Ilustrasi : Google |
Oleh: Ahmad Farub
Kebekuan yang
Perih
Bapak benar-benar tidak membaca hasil perbaikan tulisanku
kemarin. Sepertinya ia terlampau kecewa dan putus asa mengajariku. Sejak hari itu,
wajahnya menjadi redup dan pias. Intensitas minum kopi bapak meningkat tajam.
Dari yang semula hanya pagi dan selepas senja, kini siang hari pun ia bisa meneguk
secangkir kopi hitam bagai jelaga.
Sungguh, entah bagaimana kondisi kesehatan bapak. Rokok
murahan yang saban hari dibakarnya, kepulan-kepulan asap yang terus-menerus disusutnya,
barangkali sudah tidak memberi ruang lagi pada rongga dadanya untuk lega menikmati
udara pagi yang segar. Belum lagi kopi hitam itu. Membayangkannya saja sudah ngeri.
Hi!
Meski setahuku kopi dan rokok bisa memicu peningkatan
asam lambung, tetapi tidak pernah sekali pun aku mendengar bapak sakit maag. Meski
begitu, aku juga tidak mengharapkan Bapak sakit. Perihal tulisan, ah sudahlah. Aku
tidak ingin menanyakannya dan enggan membahasnya lagi.
* * *
Hari ini adalah hari Sabtu. Matahari berangsur turun.
Sabtu sore adalah waktu yang paling tepat untuk menghabiskan masa liburan akhir
pekan. Rendi sahabat baikku, akan pulang dari sekolahnya di kota. Seminggu sekali
ia pulang. Sekolahnya berada di pusat kota, sehingga tak mungkin dia laju pulang-pergi. Jaraknya terlalu jauh,
jadi dia terpaksa ngekos. Demikian juga
Aniq, dan Yusa. Mereka adalah teman-temanku sejak SD yang terkenal pandai dalam
semua hal.
Dalam prestasi akademik, mereka selalu juara kelas.
Urusan bermain bola, mereka juga selalu menjadi tim inti kesebelasan di RT-ku. Akhir
pekan seperti ini, mereka akan berduyun-duyun pulang dan menghabiskan hari libur
di rumah. Seringkali kami merencanakan mincing bersama di kali Timbrang yang
jaraknya tidak terlalu jauh. Sembari memancing, mereka membakar jagung,
kemudian memamahnya selagi masih hangat. Aku hanya ikut nimbrung atau membantu mereka mencarikan cacing untuk umpan. Urusan
memamah jagung, aku tidak begitu menghiraukan. Kadang mereka membaginya saat perut
mereka sudah buncit kekenyangan.
Meski kami berasal dari sekolah yang sama, aku tidak
diterima di sekolah Aniq, Yusa, juga Rendi, yang memang dikenal sebagai sekolahanak-anak
yang berotak encer. NEM–ku jeblok. Prestasiku sangat jauh dari trio sekawan itu.
Peringkatku adalah peringkat penutup alias
terbawah. Dalam kesebelasan RT pun, aku cukup puas menjadi penonton dari bibir lapangan.
Jelang sore hari ini, aku berniat menemui mereka. Ketika
hendak keluar, aku mendapati Ibu dan Bapak sedang ngobrol di teras belakang rumah.
“Bapak, Ibu, Aku ke rumah Rendi dulu ya.” Pamitku tergesa.
“Iya, Mas. Jangan main jauh-jauh. Andi dan Agung suruh
pulangya, Mas. Dia di rumah bu Lik Karmi.” SahutIbu.
“Iya, Bu.” Jawabku singkat.
Bapak menatapku lekat. Tatapan matanya bertumbukan dengan
sorot mataku. Jleg! Aku sampai harus berdiam diri sejenak. “Kenapa?” hatiku membatin.
Butuh beberapa waktu untuk memulihkan keadaan. “Ah sudahlah.” Aku melangkah pergi.
Aku melambankan langkah ketika sepasang kakiku menjejak
meninggalkan halaman rumah. Tatapan mata bapak mengoyak hati. Sungguh, belasan tahun
aku hidup bersama lelaki itu. Tapi tak pernah kutemui sorotan matanya, melihat dengan
pancaran yang begitu memilukan. Aku menunduk melihat sepasang kaki lusuh terbasuh
debu yang terbawa angin kemarau bulan Agustus.
Mereka saling mendahului sembari menertawai kebingunganku.
Meski waktu telah menunjukan pukul 14.50 panas matahari masih terasa menjerang bumi.
Tak heran, berbagai kasus kebakaran hebat kerap melanda di berbagai daerah. Memang
bukan menjadi penyebab utama, tapi dengan suhu bumi yang meningkat, api yang
melahap benda-benda mudah terbakar jadi semakin sulit dijinakkan.
“Tapi, bukan itu yang sesungguhnya membuat hatiku nyeri.
Kulit ariku boleh jadi terbakar oleh sengatan matahari, tapi tatapan mata bapak
sungguh telah membekukan hatiku.”
Dalam perjalanan menuju rumah bu Lik Karmi, aku terus
bertanya pada diri sendiri apa gerangan yang telah mengubah sorot mata bapak jadi
demikian pedih. Namun, yang kutemui hanya terpaan angin kemarau yang
menerbangkan partikel debu. Kilatan-kilatan mata bapak tampak mengawasi dari berbagai
sudut, memantulkan kebingungan.
Setelah menembus terik matahari sore, akhirnya aku tiba
di teras halaman bu Lik Karmi. Di halaman tampak Andi dan Agung, dua adik kembarku
sedang asyik bermain bersama Dafa dan Bram, sepupuku. Mereka lahir hampir sepantaran.
Mungkin kebetulan, hampir seluruh keluarga besarku laki-laki. Aku sendiri sepantaran
dengan mas Tyo, anaknya pak Dhe Bisri. Dia sekarang sudah masuk ke Akpol. Mas
Tyo lulus tepat waktu, aku menjadi adik kelas karena memang sempat tinggal kelas
sewaktu kelas lima SD.
“Dik Andi, Agung, dawuhi ibu mantuk. Dik Andi,
Agung, di minta Ibu pulang.” Panggilku.“
Memangnya ada apa, Mas?” Tanya Agung.
“Kalian ‘kan sudah main seharian, pulang dulu,
makan.”
“Ohh. Kirain. Yaudah. Dafa, Bram, aku pulang dulu ya.
Nanti malam jangan lupa ke masjid bawa gasingmu. Kita bertanding lagi nanti.”
Agung membuat persekongkolan dengan sepupunya.
Dua adikku lari sipat
kuping. Cepat sekali. Dalam sekejap mereka lenyap dari pandangan. Hatiku masih
saja diliputi kecemasan. Sekilas tatapan mata bapak tadi berkelebat. Entah mengapa
dada ini rasanya tertohok. Rencana ke rumah Rendi akhirnya aku batalkan. Aku memutar
arah dan kembali pulang. Setiap kali kaki memijak tanah yang rangkah, kecemasan
itu rasanya mendarat di pikiran. Sesampainya di rumah, aku berniat menyusul ibu
dan bapak di teras belakang. Tapi langkahku tertahan karena ada sesuatu yang
membuatku bergeming.
“Bu, aku kok khawatir sama Mas Dika ya.” Suara bapak
pelan.
“Huftttt…,” ibu membuang nafas panjang. Sebentar,
itu bukan nafas kelegaan, tapi itu nafas keputus asaan, kepahitan dan kepedihan
yang dalam.
Deg! Aku melipir ke kamar diam-diam. Aku mengendik supaya
derapnya tidak didengar oleh siapa pun. Kurapatkan telinga ke dinding belakang,
supaya bisa dengan jelas mendengar percakapan Bapak dan Ibu. Walau sejujurnya aku
takut, tapi aku harus tahu.
Percakapanberlanjut. “Bapak rasanya sudah mentok, Bu. Segala usaha tampaknya sudah
kita lakukan. Tapi kayaknya Mas Dika memang segitu kemampuannya.”Ucap Bapak gundah.
“Ya sudah, Pak. Mau gimana lagi. Coba aja Mas Dika bisa
sepandai teman-temannya ya. Ya macam Yusa, Aniq, atau si Rendi itu. Seneng dan bangga.”
Ucap ibu dengan penuh harap.
“Ya, setidaknya seperti mas Tyo lah, Bu. Tinggi kekar
hingga bisa masuk ke Akpol.”Bapak menimpali.
Mendengar percakapan itu, aku bagai mendapat tonjokan
di ulu hati, dadaku rasanya sesak sekali. Keringat dingin membasah di balik punggung.
Aku tersandar di dinding kamar. Tempurung lutut rasanya lepas, tulang-tulang penopang
tubuh rasanya dilolosi satu-satu, disayati pelan-pelan. Kamar ini terasa menghimpit.
Semakin menyesakkan rongga di dada. Aku meringkuk memeluk lutut. Ada apa ini?
Aku menggigil. Ada yang ingin berkuar dari sudut mata. Rasanya panas. Satu dua menetes,
dan akhirnya mengalir deras. Aku tidak bisa mendengar apa-apa lagi.
Aku yang bukan juara kelas
Aku yang tidak jago main bola
Aku yang payah dalam olahraga
Aku….aku…
(Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar