![]() |
| Jaka Januar. Foto: Koleksi pribadi. |
Oleh: Jaka Januar, HRD PT Triconville Indonesia
Setiap akhir tahun, jutaan pekerja menunggu satu kabar yang sama. Bukan tentang bonus, bukan pula tentang promosi, melainkan tentang angka yang akan menentukan seberapa jauh gaji mereka mampu bertahan menghadapi kenaikan harga.
Di balik rapat-rapat resmi dan tabel perhitungan, keputusan tentang upah minimum selalu berujung pada pertanyaan yang sederhana: cukupkah hasil kerja untuk hidup dengan layak?
Pertanyaan inilah yang kembali mengemuka menjelang penetapan upah minimum 2026. Kali ini, perdebatan tersebut berlangsung dalam bingkai baru setelah terbitnya Amar Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 168/PUU-XXI/2023, yang mengingatkan bahwa upah bukan sekadar soal angka, melainkan tentang keadilan yang dirasakan dalam kehidupan sehari-hari.
Putusan tersebut mengoreksi cara pandang lama dalam penentuan upah minimum. Mahkamah menegaskan bahwa kebijakan pengupahan tidak semestinya berhenti pada perhitungan teknokratis dan angka-angka statistik.
Ia harus melibatkan Dewan Pengupahan Daerah serta menjunjung prinsip proporsionalitas, dengan tujuan memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) bagi pekerja dan keluarganya. Dengan demikian, upah minimum tidak lagi semata angka administratif, melainkan instrumen keadilan sosial.
Selama bertahun-tahun, formula kenaikan upah minimum bertumpu pada pendekatan yang relatif kaku: inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi yang dikalikan indeks tertentu (α). Pendekatan ini menawarkan kepastian, tetapi sering kali mengabaikan kenyataan bahwa kebutuhan hidup pekerja berbeda-beda antarwilayah.
Merespons putusan MK, pemerintah memperluas rentang nilai α menjadi 0,5 hingga 0,9. Perluasan ini bukan sekadar penyesuaian teknis, melainkan perubahan cara pandang. Nilai α kini dimaknai sebagai cerminan kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi sekaligus sarana untuk secara bertahap memperkecil jarak antara upah minimum dan kebutuhan hidup layak.
Pendekatan ini membuka ruang diferensiasi antardaerah. Wilayah dengan kesenjangan besar antara upah minimum dan KHL diberi ruang penyesuaian lebih luas, sementara daerah yang sudah relatif mendekati KHL dapat melangkah lebih moderat. Secara konseptual, pendekatan ini terasa lebih adil dibanding kebijakan seragam yang mengabaikan konteks lokal.
Menempatkan KHL sebagai rujukan utama kebijakan upah merupakan langkah maju. Namun data juga menunjukkan bahwa di banyak provinsi, upah minimum masih tertinggal cukup jauh dari standar hidup layak. Tanpa peta jalan yang jelas dan terukur, pendekatan bertahap berisiko berubah menjadi pengulangan kebijakan yang terdengar baik, tetapi terasa lambat dalam kehidupan nyata.
Perluasan rentang nilai α memberi ruang bagi keadilan yang lebih kontekstual. Namun ruang ini hanya bermakna jika diisi dengan kepercayaan publik. Ketika angka tidak lagi menjadi penentu tunggal, proseslah yang diuji: bagaimana keputusan diambil, atas dasar apa, dan untuk kepentingan siapa.
Upah minimum tetap memiliki makna simbolik yang kuat. Ia adalah ukuran paling kasat mata dari kehadiran negara dalam memastikan bahwa kerja dibalas secara bermartabat.
Keberhasilan kebijakan upah minimum 2026 tidak diukur dari persentase kenaikan semata, melainkan dari kepercayaan publik bahwa prosesnya adil, terbuka, dan sungguh-sungguh berpihak pada kehidupan yang layak. (*)
