Laku
tawasuth yang dijalankan oleh Nahdlatul Ulama (NU) membutuhkan kecerdasan.
Mengapa tidak? Ada dua pilihan, jika tidak ekstrim kanan ya kiri. Dengan modal
jidat hitam di kepala, bersorban dan tidak usah pinter-pinter banget otaknya
sudah jadi ekstrim kanan.
“Ekstrim
kiri asal bisa ngomong shalat tidak wajib, membolehkan LGBT, agama tidak
usah disosialisasikan juga sudah pantas jadi aliran kiri,” papar Ketua Umum
PBNU, KH Said Aqil Siradj saat memberikan kuliah umum di Unisnu Jepara, Kamis
(05/01/17) sore.
Jika
hanya memilih dua pilihan itu menurutnya terbilang mudah. Tetapi memilih jalur tawasuth
harus cerdas, pinter, jenius dan clever.
Diceritakan
kiai 63 tahun itu, saat Imam Syafii menerima surat dari gubernur Asia Tengah
Abu Mawar al Mahdi perihal memahami agama, Syafii lantas memerintahkan muridnya
Rabi bin Sulaiman al Muradi untuk membalas surat dari gubenur. Sekarang risalah
sepanjang 300 halaman popular dengan kitab ar risalah.
Di
dalam risalah tersebut, kata kiai Said dituliskan dalam memahami agama
dibutuhkan 3 bayan. Bayan illahi, quran kemudian bayan nabawi yang berupa
hadits serta bayan aqli (ijma dan qiyas).
Di
samping Imam Syafii, lanjut kiai yang
dibesarkan di pesantren Kempek Cirebon itu juga mmenyebut Imam Abu Hasan al
Asyari (tawasuth akidah) dan Imam Ghazali (tawasuth hakikat dan syariat).
Di
Indonesia tegasnya, ada KH Hasyim Asyari yang menggabungkan Islam dan
nasionalisme sejak 1914. “Kalo hanya Islam saja jadi radikal. Nasionalisme saja
jadi sekuler,” imbuhnya.
Menurutnya,
hanya Mbah Hasyim yang berani memprokamilkan hubbul wathan minal iman.
Karena itu, ia berpesan kepada ratusan hadirin agar mengedepankan wathaniyah,
kebangsaan dulu.
Sebagaimana
yang dilakukan Rasulullah hijrah ke madinah agar punya tanah air. Jika
bangsanya tidak stabil akan susah mengurus madrasah, kampus, perekonomian dan
lain sebagainya. “Jika negara sudah stabil setelah itu baru islam yang
diperjuangkan,” pungkasnya sebagaimana dikutip NU Online. (sm)