Puisi Cinta untuk Rama - Soeara Moeria

Breaking

Jumat, 03 Agustus 2018

Puisi Cinta untuk Rama


Ilustrasi : Google
Cerpen : Kartika Catur Pelita

“Frizara…!” Sebuah suara menyentuh telinga. Reflek aku berhenti, dan  mencari dari mana datangnya suara itu. Seorang cowok tampan telah berdiri di depanku tersenyum menawan. Bikin aku heran. Siapa dia? Aku merasa tak mengenalnya.
     
“Kamu Frizara, kan?” tanyanya lagi, seolah mengenalku.
     
“Mmm benar,  jawabku, agak gugup.
     
“Frizara Dewi, anak  kelas 1- 7 kan?” Dia mendekat. Untuk kedua kali aku  mengiyakan. Kucoba untuk mengenal raut wajah tampan, yang sama-sama bersergam putih abu-abu sepertiku.
     
Cowok atletis itu tersenyum, mengulurkan  tangannya. “Kenalkan,  namaku Rama Kameswara. Aku anak kelas XI IPA 3. “
     
Kubalas senyum simpatiknya, seraya membalas uluran tangan  hangatnya, kusebutkan pula nama panjangku. “Raya Frizara Dewi Burhan.”
     
“Sebuah nama yang indah. Saya boleh memanggilnya ...Friz...zara...atau Dewi? Burhan?”
     
“Terserah deh. Tapi jangan yang terakhir yach.  Ntar kirain cowok!”
    
Rama tertawa. “Eh, kamu kenal Prety enggak sih?”
    
“Prety...?”
    
“Prety Maharani. Gendut  kayak Preti Asmara.”
    
“O, kenal dong. Malah dekat. Dia sohibku sejak aku masuk di SMA 3 ini. Ada apa sih ama Prety? Kamu mengenalnya, Ram?”
    
“Tentu saja. Prety sepupuku kok.”
    
“Rama ternyata cousin  Prety. Tapi mengapa Prety tak pernah cerita kalau punya sepupu yang juga bersekolah di sini. Awas kau Prety!
    
Kami kini berjalan menuju ruang kesenian. “Friz...”
    
“Ya.”
    
“Prety pernah ceritain aku gak?”
    
“Enggak pernah tuh.”
    
“Syukur seandainya gitu.”
    
“Lho kok gitu, Ram?”
    
“Iyalah, enakkan aku kenalan sama kamu gak usah pake mak comblang  segala. Iya gak Friz?”
    
Aku mengiyakan. Lucu  juga nih cowok. Batinku di hati.
    
Sesaat kami telah sampai di ruang kesenian. Karena jam latihan masih kurang sekitar setengah jam lagi, aku dan Rama duduk  sambil ngobrol di bangku teras.

“Eh, Friz... kamu tahu enggak sekolah kita selalu  jago lho dalam lomba VG. Tapi enggak tahu tuh  tahun kemarin hanya dapat juara runner up.”
    
“Semoga aja tahun ini dapetin juara satu lagi, Ram!”
    
“Sip. Apalagi tahun ini kamu ikutan.”
    
“Memangnya kenapa kalau aku ikutan?”
    
“Jangan kura-kura dalam perahu dong Friz. Kalau kamu enggak pinter nyanyi apa Pak Gatot meminta kamu ikutan.” Rama tersenyum menggoda.
    
“Iya deh...” aku tersenyum malu. Dalam hati mengiyakan semua yang dikatakan Rama benar. Kuakui sejak kecil aku memang berbakat dalam hal satu ini, olah vokal. Mama yang mengerti  bakatku  turut mendorong. Mengikutkanku kursus vokal, dan  aku pun berlaga dalam perlombaan nyanyi. Hasilnya, di kamarku  kini terpajang piagam, piala. Plus  rasa bangga.

* * *
    
Perlombaan vokal grup antar SMA se-Jakarta telah selesai. Seperti harapan kami, VG SMA 3 mendapat gelar juara pertama sekaligus favorit. O, betapa bangganya kami. Latihan  keras dan disiplin selama ini tak sia-sia.
   
Rama memberiku ucapan selamat. ”Sukses buatmu, Ram. Suaramu memang boleh. Enggak kalah lho sama Raisa!”
    
“Ah, kamu...”
    
“Suer,  enggak percaya?”                                              
    
“Thanks, deh.”
    
“Eh, untuk merayakan kemenangan, gimana kalau kamu saya traktir?”
    
“Boleh deh. Tapi bertiga  yach sama Prety.”
    
“Baik, Non. Siapa takut?” Rama tertawa. Aih. Barisan giginya yang rapi dan putih bersih menambah ketampanan dan kesimpatikannya. Rama, sejak berjumpa  dengannya, aku merasakan sesuatu  yang lain dalam kehidupanku. Sesuatu yang datang menjelang usia 15 tahun. Apakah sesuatu  itu cinta?

* * *
    
Aku merasakan begitu bahagia bila berjumpa Rama. Melihat sosoknya di balik jendela kelas pun  aku suka. Bila  sehari  tak melihat aku merasakan  perasaan asing ini: kangen, rindu ingin bertemu
    
Ah, apakah ini yang dinamakan  bunga-bunga cinta? Apakah aku telah jatuh cinta padanya? Mungkin. Apakah Rama memiliki perasan yang sama denganku? Aku tak tahu.
    
Namun perhatian Rama yang diberikan padaku, apakah tak menyiratkAn andai bunga-bunga cinta tumbuh juga di hatinya. Aku ingat binar tatapan Rama bia memandangku. Aku tak pernah lupa senyum menawan di bibirnya bila menyapaku.
    
Ah, aku jadi resah dan gelisah memikirkannya. Aku suka menyendiri. Melamun.  Seperti siang itu. Di kelas aku mencoret-coret buku catatan dengan lamunan. Kutuliskan  namaku, nama Rama, lalu  kugambar jantung yang tembus anak panah. Kutulisi bukuku dengan untaian kata cinta. Aku membayangkan andai Rama menulis surat cinta untukku. Alangkah bahagianya aku.
    
“Hai, Non, siang-siang gini melamun?” suara keras cewek mengejutkanku, membuat jantungku terasa mau copot. Apalagi suara itu disertai gerakan tangan yang secepat kilat menyambar  buku yang  kutulisis dengan lamunan cinta. Siapa sih yang suka usil?
     
Prety cewek gendut itu terkekeh-kekeh. Binar matanya ikut menggoda. “Sekarang baru tahu nih apa sebabnya hari-hari belakangan ini suka menyendiri  bengong, melamun. Seperti sapi ompong. Eh, ternyata sedang falling in love!”
    
“Ty!” Aku berteriak keras, keki. Alangkah malunya kalau ada yang mendengar. Untung saat itu keadaan kelas sepi. Karena jam istirahat. Ah,  peduli amat. Aku bangkit merebut buku dari tangan Prety. Namun cewek gendut keriting itu berkelit dengan gesit. Berlari menghindar.
    
“Tangkap deh kalau bisa!”  Dia mengolokku dari seberang meja. Aku mencoba menangkapnya. Namun Prety lagi-lagi bisa menghindar.
     
“Ty jangan bercanda  dong!”
    
“Aku serius kok. Nih dengar ungkapan isi hatiku sejujurnya. Cinta mengapa begitu menyiksa. Andai kau mengerti perasaanku, Rama Kameswara...”
    
“Ty!”
    
“Aku bacain puisi cinta. Puisi ‘Cinta’  karya Frizara Dewi.  Memandangmu aku terpesona/ Melamunkanmu aku suka/ mencintaimu aku ingin selamanya..
    
“Duh...romansnya puisi cinta ini. Hehe,” Prety terkekeh menggoda. Wajahku memerah malu. Kurebut buku dari tangan Prety. Kali ini dia melepaskannya. Mungkin karena sudah puas menggodaku.
    
“Sory deh Friz...tadi aku bercanda, ” Prety duduk  di sisiku, meminta maaf. Aku diam, agak dongkol. “Friza...mengapa sih jatuh cinta harus disimpan segala. Setiap orang berhak kok untuk jatuh cinta. Kamu jatuh cinta pada Rama yach?  Kamu mencintainya yach? Eh, tapi kayaknya kamu harus kecewa, Friza. Karena Rama tuh telah  ada yang punya!”
     
Rama telah ada yang punya? Rama telah punya kekasih?
     
Pernyataan terakhir  Prety membuat diriku bagai jatuh dari pohon jambu ketika aku ingin menggapai buahnya. Sakit dan kecewa hatiku!
    
“Ty...” Aku memandang manik mata Prety mencari kejujuran di sana. Tapi...
    
“Iya. Rama telah ada yang punya. Papa dan mamanya!”
     
Sialan si Prety!
    
“Kalau cewek sih Rama masih bebas. Tapi sebentar lagi dia akan punya cewek cantik, manis cerdas,  baik hati dan tidak sombong, dan cewek itu kamu, Friza! Tahu enggak kalau Rama  juga memiliki perasaan sama sepertimu. Dia menanyakan kabarmu, dia sering memuji kecantikanmu, dia sering...”
     
Tak kudengar lagi ocehan Prety, karena perasaanku bagai burung melayang di awan. Sangat bahagia dan suka. Dan untuk rasa terima kasihku pada Prety yang telah membuka selubung rahasia cinta antara aku dengan Rama, dia kuberi hadiah. Kugelitiki perut cewek itu tanpa ampun.

* * *
     
Kupu-kupu kuning beterbangan di antara harumnya mawar-mawar merah di taman kelas yang indah, ketika pagi yang cerah itu Rama datang.
     
“Ada titipan untukmu, Friz...” kata Rama seraya menebarkan senyumnya yang menawan.
    
“Titipan, buatku, Ram?  Apaan sih?” hatiku berdebar keras tiba-tiba. Mungkin Rama kan memberiku surat cinta? Pasti si Prety telah menceritakan rahasia cintaku pada Rama! Aih
     
“Ini surat, Friz. Tolong berikan pada wali kelas.  Hari ini Prety enggak masuk. Doi kurang enak badan.”
    
“O,” sirna sudah debar di hatiku. Kuterima surat beramplop pink itu.
    
“Friza..., “ Rama memandangku lama.
    
“Apa, Ram?”
    
“Boleh enggak nanti malam saya datang ke rumah kamu?”   Nanti malam? Bukankah malam Minggu?
    
“Friza... kok malah bengong? Boleh gak?”
     
“Ng...boleh deh. Kamu datang pukul berapa, Ram?”  Aku menenteramkan debar bahagia di dada.
    
“Tunggu pukul 7,  ya, Friza. Aku pasti  datang!”   Rama berjanji.
    
Tet-tet-tet. Bel tanda masuk berbunyi.
    
Rama hendak pamit ke kelasnya. Sebelum berlalu cowok tampan itu memandangku, tiba-tiba menyentuh jemariku.  Namun buru-buru dilepaskannya. Rama merasa malu, salah tingkah, dan...aneh!
    
“Maaf, Friza. Aku ..ah, enggak. Ntar malam aja aku mengatakannya padamu, Friz. Selamat  tinggal Friza, eh, selamat belajar!”
     
Rama berlalu bersama  senyum menawan yang membuatku tertawan.
     
Aku tiba-tiba merasakan sesuatu. Aku ingin jam cepat  sekali berputar. Hingga malam minggu  pukul tujuh segera datang. Dan aku ingin menyambut kedatangan Rama  Kameswara yang akan membawakanku sekeranjang cinta!

* * *
     
Langit malam Minggu berteman cemerlang bulan dan bertabur sejuta bintang.
     
Jarum jam besar di ruang tamu telah delapan kali berdentang. Berarti sudah satau jam aku menunggu Rama datang. Namun mengapa dia belum hadir? Mungkin dia ada keperluan lain, hingga tak bisa hadir? Namun mengapa Rama tak bertelepon,  mengabarkannya  padaku?
    
Ternyata menunggu memang pekerjaan yang teramat sangat menjemukan.
    
“Friza, kamu enggak makan malam dulu, Sayang?” teguran dan sentuhan Bunda membuatku kaget.
     
“Ntar deh, Friz belum laper. Bunda sama Ayah  aja dulu.”
     
“Bener belum laper. Biasanya  udah kelaparan.”
     
“Ih, Bunda.”
     
“Ya, deh. Bunda ngerti. Anak bunda tersayang kan sedang menunggu doi.”
     
“Teman, kok, Bun.”
     
“Teman atau teman?”
     
“Bunda...”
     
“Kamu sudah SMA sayang. Bunda dan Ayah tak melarang  punya temen istimewa. Apa tuh pacar, special boy. Asal aku tetap rajin belajar. Dan bisa  jaga diri, juga nama baik keluarga.”
      
Aku mendengar  petuah Bunda dan menyimpannya dalam hati. Betapa beruntungnya aku memiliki orangtua yang bisa dan mau mengerti keinginan anaknya.
     
“Udah sayang, Bunda  mau nemenin Ayah  makan malam dulu. Nanti kalau temenmu datang jangan lupa kenalkan pada kami.”

                                                      ***
     
Pagi yang mendung. Aku mengikuti mata pelajaran dengan separuh hati. Pikiranku tertuju pada Rama? Mengapa Rama semalam  batal datang?  Mengapa Prety hari ini juga tidak masuk sekolah? Seandainya ada Prety, aku bisa menanyakan hal ini padanya?
     
Huh,  ternyata Rama sama saja dengan cowok lainnya. Mudah berjanji semudah mengingkari? Apa yang akan dilakukannya jika Rama tiba-tiba muncul dan memohon maaf.
     
“Rama!” aku memekik memanggil namanya, saat bel istirahat berbunyi, kami berdesakan ke luar kelas, dan aku melihat sekelebatan bayangnya. Aku  mengejarnya. Rama hanya tersenyum. Senyum permintaan maaf? Tapi dia harus menjelaskan, mengapa ia batalkan janji semalam.
     
“Aduh,“  aku terjatuh, di selasar jalan menuju toilet. Rama, mengapa jalannya sangat cepat sih. Seseorang buru-buru menolongku. ”Maaf, aku..., “ Ia cowok kakak kelasku. Pemuda  jangkung kurus berkulit sawo matang.
      
“Tak apa-apa, aku terburu-buru mengejar Rama. Tadi dia...”
      
“Rama Kameswara?”
      
“Rama Kameswara, Kelas XI IPA 3. Kau mengenalnya.”
      
“Kami sekelas, sebangku. Rama tak masuk kelas hari ini. Mungkin...”
      
“Tadi aku melihatnya...”
      
“Semalam Rama memintaku mengantarnya  ke rumah seorang gadis-menurutnya cinta pertamanya. Kami berboncengan, saat  motor kami ditabrak mobil yang pengemudinya sedang mabuk. Aku hanya lecet, lihat, nih. Tapi aku tak apa-apa. “
      
“Rama...Rama bagaimana keadaannya?”
       
“Rama terluka  parah. Kami membawanya ke UGD....”

* * *
      
Aku memandang pusara  tanah merah basah. Sebasah merah air mataku. Prety membimbingku, merengkuhku, menguatkanku.  ”Dia sudah pergi. Rama sudah pergi.”
       
“...mungkin Rama tak pernah tahu bahwa aku  mencintainya, Prety. Aku memiliki perasan yang sama seperti yang Rama rasakan. Cinta.”
      
“Rama sangat baik.  Rama sudah tahu, Friza. Dalam diary-nya Rama menuliskan semuanya. Tentangmu. Tentang pertemuan pertama, tentang  rasa cinta pertamanya padamu, tentang  hari ia ingin datang ke rumahmu untuk menyuarakan  cintanya. Tentang cita-cita dan harapannya...”
     
Air mataku semakin membasah, meruah pada pusara cowok cinta pertamaku. “Aku mencintaimu cinta pertamaku, Rama. Selamanya.”
                                                                
Kota Ukir,  2005-2017

Cerpen ini adalah salah satu karya KCP  ketika awal-awal belajar  menulis cerpen,  terutama cerpen genre remaja. Cerpen ini saya tulis tahun 2005, kemudian saya  sunting ulang pada tahun 2017.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar