![]() |
| Jaka Januar. Foto: Koleksi pribadi) |
Oleh: Jaka Januar, HR PT Triconville Indonesia
Kebakaran bukan sekadar insiden teknis yang hanya “dibahas di lantai rapat” atau dicatat dalam statistik. Ia adalah fenomena kompleks yang menjadi cermin dari kualitas perencanaan, manajemen risiko, dan tanggung jawab sosial di sebuah organisasi atau komunitas.
Dua tragedi besar baru-baru ini — kebakaran gedung Terra Drone yang menewaskan 22 orang di Jakarta dan kebakaran dahsyat di kompleks apartemen Wang Fuk Court di Hong Kong yang menimbulkan ratusan korban jiwa dan luka — menunjukkan bahwa pencegahan risiko kebakaran bukan lagi pilihan, tetapi kebutuhan fundamental yang harus dipahami dan dilaksanakan secara serius oleh semua pemangku kepentingan.
Ketika Risiko Jadi Nyata
Pada 9 Desember 2025, sebuah kebakaran hebat melanda gedung PT Terra Drone Indonesia di Jalan Letjen Suprapto, Cempaka Baru, Jakarta Pusat.
Api dilaporkan muncul sekitar pukul 12.43 WIB pada area lantai dasar yang digunakan sebagai tempat penyimpanan dan pengisian baterai drone — sumber bahan mudah terbakar yang sangat sensitif terhadap panas dan percikan api. Api menyebar cepat dan menyelimuti seluruh bangunan.
Akibatnya, 22 orang karyawan meninggal dunia, terdiri atas 15 perempuan dan 7 laki-laki, termasuk satu perempuan hamil. Sebagian besar korban ditemukan dalam keadaan utuh dan masih dapat dikenali, yang menunjukkan bahwa mereka terbunuh oleh asap dan gas beracun seperti karbon monoksida, bukan hanya oleh luka bakar.
Penyelidikan awal dari tim forensik dan saksi menunjukkan bahwa api kemungkinan besar berawal dari baterai lithium yang terbakar saat pengisian, dan percikan api dari instalasi listrik ikut mempercepat penyebaran. Bahkan upaya awal petugas keamanan dan karyawan untuk memadamkan api dengan alat pemadam api ringan (APAR) tidak berhasil.
Akses evakuasi yang terbatas dan asap tebal membuat banyak karyawan terjebak di lantai atas, sementara tim pemadam kebakaran berjuang menembus kobaran api.
Lebih jauh lagi, direktur perusahaan telah ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan kelalaian yang menyebabkan kematian puluhan orang, dengan ancaman hukuman pidana sesuai pasal kebakaran dan kelalaian dalam KUHP. Ini menunjukkan ada indikasi kuat bahwa aspek keselamatan dan pengendalian risiko belum dikelola secara profesional dan menyeluruh.
Pelajaran dari Kebakaran Apartemen Skala Besar
Tak jauh berbeda, tragedi lain terjadi pada 26 November 2025 di kompleks perumahan Wang Fuk Court di distrik Tai Po, Hong Kong. Kebakaran ini dimulai dari salah satu menara dan dengan cepat menyebar ke tujuh dari delapan blok hunian.
Kejadian ini menjadi salah satu kebakaran paling mematikan di Hong Kong dalam puluhan tahun, dengan jumlah korban tewas yang diperkirakan mencapai lebih dari 150 orang, bersama puluhan lainnya luka dan banyak sekali penghuni yang hilang atau dipaksa mengungsi.
Penyebab kebakaran ini kompleks. Gedung-gedung tersebut sedang menjalani proyek renovasi besar ketika api muncul di perancah bambu dan jaring pelindung luar bangunan yang digunakan pada renovasi, yang ternyata terbuat dari material mudah terbakar dan tidak memenuhi standar proteksi kebakaran yang adekuat.
Api menyebar dengan sangat cepat melalui jaring tersebut, menjalar ke seluruh permukaan bangunan, dan mengunci jalur evakuasi internal, sementara sistem alarm dan peringatan diduga tidak berfungsi secara optimal pada saat kritis.
Kedua tragedi ini — di Jakarta maupun Hong Kong — memperlihatkan satu pola yang sama: ketika risiko tidak diidentifikasi secara komprehensif dan tidak ada langkah pencegahan yang tepat, kebakaran dapat berubah menjadi bencana besar, bukan hanya insiden yang dapat dikendalikan.
Fire Risk Assessment (FRA) adalah proses sistematis untuk mengidentifikasi potensi bahaya kebakaran, menilai siapa dan apa saja yang berisiko, serta menentukan strategi pengendalian yang tepat, mulai dari engineering, proteksi pasif dan aktif, hingga prosedur evakuasi dan pelatihan. FRA bukan sekadar persyaratan regulasi, tetapi alat kerja penting untuk menyelamatkan nyawa dan aset.
Dalam FRA, risiko dipetakan dari berbagai sudut. Pertama, Identifikasi Sumber Bahaya: Apa yang dapat memicu api? Misalnya instalasi listrik yang kurang aman, baterai lithium yang tidak dikelola dengan benar, atau material bangunan yang mudah terbakar.
Kedua, Menilai Tingkat Risiko: Berapa besar kemungkinan bahaya tersebut terjadi, dan seberapa parah dampaknya pada keselamatan manusia dan operasi?
Ketiga, Pengendalian Risiko: Apa langkah teknis dan manajerial yang harus dilakukan? Ini mencakup proteksi aktif seperti alarm, sprinkler, APAR; proteksi pasif seperti kompartementasi, pintu tahan api; dan persiapan prosedur evakuasi yang efisien.
Keempat, Review dan Pembaharuan Berkala: FRA bukan dokumen sekali jadi. Ia harus diperbarui ketika ada perubahan kondisi bangunan, layout, atau pola operasional. Tanpa langkah ini, organisasi hanya bersiap bereaksi terhadap kebakaran, bukan mencegahnya sejak dini.
Pelajaran Nyata untuk Indonesia
Kasus Terra Drone memberikan pelajaran penting bahwa tempat kerja modern — terutama yang menangani teknologi tinggi dan material inovatif seperti baterai lithium — punya risiko baru yang belum cukup ditangani oleh prosedur keselamatan tradisional.
Sementara Wang Fuk Court menunjukkan bahwa di tingkat komunitas dan urban, ketidakpatuhan terhadap standar material dan pengawasan bangunan dapat mengubah konstruksi menjadi senjata mematikan ketika api muncul.
Jika kedua tragedi ini bisa dicegah melalui penerapan FRA yang komprehensif dan daya pengawasan yang kuat, maka nyawa bisa diselamatkan, dan dampak sosial-ekonomi dari kebakaran dapat diminimalisasi.
Untuk membuat Fire Risk Assessment efektif, diperlukan kolaborasi lintas elemen. Pertama, Pemerintah dan Regulator: Memperketat standar keselamatan bangunan dan pengujian material, serta memastikan kepatuhan melalui audit dan inspeksi rutin.
Kedua, Pengelola Bangunan dan Perusahaan: Menjadikan FRA sebagai bagian integral dari manajemen risiko, bukan sekadar persyaratan administrasi.
Ketiga, Masyarakat: Kesadaran umum tentang bahaya kebakaran dan respons yang cepat, misalnya melalui pelatihan, simulasi evakuasi, dan keterlibatan dalam program keselamatan komunitas.
Kebakaran adalah ancaman nyata, bukan kemungkinan belaka. Studi kasus Terra Drone di Jakarta dan Wang Fuk Court di Hong Kong menyentak kita bahwa bahaya sering tersembunyi dalam keseharian — dari baterai yang sedang diisi hingga scaffold yang tampaknya sederhana. Fire Risk Assessment bukan sekadar dokumen; ia adalah alat untuk menyelamatkan nyawa, melindungi aset, dan menjaga ketahanan sosial.
Ketika risiko dipahami dan dikelola sejak awal, kebakaran tidak lagi menjadi tragedi yang mematikan, tetapi peristiwa yang bisa dikelola tanpa kehilangan nyawa. Sebagaimana pepatah dalam dunia keselamatan mengatakan: “The best way to fight a fire is to prevent it.” Sudah saatnya kita benar-benar memahami dan menerapkannya dalam setiap lapisan kehidupan berbangunan di Indonesia. (*)
