Siapa yang tidak
kenal Syaikh Abdul Qadir al-Jailani? Sosok ulama yang satu ini memang cukup
dikenal dalam literatur pemikiran dan khazanah ke-Islaman. Tak terkecuali bagi
kaum muslimin di Indonesia, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani adalah ulama yang banyak
berpengaruh dan banyak dijadikan rujukan dalam kitab-kitab agama Islam,
terutama dalam bidang ilmu tashawuf.
Nama asli dari
ulama karismatik ini adalah Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qadir. Seorang ahli
sejarah Islam, Ibnul Imad al-Hanbali menyebutkan tentang nama lengkap Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani sebagai berikut, “(beliau adalah) Syaikh Abdul Qadir bin
Abi Sha-lih bin Janaki Dausat bin Abi Abdillah Abdullah bin Yahya bin Muhammad
bin Dawud bin Musa bin Abdullah bin Musa al-Huzy bin Abdullah al-Himsh bin
al-Hasan bin al-Mutsanna bin al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib al-Jailany”.
(Syadzarat adz-Dzahab, 4/198) Dari pen-jelasan ini, jelas bahwa Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani adalah keturunan dari Sahabat Ali bin Abi Thalib.
Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani lahir di Kota Jailan atau Kailan pada tahun 470 H/1077 M. Itulah
kenapa di akhir nama beliau ditambahkan kata al-Jailani atau al-Kailani, yang
berarti dari kawasan Jailan, yang kini bernama provinsi Mazandaran, Gilan, dan
Golestan di Persia (Iran). (Lihat Mu’jam Al-Buldan, 4/13-16, oleh Abu Abdillah
Yaqut bin Ab-dillah al-Hamawy)
Thariqat Qadiriyah
Saat usia 8 tahun,
beliau sudah meninggalkan kota kelahirannya menuju Baghdad, yang saat itu
Baghdad dikenal sebagai pusat ilmu pengetahuan. Selanjutnya pada tahun 521
H/1127 M, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani mengajar dan menyampaikan fatwa-fatwa
agama kepada masyarakat hingga beliau dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun,
be-liau menghabiskan waktunya sebagai pengembara di Padang Pasir Iraq dan
akhirnya dikenal oleh dunia sebagai tokoh besar yang harum namanya dalam dunia
Islam.
Sejak itulah,
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani disebut-sebut sebagai tokoh sufi yang mendirikan
Tariqhat Qodiriyah, sebuah istilah yang tidak lain berasal dari namanya.
Tariqhat ini terus berkem-bang dan banyak diminati oleh kaum muslimin. Meski
Irak dan Syiria disebut sebagai pusat dari pergerakan Tariqhat ini, namun
pengikutnya berasal dari belahan negara muslim lainnya, seperti Yaman, Turki,
Mesir, India, hingga se-bagian Afrika dan Asia.
Perkembangan
Tariqhat ini semakin melesat, terlebih pada abad ke ke 15 M. Di India misalnya,
Tariqhat Qadiriyah berkembang luas setelah Muhammad Ghawsh (1517 M) memimpin
Tariqhat ini. Dia juga mengaku sebagai keturunan dari Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani. Di Turki ada Ismail Rumi (1041 H/1631 M) yang diberi gelar mursyid
kedua dari Tariqhat Qadiriyah. Adapun di Makkah, penyebaran Tariqhat Qodiriyah
sudah bermula sejak 1180 H/1669 M.
Berbeda dengan beberapa
Tariqhat lainnya, Tariqhat Qadiriyah dikenal sebagai Tariqhat yang luwes. Dalam
pan-dangan shufi, seseorang yang sudah mencapai derajat mursyid (guru) tidak
mesti harus mengikuti Tariqhat guru di atasnya lagi. Ia memiliki hak untuk
memperluas Tariqhat Qadiriyah dengan membuat Tariqhat baru, asalkan sejalan
dengan Tariqhat Qadiriyah.
Dari sifat
keluwesannya ini, Tariqhat Qadiriyah memiliki banyak anak cabang yang
masing-masing memiliki mursyid-nya. Sebut saja seperti Tariqhat Benawa yang
berkembang pada abad ke-19, Tariqhat Ghawtsiyah (1517), Thariqhat Junaidiyah
(1515 M), Thariqhat Kama-liyah (1584 M), Thariqhat Miyan Khei (1550 M), dan
Thariqhat Qumaishiyah (1584), yagn semuanya berkembang di India.
Di Turki terdapat
Tariqhat Hin-diyah, Khulusiyah, Nawshahi, Rumiyah (1631 M), Nabulsiyah, dan
Waslatiyyah. Adapun di Yaman ada Tariqhat Ahda-liyah, Asadiyah, Mushariyyah,
‘Urabiy-yah, Yafi’iyah (718-768 H/1316 M) dan Zayla’iyah. Sedangkan di Afrika
terdapat Tariqhat Ammariyah, Bakka’iyah, Bu’aliyya, Manzaliyah dan Tariqhat
Jilala.
Thariqat Jilala
ini adalah sebuah nama lain yang dialamatkan oleh masyarakat Maroko kepada
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.
Adapun di
Indonesia, Thariqat Qa-diriyah berkembang pesat yang berasal dari kawasan
Makkah, Arab Saudi. Thariqat Qadiriyah menyebar ke Indonesia pada abad ke-16,
khususnya di seluruh Pulau Jawa. Ada beberapa pesantren yang menjadi pusat
pergerakan Thariqat Qadiriyah ini. Sebut saja seperti Pesan-tren Suryalaya
Tasikmalaya (Jawa Ba-rat), Pesantren Mranggen (Jawa Tengah), dan Pesantren
Tebuireng Jombang (Ja-wa Timur).
Sebagai informasi
tambahan, orga-nisasi agama di Indonesia yang tidak bisa dilepaskan dari
Thariqat Qadiriyah adalah Nahdhatul Ulama (NU) yang berdiri di Surabaya pada
tahun 1926. Ada juga organisasi lain seperti al-Washliyah dan Thariqat
Qadiriyah Naqsa-bandiyah yang merupakan organisasi resmi di Indonesia.
Karya-karya Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani
Berikut adalah
beberapa kitab yang menjadi karya tulis beliau:
- Al-Ghunyah li Thalib Thariiq al-Haq fi al-Akhlaq wa al-Tashawuf wa al-Adab al-Islamiyah.
- Futuh al-Ghaib
- Al-Fath al-Rabbani wa al-Faidl al-Rahmani
Demikianlah,
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani yang hidup dengan penuh pengabdiannya kepada
Islam. Beliau wafat pada malam Sabtu ba’da maghrib di daerah Babul Azajwafat,
Baghdad, pada tanggal 8 Rabiul Akhir 561 H / 1166 M. Jenazahnya dimakamkan di
madrasahnya sendiri setelah disaksikan oleh ribuan jama’ah yang tak terhitung
jumlahnya.
Keramat Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani
Pada tulisan kali
ini, kita akan sedikit menyimak beberapa kisah yang dialamatkan (ditujukan)
kepada Syaikh Ab-dul Qadir al-Jailani. Kisah-kisah tersebut banyak tertulis di
beberapa kitab dan cukup dikenal luas oleh kalangan kaum muslimin. Namun dalam
hal ini, kita perlu tahu bahwa banyak dari kisah-kisah tersebut yang fiktif
(tidak nyata kebenarannya).
Kisah-Kisah
Ajaibnya
Diceritakan oleh
Muhammad bin al-Khidir bin al-Husaini bahwa ayahnya berkata,” Jika Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani memberikan pelajaran berbagai disiplin ilmu di majlisnya, maka
perkataannya tak pernah terputus. Tidak ada seorangpun yang berani meludah,
mendengus, berdehem, berbicara, maupun maju ke tengah majlis karena kharisma
beliau.
Keagungannya
membuat orang-orang yang hadir ikut berdiri jika beliau datang ke dalam
majlisnya. Karismanya membuat semua orang hening ketika beliau memerintahkan
mereka untuk diam sampai yang terdengar hanya hembusan nafas mereka. Tangan
orang-orang yang hadir dalam majlisnya sampai bersentuhan dengan kaki orang
lain. Beliau mengenali mereka satu persatu hanya dengan memegang tanpa harus
melihat wajahnya.
Orang yang jauh
sekalipun bisa men-dengar ucapan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Bahkan beliau
bisa menebak isi hati seseorang dan memberi nasihat berdasarkan ucapan batin
dalam diri-nya.
Diriwayatkan pula
bahwa arwah pa-ra nabi berpusar mengelilingi majlis Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani baik di langit maupun di bumi bak angin yang berpusar di ufuk. Juga
malaikat meng-hadiri majlisnya berkelompok demi kelompok.
Syaikh Abu Madyan
bin Syuaib ber-kata, “Ketika aku bertemu dengan Al-Khidr, aku bertanya tentang
para syaikh (wali Allah) dari barat sampai timur saat ini. Ketika aku bertanya
tentang Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, dia (al-Khidir) berkata, “Beliau adalah
imam golongan as-Shidq, hujjah bagi kaum ‘arif. Dia adalah roh dalam ma’rifah
dan posi-sinya dibandingkan dengan para wali lainya adalah al-Qurbah
(kedekatan).”
Dari Syaikh
Muhammad bin Harawi, ia berkata, “Suatu hari ketika Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani berbicara di ma-jlisnya, beliau terdiam beberapa saat kemudian
berkata,” Jika aku meng-inginkan Allah swt mengirimkan burung hijau yang akan
mendengarkan perka-taanku maka Ia akan mengabulkannya’. Sekejap kemudian majlis
tersebut dipe-nuhi oleh burung berwarna hijau yang dapat dilihat oleh semua
yang hadir’”.
Masih soal burung,
suatu saat ada seekor burung yang melintas di atas majlis Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani. Kemudian beliau berkata, “Demi Allah yang disembah, jika aku
mengatakan ‘matilah terpotong-potong’ kepada burung itu maka hal itu pasti
terjadi”. Se-telah beliau selesai mengucapkannya, burung tersebut jatuh dalam
keadaan mati terpotong-potong”.
Syaikh Baqa bin
Bathu An-Nahri al-Makki berkata,“Ketika Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berbicara
di tangga per-tama kursinya, tiba-tiba perkataan beliau terputus dan beliau
tidak sadarkan diri beberapa saat. Setelah sadar beliau langsung turun dari
kursi dan kemudian kembali menaiki kursi tersebut dan duduk di tangga kedua.
Dan aku menyak-sikan tangga pertama tersebut mema-njang sepanjang penglihatan
dan di-lapisi sutera hijau.
Telah duduklah di
sana Rasulullah saw, Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Saat itu Allah swt ber-tajalli
(merupakan istilah tasawuf yang berarti ”penampakan diri Tuhan yang bersifat
absolut dalam bentuk alam yang bersifat terbatas) sehingga membuat beliau
miring dan hampir jatuh jika tidak dipegang oleh Rasulullah saw. Kemudian
beliau tampak semakin menge-cil hingga sebesar burung, kemudian menjadi sangat
besar dan kemudian semakin menjauh dariku”.
Ketika syaikh
Baqa’ ditanya tentang penglihatannya kepada Rasulullah saw dan para sahabatnya,
beliau berkata, “Semua itu adalah arwah mereka yang membentuk. Hanya mereka
yang dia-nugerahi kekuatan saja yang dapat me-lihat mereka dalam bentuk jasad
dan segala sifat fisik.”
Sedangkan saat
beliau ditanya ten-tang Syaikh Abdul Qadir al-Jailani yang mengecil dan
membesar, Syaikh Baqa’ berkata, “Tajalli pertama tidak bisa ditahan oleh orang
biasa kecuali dengan pertolongan Nabi. Oleh karena itu Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani nyaris terjatuh. Sedangkan Tajalli kedua didasarkan pada sifat
ke-Agungan yang berasal dari Yang Disifati, oleh karena itu beliau mengecil.
Sedangkan tajalli ketiga di-dasari pada sifat ke-Maha Indahan Allah, oleh
karena itu beliau membesar. Semua itu adalah anugerah Allah kepada siapa yang
dikehendaki-Nya dan sesungguhnya Allah memiliki anugerah yang a-gung”.
Syaikh Harawi
berkata, “Aku mela-yani Syaikh Abdul Qadir al-Jailani selama 40 tahun, selama
itu beliau se-lalu melaksanakan shalat subuh dengan wudhu shalat isya’. Jika
beliau berha-dats, beliau segera memperbaharui wudhunya. Dan setelah shalat
isya’ beliau masuk seorang diri ke dalam ruang khalwatnya dan tidak keluar
hingga fajar.
Syaikh Ahmad
Rifa’i berwasiat ke-pada keponakan-keponakannya, “Jika kalian tiba di Baghdad,
dahulukan me-ngunjungi Syaikh Abdul Qadir al-Jailani jika beliau masih hidup.
Atau menziarahi kuburnya apabila beliau sudah meninggal. Karena beliau telah
mengambil janji Allah bahwa semua pemilik kondisi spiritual yang tidak menomor
satukan beliau akan dicabut kondisi spiritual yang di-milikinya. Syaikh Abdul
Qadir benar-benar merupakan kerugian begi mereka yang tidak melihatnya.”
Syaikh Umar
al-Bazaar berkata, “Su-atu hari aku duduk di hadapan Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani dalam khalwatnya. Beliau berkata kepadaku, ‘Jaga punggungmu karena
akan ada kucing yang jatuh di punggungmu’. Dalam hati aku berkata, ‘ Dari mana
datangnya kucing? Tidak ada lubang di atas dan…..’ Se-belum selesai bicara,
tiba-tiba seekor kucing jatuh ke punggungku. Kemudian beliau memukulkan
tangannya ke dadaku dan aku mendapati cahaya terbit dari dalam dadaku bak
mentari. Dan aku menemukan al-Haq pada saat itu.
Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani ber-kata, “Ibadah haji pertamaku aku lakukan pada saat aku masih
muda dan sedang melaksanakan Tajrid (pelepasan). Saat aku tiba di daerah
Umm al-Qurn aku bertemu Syaikh Uday bin Musafir yang juga masih muda. ‘Mau
kemada engkau?’ Tanya Syaikh Uday kepadaku. ‘Makkah Al-Musyarafah’, jawabku.
‘Apa engkau bersama seseorang?’ tanya Syaikh Uday kembali. ‘Aku sedang
melaksanakan tajrid,’ jawabku.
Kemudian kami
berdua melanjutkan perjalanan. Ditengah perjalanan kami berjumpa seorang wanita
kurus dari Habsyi (Ethiopia). Dia berhenti di depanku dan memandangi wajahku
lalu kemudian berkata, ‘Anak muda, dari manakah engkau?’ Aku menjawab, ‘O-rang
Ajam (non-Arab) yang tinggal di Baghdad’. ‘Engkau telah membuatku lelah hari
ini,’ sahutnya. ‘Kenapa?’ tanyaku. Kemudian wanita itu pun menjelaskan
alasannya, ‘Satu jam yang lalu aku berada di Habsyi kemudian Allah menunjukkan
hatimu kepadaku sekaligus anugerah-Nya kepadamu yang belum pernah aku saksikan
diberikan-Nya kepada selain dirimu. Hal itu menyebabkan aku ingin mengenal
dirimu. Hari ini aku ingin berjalan bersama kalian melewatkan malam bersama
kalian’.
Lantas akupun
berkata, ‘Itu merupakan kehormatan buat kami’. Setelah itu dia mengikuti kami
berjalan di sisi lain wadi (aliran sungai gurun) tersebut. Ketika tiba
waktu maghrib dan saat makan malam tiba, sebuah nampan turun dari langit yang
berisi 6 potong roti beserta lauk pauknya. ‘Subhanallah segala puji dan syukur
bagi Allah yang telah memuliakan aku dan tamuku’, ungkap perempuan tersebut.
Malam itu, setiap
dari kami memakan dua potong roti. Selesai makan, datanglah tempat air dan kami
meminum air yang kesegaran dan rasanya tidak ada di dunia ini. Setelah itu,
perempuan itupun pergi meninggalkan kami.
Kisah selanjutnya
adalah, ada seorang kafilah yang kehilangan 4 untanya di hutan. Kemudian ia
teringat akan pesan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani bahwa jika dirinya mendapat
kesulitan, maka diperintahkan untuk menyebut nama Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani. Kemudian kafilah itu menyebut nama Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.
Tiba-tiba, ada seorang berjubah putih di atas bukit dengan melambaikan tangan.
Kafilah tersebut menuju sosok yang dimak-sud. Namun setelah sampai di atas
bu-kit, sosok tersebut hilang dan malah ia menemukan ke 4 unta yang sedang
dicarinya.
Demikianlah,
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani beserta kisah-kisah hidup, ilmu, dan karamah yang
ditujukan kepadanya. (*)
Source : Majalah Ummatie
Dapatkan segera buku Biografi Syekh Abdul Qadir Al-Jailani RA dengan mengirim sms atau wa ke 085 640 033 625. Ingat persediaan buku terbatas!