Ilustrasi : Google |
“Frizara…!” Sebuah suara menyentuh telinga. Reflek aku berhenti, dan mencari dari mana datangnya suara itu. Seorang
cowok tampan telah berdiri di depanku tersenyum menawan. Bikin aku heran. Siapa
dia? Aku merasa tak mengenalnya.
“Kamu Frizara, kan?” tanyanya lagi, seolah mengenalku.
“Mmm benar, jawabku, agak gugup.
“Frizara Dewi, anak kelas 1- 7
kan?” Dia mendekat. Untuk kedua kali aku
mengiyakan. Kucoba untuk mengenal raut wajah tampan, yang sama-sama bersergam putih abu-abu
sepertiku.
Cowok atletis itu tersenyum, mengulurkan
tangannya. “Kenalkan, namaku Rama
Kameswara. Aku anak kelas XI IPA 3. “
Kubalas senyum simpatiknya, seraya membalas uluran tangan hangatnya, kusebutkan pula nama panjangku. “Raya
Frizara Dewi Burhan.”
“Sebuah nama yang indah. Saya boleh memanggilnya ...Friz...zara...atau
Dewi? Burhan?”
“Terserah deh. Tapi jangan yang terakhir yach. Ntar kirain cowok!”
Rama tertawa. “Eh, kamu kenal Prety enggak sih?”
“Prety...?”
“Prety Maharani. Gendut kayak
Preti Asmara.”
“O, kenal dong. Malah dekat. Dia sohibku sejak aku masuk di SMA 3 ini. Ada
apa sih ama Prety? Kamu mengenalnya, Ram?”
“Tentu saja. Prety sepupuku kok.”
“Rama ternyata cousin Prety. Tapi mengapa Prety tak pernah cerita
kalau punya sepupu yang juga bersekolah di sini. Awas kau Prety!
Kami kini berjalan menuju ruang kesenian. “Friz...”
“Ya.”
“Prety pernah ceritain aku gak?”
“Enggak pernah tuh.”
“Syukur seandainya gitu.”
“Lho kok gitu, Ram?”
“Iyalah, enakkan aku kenalan sama kamu gak usah pake mak comblang segala. Iya gak Friz?”
Aku mengiyakan. Lucu juga nih cowok.
Batinku di hati.
Sesaat kami telah sampai di ruang kesenian. Karena jam latihan masih
kurang sekitar setengah jam lagi, aku dan Rama duduk sambil ngobrol di bangku teras.
“Eh, Friz... kamu tahu enggak sekolah kita selalu jago lho dalam lomba VG. Tapi enggak tahu tuh tahun kemarin hanya dapat juara runner up.”
“Semoga aja tahun ini dapetin juara satu lagi, Ram!”
“Sip. Apalagi tahun ini kamu ikutan.”
“Memangnya kenapa kalau aku ikutan?”
“Jangan kura-kura dalam perahu dong Friz. Kalau kamu enggak pinter
nyanyi apa Pak Gatot meminta kamu ikutan.” Rama tersenyum menggoda.
“Iya deh...” aku tersenyum malu. Dalam hati mengiyakan semua yang
dikatakan Rama benar. Kuakui sejak kecil aku memang berbakat dalam hal satu
ini, olah vokal. Mama yang mengerti bakatku turut mendorong. Mengikutkanku kursus vokal,
dan aku pun berlaga dalam perlombaan
nyanyi. Hasilnya, di kamarku kini
terpajang piagam, piala. Plus rasa bangga.
* * *
Perlombaan vokal grup antar SMA se-Jakarta telah selesai. Seperti
harapan kami, VG SMA 3 mendapat gelar juara pertama sekaligus favorit. O, betapa bangganya kami. Latihan keras dan disiplin selama ini tak sia-sia.
Rama memberiku ucapan selamat. ”Sukses buatmu, Ram. Suaramu memang
boleh. Enggak kalah lho sama Raisa!”
“Ah, kamu...”
“Suer,
enggak percaya?”
“Thanks, deh.”
“Eh, untuk merayakan kemenangan, gimana kalau kamu saya traktir?”
“Boleh deh. Tapi bertiga yach
sama Prety.”
“Baik, Non. Siapa takut?” Rama tertawa. Aih. Barisan giginya yang rapi
dan putih bersih menambah ketampanan dan kesimpatikannya. Rama, sejak berjumpa dengannya, aku merasakan sesuatu yang lain dalam
kehidupanku. Sesuatu yang datang menjelang usia 15 tahun. Apakah sesuatu itu cinta?
* * *
Aku merasakan begitu bahagia bila berjumpa Rama. Melihat sosoknya di
balik jendela kelas pun aku suka. Bila sehari
tak melihat aku merasakan
perasaan asing ini: kangen, rindu ingin bertemu
Ah, apakah ini yang dinamakan bunga-bunga
cinta? Apakah aku telah jatuh cinta padanya? Mungkin. Apakah Rama memiliki
perasan yang sama denganku? Aku tak tahu.
Namun perhatian Rama yang diberikan padaku, apakah tak menyiratkAn andai bunga-bunga cinta tumbuh juga
di hatinya. Aku ingat binar tatapan Rama bia memandangku. Aku tak pernah lupa
senyum menawan di bibirnya bila menyapaku.
Ah, aku jadi resah dan gelisah memikirkannya. Aku suka menyendiri.
Melamun. Seperti siang itu. Di kelas aku
mencoret-coret buku catatan dengan lamunan. Kutuliskan namaku, nama Rama, lalu kugambar jantung yang tembus anak panah.
Kutulisi bukuku dengan untaian kata cinta. Aku membayangkan andai Rama menulis
surat cinta untukku. Alangkah bahagianya aku.
“Hai, Non, siang-siang
gini melamun?” suara keras cewek mengejutkanku, membuat jantungku terasa mau
copot. Apalagi suara itu disertai gerakan tangan yang secepat kilat
menyambar buku yang kutulisis dengan lamunan cinta. Siapa sih
yang suka usil?
Prety cewek gendut itu terkekeh-kekeh. Binar matanya ikut menggoda. “Sekarang
baru tahu nih apa sebabnya hari-hari belakangan ini suka menyendiri bengong, melamun. Seperti sapi ompong. Eh,
ternyata sedang falling in love!”
“Ty!” Aku berteriak keras, keki. Alangkah malunya kalau ada yang
mendengar. Untung saat itu keadaan kelas sepi. Karena jam istirahat. Ah, peduli amat. Aku bangkit merebut buku dari
tangan Prety. Namun cewek gendut keriting itu berkelit dengan gesit. Berlari
menghindar.
“Tangkap deh kalau bisa!” Dia
mengolokku dari seberang meja. Aku mencoba menangkapnya. Namun Prety lagi-lagi
bisa menghindar.
“Ty jangan bercanda dong!”
“Aku serius kok. Nih dengar ungkapan isi hatiku sejujurnya. Cinta mengapa begitu menyiksa. Andai kau
mengerti perasaanku, Rama Kameswara...”
“Ty!”
“Aku bacain puisi cinta. Puisi ‘Cinta’ karya Frizara Dewi. Memandangmu aku terpesona/ Melamunkanmu aku suka/ mencintaimu aku ingin selamanya..
“Duh...romansnya puisi cinta ini. Hehe,” Prety terkekeh menggoda.
Wajahku memerah malu. Kurebut buku dari tangan Prety. Kali ini dia
melepaskannya. Mungkin karena sudah puas menggodaku.
“Sory deh Friz...tadi aku bercanda, ” Prety duduk di sisiku, meminta maaf. Aku diam, agak
dongkol. “Friza...mengapa sih jatuh cinta harus disimpan segala. Setiap orang
berhak kok untuk jatuh cinta. Kamu jatuh cinta pada Rama yach? Kamu mencintainya yach? Eh, tapi kayaknya
kamu harus kecewa, Friza. Karena Rama tuh telah ada yang punya!”
Rama telah ada yang punya? Rama telah punya kekasih?
Pernyataan terakhir Prety membuat
diriku bagai jatuh dari pohon jambu ketika aku ingin menggapai buahnya. Sakit
dan kecewa hatiku!
“Ty...” Aku memandang manik mata Prety mencari kejujuran di sana.
Tapi...
“Iya. Rama telah ada yang punya. Papa dan mamanya!”
Sialan si Prety!
“Kalau cewek sih Rama masih bebas. Tapi sebentar lagi dia akan punya
cewek cantik, manis cerdas, baik hati
dan tidak sombong, dan cewek itu kamu, Friza! Tahu enggak kalau Rama juga memiliki perasaan sama sepertimu. Dia
menanyakan kabarmu, dia sering memuji kecantikanmu, dia sering...”
Tak kudengar lagi ocehan Prety, karena perasaanku bagai burung melayang
di awan. Sangat bahagia dan suka. Dan untuk rasa terima kasihku pada Prety yang
telah membuka selubung rahasia cinta antara aku dengan Rama, dia kuberi hadiah.
Kugelitiki perut cewek itu tanpa ampun.
* * *
Kupu-kupu kuning beterbangan di antara harumnya mawar-mawar merah di
taman kelas yang indah, ketika pagi yang cerah itu Rama datang.
“Ada titipan untukmu, Friz...” kata Rama seraya menebarkan senyumnya
yang menawan.
“Titipan, buatku, Ram? Apaan
sih?” hatiku berdebar keras tiba-tiba. Mungkin Rama kan memberiku surat cinta?
Pasti si Prety telah menceritakan rahasia cintaku pada Rama! Aih
“Ini surat, Friz. Tolong berikan pada wali kelas. Hari ini Prety enggak masuk. Doi kurang enak
badan.”
“O,” sirna sudah debar di hatiku. Kuterima surat beramplop pink itu.
“Friza..., “ Rama memandangku lama.
“Apa, Ram?”
“Boleh enggak nanti malam saya datang ke rumah kamu?” Nanti malam? Bukankah malam Minggu?
“Friza... kok malah bengong? Boleh gak?”
“Ng...boleh deh. Kamu datang pukul berapa, Ram?” Aku menenteramkan debar bahagia di dada.
“Tunggu pukul 7, ya, Friza. Aku pasti
datang!”
Rama berjanji.
Tet-tet-tet. Bel tanda masuk berbunyi.
Rama hendak pamit ke kelasnya. Sebelum berlalu cowok tampan itu memandangku, tiba-tiba menyentuh jemariku. Namun buru-buru dilepaskannya. Rama merasa
malu, salah tingkah, dan...aneh!
“Maaf, Friza. Aku ..ah, enggak. Ntar malam aja aku mengatakannya padamu,
Friz. Selamat tinggal Friza, eh, selamat
belajar!”
Rama berlalu bersama senyum menawan
yang membuatku tertawan.
Aku tiba-tiba merasakan sesuatu. Aku ingin jam cepat sekali berputar. Hingga malam minggu pukul tujuh segera datang. Dan aku ingin
menyambut kedatangan Rama Kameswara yang
akan membawakanku sekeranjang cinta!
* * *
Langit malam Minggu berteman cemerlang bulan dan bertabur sejuta
bintang.
Jarum jam besar di ruang tamu telah delapan kali berdentang. Berarti
sudah satau jam aku menunggu Rama datang. Namun mengapa dia belum hadir?
Mungkin dia ada keperluan lain, hingga tak bisa hadir? Namun mengapa Rama tak bertelepon,
mengabarkannya padaku?
Ternyata menunggu memang pekerjaan yang teramat sangat menjemukan.
“Friza, kamu enggak makan malam dulu, Sayang?” teguran dan sentuhan
Bunda membuatku kaget.
“Ntar deh, Friz belum laper. Bunda sama Ayah aja dulu.”
“Bener belum laper. Biasanya udah
kelaparan.”
“Ih, Bunda.”
“Ya, deh. Bunda ngerti. Anak bunda tersayang kan sedang menunggu doi.”
“Teman, kok, Bun.”
“Teman atau teman?”
“Bunda...”
“Kamu sudah SMA sayang. Bunda dan Ayah tak melarang punya temen istimewa. Apa tuh pacar, special boy. Asal aku tetap rajin
belajar. Dan bisa jaga diri, juga nama
baik keluarga.”
Aku mendengar petuah Bunda dan
menyimpannya dalam hati. Betapa beruntungnya aku memiliki orangtua yang bisa
dan mau mengerti keinginan anaknya.
“Udah sayang, Bunda mau nemenin
Ayah makan malam dulu. Nanti kalau
temenmu datang jangan lupa kenalkan pada kami.”
***
Pagi yang mendung. Aku mengikuti mata pelajaran dengan separuh hati.
Pikiranku tertuju pada Rama? Mengapa Rama semalam batal datang?
Mengapa Prety hari ini juga tidak masuk sekolah? Seandainya ada Prety,
aku bisa menanyakan hal ini padanya?
Huh, ternyata Rama sama saja
dengan cowok lainnya. Mudah berjanji semudah mengingkari? Apa yang akan
dilakukannya jika Rama tiba-tiba muncul dan memohon maaf.
“Rama!” aku memekik memanggil namanya, saat bel istirahat berbunyi, kami
berdesakan ke luar kelas, dan aku melihat sekelebatan bayangnya. Aku mengejarnya. Rama hanya tersenyum. Senyum
permintaan maaf? Tapi dia harus menjelaskan, mengapa ia batalkan janji semalam.
“Aduh,“ aku terjatuh, di selasar
jalan menuju toilet. Rama, mengapa jalannya sangat cepat sih. Seseorang
buru-buru menolongku. ”Maaf, aku..., “ Ia cowok kakak kelasku. Pemuda jangkung kurus berkulit sawo matang.
“Tak apa-apa, aku terburu-buru mengejar Rama. Tadi dia...”
“Rama Kameswara?”
“Rama Kameswara, Kelas XI IPA 3. Kau mengenalnya.”
“Kami sekelas, sebangku. Rama tak masuk kelas hari ini. Mungkin...”
“Tadi aku melihatnya...”
“Semalam Rama memintaku mengantarnya ke rumah seorang gadis-menurutnya cinta
pertamanya. Kami berboncengan, saat motor kami ditabrak mobil yang
pengemudinya sedang mabuk. Aku hanya lecet, lihat, nih. Tapi aku tak apa-apa. “
“Rama...Rama bagaimana keadaannya?”
“Rama terluka parah. Kami
membawanya ke UGD....”
* * *
Aku memandang pusara tanah merah basah.
Sebasah merah air mataku. Prety membimbingku, merengkuhku, menguatkanku. ”Dia sudah pergi. Rama sudah pergi.”
“...mungkin Rama tak pernah tahu bahwa aku mencintainya, Prety. Aku memiliki perasan yang
sama seperti yang Rama rasakan. Cinta.”
“Rama sangat baik. Rama sudah
tahu, Friza. Dalam diary-nya Rama
menuliskan semuanya. Tentangmu. Tentang pertemuan pertama, tentang rasa cinta pertamanya padamu, tentang hari ia ingin datang ke rumahmu untuk
menyuarakan cintanya. Tentang cita-cita
dan harapannya...”
Air mataku semakin membasah, meruah pada pusara cowok cinta pertamaku. “Aku
mencintaimu cinta pertamaku, Rama. Selamanya.”
Kota Ukir, 2005-2017
Cerpen ini adalah salah satu karya KCP
ketika awal-awal belajar menulis
cerpen, terutama cerpen genre remaja.
Cerpen ini saya tulis tahun 2005, kemudian saya
sunting ulang pada tahun 2017.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar