Grave of the Fireflies: Sebuah Refleksi Perang, Kemanusiaan, dan Perihal Tekad Bertahan Hidup - Soeara Moeria

Breaking

Senin, 02 Oktober 2023

Grave of the Fireflies: Sebuah Refleksi Perang, Kemanusiaan, dan Perihal Tekad Bertahan Hidup

Reddit.com.

Judul : Grave of the Fireflies

Tahun rilis : 1988

Sutradara : Isao Takahata

Animator : Studio Ghibli

Penerbit cerita : Shinchosha Publishing

Peresensi : Anjar Pratiwi, mahasiswi Fakultas Ilmu Budaya Prodi Sastra Indonesia Universitas Diponegoro Semarang.


Tepatnya tahun 1988, Studio Ghibli kembali menganimasikan sebuah karya yang bukan hanya epik sebagaimana standardisasi perfilman dan para kritikus, tetapi juga epik dilihat oleh penonton biasa. 


Film “Grave of the Fireflies” merefleksikan sebuah dampak besar dari peperangan dua negara adikuasa. Warga mau tidak mau harus mengalami efek dari hujan bom, misalnya. 


Kondisi demikian pun dialami secara jelas dan keras oleh tokoh Setsuko dan Seita. Mereka adalah kakak beradik yang mencoba bertahan hidup di situasi peperangan. 


Dengan jahatnya, hujan bom tega melenyapkan rumah-rumah sekaligus ibu mereka. Jadi, mereka harus menjalani tahap kehidupan baru tanpa orang paling diandalkan. 


Ditambah, ayahnya tergabung dalam pasukan pertempuran yang sedari awal tidak membersamai putra-putrinya. Lengkap sudah penderitaan mereka.


Kakak beradik yatim piatu tersebut mesti menjalani babak paling pahit sebab minim bantuan dari orang lain. Sisi kemanusiaan dalam kesempitan tertunjuk nyata sekali. 


Setiap individu berupaya menyelamatkan nasibnya terlebih dahulu. Atas kesempitan papan, pangan, dan keselamatan, bantuan pun sifatnya terbatas. 


Dari pemerintah tidak mencukupi, dari warga sekitar apalagi. Keluarga sedarah bahkan saling lempar tanggung jawab, “Ke saudara ayahmu saja sana.” atau “Mintalah bantuan ke keluarga ibumu.” 


Tokoh Setsuko dan Seita berarti sudah dianggap beban. Begitulah realitas pascaperang: harta dan keluarga sama-sama hilangnya. Ibarat kata, diri sendiri sedang berusaha mencari perlindungan, tetapi lingkungan malah bersikeras menyengsarakan.


Dua orang yang belum dewasa tersebut ditekan oleh keadaan supaya dewasa lebih awal. Seita, sang kakak berusia 14 tahun. 


Solidaritas atas landasan kasih sayang kepada adik begitu tinggi. Ia menjaga penuh adik perempuannya, Setsuko, yang baru berusia sekitar 4 tahun. 


Naskah film “Grave of the Fireflies” menjabarkan bagaimana sabarnya Seita mengasuh Setsuko yang tentu saja menanyakan ini itu. 


Adik sering menangis kebingungan mengamati keadaan tentunya. Ibunya tidak ada, bahkan ternyata telah tiada untuk selamanya. Ayah yang seharusnya mengayomi selama masa pengungsian pun nol kehadiran. 


Sebagaimana lumrahnya anak kecil, ia hanya bisa merengek ketika lapar, ingin buang air kecil, dan saat menginginkan sesuatu seperti ingin makan permen buah.


Karakter Seita ditetapkan sebagai seorang kaka yang bertekad kuat bertahan hidup dengan segala kemampuan dan metode. Ia rela dipukuli pemilik kebun karena ketahuan mencuri demi memberikannya kepada Setsuko yang tengah sakit. 


Atas situasi yang mustahil makan enak ataupun bergizi, adik mengalami malanutrisi. Semua makanan tidak mampu mencukupi gizi yang seharusnya diterima tubuh anak di usia pertumbuhan.


Mereka mengonsumsi apa yang belum pernah dan seharusnya tidak dimakan. Seperti katak bakar, ikan-ikan sungai yang tidak jelas bagaimana efeknya jika masuk perut, serangga, sampai tanaman liar. Mereka hanya berusaha benar-benar hidup dengan apa yang bisa diolah di sekitar gua—tempat tinggal mereka.


Selain perut yang bermasalah, kulit mereka juga terinfeksi. Lingkungan yang tidak terjamin kebersihannya dan kurangnya sanitasi. Mereka terbiasa buang air kecil di sekitar pohon-pohon tinggi saja, bukan toilet yang memadai. 


Memang kondisi pascapeperangan membuatnya seperti itu. Namun, dampaknya pun bukan main. Walaupun Setsuko masih bisa bermain-main menjalani hari-hari sebagai anak ceria, tidak bisa dipungkiri bahwa tubuhnya lambat laun melemah. 


Ia pun akhirnya berterima kasih kepada sang kakak yang sudah senantiasa menjaga dan merawatnya. Setsuko meninggal dunia. Entah bagaimana hancurnya mental sekaligus fisik Seita kala itu. Ayah, Ibu, dan harta terakhir: adiknya telah berpamitan. 


Akhir dari segala pertahanan hidupnya tidak membuahkan hasil manis. Semua cara sudah dilakukan demi memperbaiki keadaan dan demi mempersatukan keluarga. Harus diakui bahwa Setsuko harus menyerah pada takdir, ia gagal mencapai tujuan.


Dunia terlalu keras baginya sebagai pengungsi yang tidak berdaya. Manusia lain yang diandalkan untuk menunjukkan sisi kemanusiaannya ternyata belum sampai hati menampungnya. Usia yang seharusnya mendapat gendongan dan dekapan, malah menggendong dan mendekap. Mungkin jika Seita dapat mengeluh, “Tuhan, apa sudah cukup?” Pertahanan dirinya sangat pantas sangat memprihatinkan.


Ia berusaha semaksimal mungkin, bahkan memaksa melewati batas kewajaran seorang anak remaja yang berupaya menjadi orang tua. (01)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar