Meski Galak Dia Tetap Bapakku (2) - Soeara Moeria

Breaking

Kamis, 03 September 2015

Meski Galak Dia Tetap Bapakku (2)

Ilustrasi : Google
Oleh: Ahmad Farub

Kebekuan yang Perih
Bapak benar-benar tidak membaca hasil perbaikan tulisanku kemarin. Sepertinya ia terlampau kecewa dan putus asa mengajariku. Sejak hari itu, wajahnya menjadi redup dan pias. Intensitas minum kopi bapak meningkat tajam. Dari yang semula hanya pagi dan selepas senja, kini siang hari pun ia bisa meneguk secangkir kopi hitam bagai jelaga.

Sungguh, entah bagaimana kondisi kesehatan bapak. Rokok murahan yang saban hari dibakarnya, kepulan-kepulan asap yang terus-menerus disusutnya, barangkali sudah tidak memberi ruang lagi pada rongga dadanya untuk lega menikmati udara pagi yang segar. Belum lagi kopi hitam itu. Membayangkannya saja sudah ngeri. Hi!

Meski setahuku kopi dan rokok bisa memicu peningkatan asam lambung, tetapi tidak pernah sekali pun aku mendengar bapak sakit maag. Meski begitu, aku juga tidak mengharapkan Bapak sakit. Perihal tulisan, ah sudahlah. Aku tidak ingin menanyakannya dan enggan membahasnya lagi.

* * *
Hari ini adalah hari Sabtu. Matahari berangsur turun. Sabtu sore adalah waktu yang paling tepat untuk menghabiskan masa liburan akhir pekan. Rendi sahabat baikku, akan pulang dari sekolahnya di kota. Seminggu sekali ia pulang. Sekolahnya berada di pusat kota, sehingga tak mungkin dia laju pulang-pergi. Jaraknya terlalu jauh, jadi dia terpaksa ngekos. Demikian juga Aniq, dan Yusa. Mereka adalah teman-temanku sejak SD yang terkenal pandai dalam semua hal.

Dalam prestasi akademik, mereka selalu juara kelas. Urusan bermain bola, mereka juga selalu menjadi tim inti kesebelasan di RT-ku. Akhir pekan seperti ini, mereka akan berduyun-duyun pulang dan menghabiskan hari libur di rumah. Seringkali kami merencanakan mincing bersama di kali Timbrang yang jaraknya tidak terlalu jauh. Sembari memancing, mereka membakar jagung, kemudian memamahnya selagi masih hangat. Aku hanya ikut nimbrung atau membantu mereka mencarikan cacing untuk umpan. Urusan memamah jagung, aku tidak begitu menghiraukan. Kadang mereka membaginya saat perut mereka sudah buncit kekenyangan.

Meski kami berasal dari sekolah yang sama, aku tidak diterima di sekolah Aniq, Yusa, juga Rendi, yang memang dikenal sebagai sekolahanak-anak yang berotak encer. NEM–ku jeblok. Prestasiku sangat jauh dari trio sekawan itu. Peringkatku adalah peringkat penutup alias terbawah. Dalam kesebelasan RT pun, aku cukup puas menjadi penonton dari bibir lapangan.

Jelang sore hari ini, aku berniat menemui mereka. Ketika hendak keluar, aku mendapati Ibu dan Bapak sedang ngobrol di teras belakang rumah.

“Bapak, Ibu, Aku ke rumah Rendi dulu ya.” Pamitku tergesa.

“Iya, Mas. Jangan main jauh-jauh. Andi dan Agung suruh pulangya, Mas. Dia di rumah bu Lik Karmi.” SahutIbu.

“Iya, Bu.” Jawabku singkat.

Bapak menatapku lekat. Tatapan matanya bertumbukan dengan sorot mataku. Jleg! Aku sampai harus berdiam diri sejenak. “Kenapa?” hatiku membatin. Butuh beberapa waktu untuk memulihkan keadaan. “Ah sudahlah.” Aku melangkah pergi.

Aku melambankan langkah ketika sepasang kakiku menjejak meninggalkan halaman rumah. Tatapan mata bapak mengoyak hati. Sungguh, belasan tahun aku hidup bersama lelaki itu. Tapi tak pernah kutemui sorotan matanya, melihat dengan pancaran yang begitu memilukan. Aku menunduk melihat sepasang kaki lusuh terbasuh debu yang terbawa angin kemarau bulan Agustus.

Mereka saling mendahului sembari menertawai kebingunganku. Meski waktu telah menunjukan pukul 14.50 panas matahari masih terasa menjerang bumi. Tak heran, berbagai kasus kebakaran hebat kerap melanda di berbagai daerah. Memang bukan menjadi penyebab utama, tapi dengan suhu bumi yang meningkat, api yang melahap benda-benda mudah terbakar jadi semakin sulit dijinakkan.

“Tapi, bukan itu yang sesungguhnya membuat hatiku nyeri. Kulit ariku boleh jadi terbakar oleh sengatan matahari, tapi tatapan mata bapak sungguh telah membekukan hatiku.”

Dalam perjalanan menuju rumah bu Lik Karmi, aku terus bertanya pada diri sendiri apa gerangan yang telah mengubah sorot mata bapak jadi demikian pedih. Namun, yang kutemui hanya terpaan angin kemarau yang menerbangkan partikel debu. Kilatan-kilatan mata bapak tampak mengawasi dari berbagai sudut, memantulkan kebingungan.

Setelah menembus terik matahari sore, akhirnya aku tiba di teras halaman bu Lik Karmi. Di halaman tampak Andi dan Agung, dua adik kembarku sedang asyik bermain bersama Dafa dan Bram, sepupuku. Mereka lahir hampir sepantaran. Mungkin kebetulan, hampir seluruh keluarga besarku laki-laki. Aku sendiri sepantaran dengan mas Tyo, anaknya pak Dhe Bisri. Dia sekarang sudah masuk ke Akpol. Mas Tyo lulus tepat waktu, aku menjadi adik kelas karena memang sempat tinggal kelas sewaktu kelas lima SD.

“Dik Andi, Agung, dawuhi ibu mantuk. Dik Andi, Agung, di minta Ibu pulang.” Panggilku.“

Memangnya ada apa, Mas?” Tanya Agung.

“Kalian ‘kan sudah main seharian, pulang dulu, makan.”

“Ohh. Kirain. Yaudah. Dafa, Bram, aku pulang dulu ya. Nanti malam jangan lupa ke masjid bawa gasingmu. Kita bertanding lagi nanti.” Agung membuat persekongkolan dengan sepupunya.

Dua adikku lari sipat kuping. Cepat sekali. Dalam sekejap mereka lenyap dari pandangan. Hatiku masih saja diliputi kecemasan. Sekilas tatapan mata bapak tadi berkelebat. Entah mengapa dada ini rasanya tertohok. Rencana ke rumah Rendi akhirnya aku batalkan. Aku memutar arah dan kembali pulang. Setiap kali kaki memijak tanah yang rangkah, kecemasan itu rasanya mendarat di pikiran. Sesampainya di rumah, aku berniat menyusul ibu dan bapak di teras belakang. Tapi langkahku tertahan karena ada sesuatu yang membuatku bergeming.

“Bu, aku kok khawatir sama Mas Dika ya.” Suara bapak pelan.

“Huftttt…,” ibu membuang nafas panjang. Sebentar, itu bukan nafas kelegaan, tapi itu nafas keputus asaan, kepahitan dan kepedihan yang dalam.

Deg! Aku melipir ke kamar diam-diam. Aku mengendik supaya derapnya tidak didengar oleh siapa pun. Kurapatkan telinga ke dinding belakang, supaya bisa dengan jelas mendengar percakapan Bapak dan Ibu. Walau sejujurnya aku takut, tapi aku harus tahu.

Percakapanberlanjut. “Bapak rasanya sudah mentok, Bu. Segala usaha tampaknya sudah kita lakukan. Tapi kayaknya Mas Dika memang segitu kemampuannya.”Ucap Bapak gundah.

“Ya sudah, Pak. Mau gimana lagi. Coba aja Mas Dika bisa sepandai teman-temannya ya. Ya macam Yusa, Aniq, atau si Rendi itu. Seneng dan bangga.” Ucap ibu dengan penuh harap.

“Ya, setidaknya seperti mas Tyo lah, Bu. Tinggi kekar hingga bisa masuk ke Akpol.”Bapak menimpali.

Mendengar percakapan itu, aku bagai mendapat tonjokan di ulu hati, dadaku rasanya sesak sekali. Keringat dingin membasah di balik punggung. Aku tersandar di dinding kamar. Tempurung lutut rasanya lepas, tulang-tulang penopang tubuh rasanya dilolosi satu-satu, disayati pelan-pelan. Kamar ini terasa menghimpit. Semakin menyesakkan rongga di dada. Aku meringkuk memeluk lutut. Ada apa ini? Aku menggigil. Ada yang ingin berkuar dari sudut mata. Rasanya panas. Satu dua menetes, dan akhirnya mengalir deras. Aku tidak bisa mendengar apa-apa lagi.

Aku yang bukan juara kelas
Aku yang tidak jago main bola
Aku yang payah dalam olahraga
Aku….aku…

(Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar