Rumah Cahaya - Soeara Moeria

Breaking

Senin, 18 April 2016

Rumah Cahaya

Ilustrasi : Klik di sini 
Cerpen : Yanuar Aris Budiarto

Bajunya putih bersih, rapi berdasi, celananya mulus dan halus, sepatunya hitam kilap, dan wajahnya selalu menebar senyum, tapi dalam hatinya siapa yang tahu. Namun yang jelas ia adalah orang nomor satu di departemen ini.

Namanya Pramono. Perkataannya adalah titah, ia tidak bisa menerima kata ‘tidak’. Seluruh hidupnya di lembaga ini hanya mendapatkan kata “ya”, “siap”, “oke”, “baik”.  Jika ada staffnya yang berani berkata “tidak” atas perintahnya, maka itu artinya staff tersebut sudah dekat dengan surat pengunduran diri, atau paling tidak dia harus siap jika dimutasi ke daerah lain.

ABS, “asal bapak suka” adalah sistem yang lazim diterapkan oleh bawahannya agar Pramono selalu tersenyum. Pramono tidak bisa disebut jahat karena ia juga dikenal baik oleh orang-orangnya. Sebenarnya tidak susah bagi orang lain untuk menyebut dirinya baik, karena ia selalu membagi komisi kepada jajaran staff di departemennya.

Dari kalangan atas sampai bawahan semua mendapat bagian amplop masing-masing.  Jika ada bawahannya yang kritis dan perfeksionis atas ‘kebijakan’ yang ia lakukan, maka ia akan membungkamnya dengan berbagai cara; dari cara halus sampai cara kasar.

Jabatannya telah membuatnya buta. Gemerlap dunia telah membuatnya gelap mata. Ia tidak sadar bahwa itu semua hanya sementara, bahwa semua itu hanya titipan dan amanah semata. Jika ia lupa, maka apa yang kelak menjadi amal yang bisa ia bawa?

* * *

Pada suatu hari ketika malaikat maut mendekat dan membuat nyawanya tidak lagi merekat pada raga Pramono.

“Bapak....” terdengar suara jeritan bocah lelaki berusia sepuluh tahun membahana di ruang tamu. Ia menjerit kemudian terisak dalam tangis, sebelum ia sempat mengganti baju seragam sekolahnya.

“Bapak jangan mati aku nggak mau jadi anak yatim,” lanjut bocah itu mengiba.

Sudahlah dek kita harus mengikhlaskan kepergian bapak,” ujar Maesaroh, pembantu dalam rumah itu. Ia berusaha menenangkan putra ragil Pramono.
Ikhlas ya, nak.... kita harus sabar,” sahut ibunya sembari mengusap air mata yang membulir.  meski dalam hatinya ia berkata; “Mas Pram... kenapa kamu begitu cepat meninggalkan aku? Aku tidak siap menjadi janda...” 

Pramono terbujur lemah tak berdaya di pembaringannya. Di tempat yang sama, keluarganya tersedu-sedan dalam iringan surat yaasiin yang dibacakan. Andai nyawa bisa dibeli dengan mudah seperti pulsa, tentulah keluarga lelaki tua itu sudah membelinya berapapun harganya.

Istri Pramono terlampau larut dalam sedih. Wanita setengah tua itu tak kuat menyaksikan menyaksikan suaminya terbaring lemah tanpa nyawa. Dengan langkah lemah ia berjalan menuju kamarnya, namun kesedihan yang dalam menghentikan langkahnya, ia lemah dan jatuh pingsan.

Rumah duka itu semakin riuh, jamaah takziyah menghambur membopong istri Pramono ke dalam kamar. Beberapa ibu-ibu menyusul masuk ke dalam membawa kipas dan kertas seadaanya berusaha memberi angin segar pada wanita gundah gulana tersebut.

Lima belas ment berselang ia kembali tersadar dan tangis mulai keluar dari mulutnya. Ia tersedu-sedu meratap-ratap penuh iba. Ibu-ibu di sampingnya berusaha menenangkannya. 

“Bagaimana dengan nasibku, mas? Siapa nanti yang akan menafkahi aku dan anakmu yang masih kecil ini? Aku benar-benar belum siap menjadi janda, mas...” ujar istri Pramono dengan isak tangis yang pecah.

Masih dalam waktu yang sama, seorang wanita renta dengan wajah kendur dan keriput nampak sedih. “Pramono kenapa kamu malah mati duluan? Lalu siapa nanti yang merawatku? Jika nanti istrimu menikah lagi, apa dia masih mau merawatku?” batin Ibunda Pramono.

* * *

Di sudut tempat yang lain, Pramono menyusuri jalan dalam gelap. Ia hanya melihat jalan mendaki disertai sebuah pintu dengan cahaya. Berjalanlah ia menuju pusat cahaya kemudian ia masuk. Didapatinya sebuah perumahan yang telah terkotak-kotak. Bentuknya berderet-deret, berbaris-baris, rapi!

Tidak jauh dari tempatnya berdiri, ia melihat seorang lelaki berbadan tegap, berbaju serba putih.  Ia menghampiri seorang lelaki berjubah putih tersebut, kemudian menepuk pundaknya pelan.

“Assalamu’alaikum....” sapanya

Wa’alaikumsalam warahmatullah...” jawab lelaki asing itu.

Bapak permisi ini di mana ya?” tanya Pramono dengan alis mengernyit, seperti ada sebuah penasaran yang harus dijawab.

Ini akhirat, pak....” jawab lelaki tersebut dengan nada tegas.

“Akhirat???” Pramono menaikkan kedua alisnya. Ada tanda Tanya yang menggantung dalam otaknya.

“Iya, ini adalah akhirat. Tempat di mana semua amal kamu berhenti, kecuali ada tiga hal yang kamu miliki.  Yakni sedekah jariyyah, amal saleh, dan anak yang berbakti,” jelas lelaki itu.

Lelaki gagah itu menggandeng tangan Pramono, lalu mengajaknya berkeliling di pemukiman penduduk. Dilihatnya berderet-deret rumah indah nan elok. Tidak besar tapi juga tidak kecil. Setiap rumah memiliki cahaya indahnya masing-masing. Namun ada pula rumah yang bercahaya redup, hanya nampak sinar remang-remang dari jauh. Bahkan ada juga rumah yang gelap karena tak bercahaya sama sekali.

Masih dalam tanda tanya besar, Pramono bertanya lagi pada lelaki yang sedari tadi tak melepaskan genggaman tangannya itu perihal perumahan yang bercahaya elok, remang, dan gelap tadi. Lelaki itu kemudian menjelaskan bahwa ini adalah rumah cahaya yang ditentukan dari banyak atau tidaknya amal yang dimiliki penghuninya. Amal baik yang banyak memberikan penerangan cahaya yang

Di saat para penghuni lainnya sedang berduyun-duyun mengantri mengambil kiriman doa yang dikirim secara massal ibu tadi tak bergeming, ia masih tetap duduk manis di depan rumahnya, setiap sore tiba ia selalu tersenyum menikmati temaram cahaya dari jutaan doa yang dikirim anak cucunya.

Hendak ditujunya sebuah bangunan yang gemerlap, namun buru-buru seseorang berbaju putih datang mencegahnya. “Hey...  tempat kamu bukan di sini!!”

“Lalu aku mesti ke mana? Aku tidak tahu jalan...” jawab Pramono. Sosok berbaju putih itu kemudian menggerakkan jarinya, memberi tanda untuk mengajak Pramono ke sebuah tempat.

“Lihat istrimu... wanita yang paling kau cintai itu, mengiba untuk dirinya sendiri,” ujar makhluk berbaju putih pada Pramono. Lelaki itu terbisu saat menyaksikan pemandangan yang galau. Istri dan anaknya menangisi kematiaannya dalam hati yang sesak. 

Wahai istriku orang yang paling kucintai kenapa kamu tidak memikirkan nasibku di sini?” ucap Pramono sedih.

“Lihat putra kebanggaanmu. Lihat juga ibumu. Tidak ada yang memikirkan berapa banyak amal yang kamu bawa,” jelas malaikat.

“Iya ternyata keluargaku menangisi nasibnya masing-masing. Tidak ada yang memikirkan amal yang aku bawa, ” jawab Pramono dengan kepala menunduk

“Sana pulang beri tahu mereka, apa yang lebih pantas mereka tangisi,” malaikat itu memberi Pramono obor. Lalu Pramono membuka mata, terbangun dari pembaringan dengan kain kafan yang masih membungkusnya. Dan masih  di tempatnya yang sama, keluarga dan kerabatnya yang datang melayat;  nyaris semuanya berteriak  histeris. (*)


Kerikil Tumpul
Maguwo, 02 Februari 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar