![]() |
Ilustrasi : Klik di sini |
Bajunya putih bersih, rapi berdasi,
celananya mulus dan halus, sepatunya hitam kilap, dan wajahnya selalu menebar
senyum, tapi dalam hatinya siapa yang tahu. Namun yang jelas ia adalah orang
nomor satu di departemen ini.
Namanya Pramono. Perkataannya adalah
titah, ia tidak bisa menerima kata ‘tidak’. Seluruh hidupnya di lembaga ini
hanya mendapatkan kata “ya”, “siap”, “oke”, “baik”. Jika ada staffnya yang berani berkata “tidak”
atas perintahnya, maka itu artinya staff tersebut sudah dekat dengan surat pengunduran
diri, atau paling tidak dia harus siap jika dimutasi ke daerah lain.
ABS, “asal bapak suka” adalah sistem
yang lazim diterapkan oleh bawahannya agar Pramono selalu tersenyum. Pramono
tidak bisa disebut jahat karena ia juga dikenal baik oleh orang-orangnya.
Sebenarnya tidak susah bagi orang lain untuk menyebut dirinya baik, karena ia
selalu membagi komisi kepada jajaran staff di departemennya.
Dari kalangan atas sampai bawahan
semua mendapat bagian amplop masing-masing.
Jika ada bawahannya yang kritis dan perfeksionis atas ‘kebijakan’ yang
ia lakukan, maka ia akan membungkamnya dengan berbagai cara; dari cara halus
sampai cara kasar.
Jabatannya telah membuatnya buta.
Gemerlap dunia telah membuatnya gelap mata. Ia tidak sadar bahwa itu semua
hanya sementara, bahwa semua itu hanya titipan dan amanah semata. Jika ia lupa,
maka apa yang kelak menjadi amal yang bisa ia bawa?
* * *
Pada suatu hari ketika malaikat maut mendekat dan
membuat nyawanya tidak lagi merekat pada raga Pramono.
“Bapak....” terdengar suara jeritan
bocah lelaki berusia sepuluh tahun membahana di ruang tamu. Ia menjerit
kemudian terisak dalam tangis, sebelum ia sempat mengganti baju seragam
sekolahnya.
“Bapak jangan mati aku nggak mau jadi anak yatim,” lanjut
bocah itu mengiba.
“Sudahlah dek kita harus mengikhlaskan kepergian bapak,” ujar
Maesaroh, pembantu dalam rumah itu. Ia berusaha menenangkan putra ragil
Pramono.
“Ikhlas ya, nak.... kita harus sabar,” sahut ibunya
sembari mengusap air mata yang membulir.
meski dalam hatinya ia berkata; “Mas Pram... kenapa kamu begitu cepat
meninggalkan aku? Aku tidak siap menjadi janda...”
Pramono terbujur lemah tak berdaya di
pembaringannya. Di tempat yang sama, keluarganya tersedu-sedan dalam iringan
surat yaasiin yang dibacakan. Andai nyawa bisa dibeli dengan mudah seperti
pulsa, tentulah keluarga lelaki tua itu sudah membelinya berapapun harganya.
Istri Pramono terlampau larut dalam
sedih. Wanita setengah tua itu tak kuat menyaksikan menyaksikan suaminya
terbaring lemah tanpa nyawa. Dengan langkah lemah ia berjalan menuju kamarnya,
namun kesedihan yang dalam menghentikan langkahnya, ia lemah dan jatuh pingsan.
Rumah duka itu semakin riuh, jamaah
takziyah menghambur membopong istri Pramono ke dalam kamar. Beberapa ibu-ibu
menyusul masuk ke dalam membawa kipas dan kertas seadaanya berusaha memberi
angin segar pada wanita gundah gulana tersebut.
Lima belas ment berselang ia kembali
tersadar dan tangis mulai keluar dari mulutnya. Ia tersedu-sedu meratap-ratap
penuh iba. Ibu-ibu di sampingnya berusaha menenangkannya.
“Bagaimana dengan nasibku, mas? Siapa
nanti yang akan menafkahi aku dan anakmu yang masih kecil ini? Aku benar-benar
belum siap menjadi janda, mas...” ujar istri Pramono dengan isak tangis yang
pecah.
Masih dalam waktu yang sama, seorang
wanita renta dengan wajah kendur dan keriput nampak sedih. “Pramono kenapa kamu malah mati duluan? Lalu
siapa nanti yang merawatku? Jika nanti istrimu menikah lagi, apa dia masih mau
merawatku?” batin Ibunda Pramono.
* * *
Di sudut tempat yang lain, Pramono
menyusuri jalan dalam gelap. Ia hanya melihat jalan mendaki disertai sebuah
pintu dengan cahaya. Berjalanlah ia menuju pusat cahaya kemudian ia masuk. Didapatinya sebuah
perumahan yang telah terkotak-kotak. Bentuknya berderet-deret, berbaris-baris,
rapi!
Tidak jauh dari tempatnya berdiri, ia
melihat seorang lelaki berbadan tegap, berbaju serba putih.
Ia menghampiri seorang lelaki berjubah putih tersebut, kemudian menepuk
pundaknya pelan.
“Assalamu’alaikum....” sapanya
“Wa’alaikumsalam warahmatullah...” jawab lelaki
asing itu.
“Bapak permisi ini di mana ya?” tanya Pramono dengan alis
mengernyit, seperti ada sebuah penasaran yang harus dijawab.
“Ini akhirat, pak....” jawab
lelaki tersebut dengan nada tegas.
“Akhirat???”
Pramono menaikkan kedua alisnya. Ada tanda Tanya yang menggantung dalam
otaknya.
“Iya, ini
adalah akhirat. Tempat di mana semua amal kamu berhenti, kecuali
ada tiga hal yang
kamu miliki. Yakni sedekah jariyyah, amal
saleh, dan anak yang berbakti,” jelas lelaki itu.
Lelaki gagah
itu menggandeng tangan Pramono, lalu mengajaknya berkeliling di pemukiman
penduduk. Dilihatnya berderet-deret rumah indah nan elok. Tidak besar tapi juga
tidak kecil. Setiap rumah memiliki cahaya indahnya masing-masing. Namun ada
pula rumah yang bercahaya redup, hanya nampak sinar remang-remang dari jauh.
Bahkan ada juga rumah yang gelap karena tak bercahaya sama sekali.
Masih dalam
tanda tanya besar, Pramono bertanya lagi pada lelaki yang sedari tadi tak
melepaskan genggaman tangannya itu perihal perumahan yang bercahaya elok,
remang, dan gelap tadi. Lelaki itu kemudian menjelaskan bahwa ini adalah rumah
cahaya yang ditentukan dari banyak atau tidaknya amal yang dimiliki
penghuninya. Amal baik yang banyak memberikan penerangan cahaya yang
Di saat para penghuni lainnya sedang berduyun-duyun
mengantri mengambil kiriman doa yang dikirim secara massal ibu tadi tak bergeming, ia masih tetap
duduk manis di depan rumahnya, setiap sore tiba ia selalu tersenyum menikmati
temaram cahaya dari jutaan doa yang dikirim anak cucunya.
Hendak ditujunya sebuah bangunan yang
gemerlap, namun buru-buru seseorang berbaju putih datang mencegahnya.
“Hey... tempat kamu bukan di sini!!”
“Lalu aku mesti ke mana? Aku tidak
tahu jalan...” jawab Pramono. Sosok berbaju putih itu kemudian menggerakkan jarinya, memberi tanda untuk
mengajak Pramono ke sebuah tempat.
“Lihat istrimu... wanita yang paling
kau cintai itu, mengiba untuk dirinya sendiri,” ujar makhluk berbaju putih pada Pramono.
Lelaki itu terbisu saat menyaksikan pemandangan yang galau. Istri dan anaknya
menangisi kematiaannya dalam hati yang sesak.
“Wahai istriku orang yang paling kucintai kenapa kamu tidak memikirkan nasibku
di sini?” ucap Pramono sedih.
“Lihat putra kebanggaanmu. Lihat juga
ibumu. Tidak ada yang
memikirkan berapa banyak amal yang kamu bawa,” jelas malaikat.
“Iya ternyata keluargaku menangisi nasibnya
masing-masing. Tidak ada yang memikirkan amal yang aku bawa, ” jawab Pramono dengan kepala menunduk
“Sana pulang beri tahu mereka, apa yang lebih
pantas mereka tangisi,” malaikat itu memberi Pramono obor. Lalu Pramono membuka
mata, terbangun dari pembaringan dengan kain kafan yang masih membungkusnya.
Dan masih di tempatnya yang sama,
keluarga dan kerabatnya yang datang melayat;
nyaris semuanya berteriak
histeris. (*)
Kerikil Tumpul
Maguwo, 02 Februari 2016