka, Balada Orang-Orang Tercinta, Kentut Presiden, Perempuan yang Ngidam Buah Nangka, Karimunjawa Love Story. Penggiat komunitas Akademi Menulis Jepara (AMJ).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar