Ilustrasi: Google |
Karya : Ahmad Farub
Bapak kembali berang. Makian itu bukan pertama kali dialamatkan
kepadaku. Sederet kalimat pedas itu mungkin sudah belasan, lusinan, bahkan
ratusan kali terlontar dari bibir bapak. Dia memang keras. Apalagi untuk urusan
pendidikan dan tulis-menulis. Lelaki pengkuh itu mahir betul di bidang itu.
Telah ratusan kali karyanya dimuat di berbagai media nasional. Tulisannya pun
beragam, mulai dari cerpen, karya ilmiah popular, tajuk rencana dan lainnya.
Semua itu, berkat ketekunan Bapak membaca dan belajar.
Sayangnya, kemampuan bapak itu tidak aku miliki. Aku memang suka
menulis, tapi tidak dengan kegiatan membaca. Berbeda sekali dengan bapak, dia rajin
sekali membaca juga menulis. Meskipun yang disukai bapak tidak aku minati, tapi
aku memutuskan mengikuti perintah dan kemauan bapak. Dia menginginkan aku
menjadi penulis sepertinya. Aku menurut saja. Tapi yang sesungguhnya aku inginkan
adalah menjadi seperti bapak dan untuk menjadi sepertinya, harus doyan membaca dan menulis.
“Untuk menjadi penguasa informasi, yang kamu butuhkan adalah
membaca dan menulis,” katanya.
Aku mempercayainya, maka aku menuruti keinginan bapak menjadi penulis
atas permintaannya. “Agar ada regenerasi penulis yang berkualitas." Begitu
sambungnya.
Siang itu, bapak geram memeriksa tulisanku yang ke-100 masih
saja berantakan. Meski sudah mendapat pelatihan dan binaan khusus dari beliau,
konsep tulisanku masih dangkal dan tidak bernas. Begitu beliau menyebut tulisan
yang dari segi substansi masih kurang, dari data lemah dan dari referensi masih
dangkal.
"Nggak gampang kan
menulis?" tanyanya mengejek.
"Hehe," aku nyengir
getir. Antara ragu-ragu dan malu.
"Ini, ambil lagi! Sampah! Nulis itu jangan jorok!
Perhatikan huruf kapital dan tanda baca. Jangan beretorika saja kamu." Kembali
ia menyalakku.
Melihat aku tak bergeming, bapak kembali menghardik tajam.
"Nyerah?" tanyanya melandai.
Terlihat di tangan kanannya memegang batang rotan, sambil
menghempas-empaskan di tangan kiri. Bapak mendekat. Tampaknya Bapak tahu aku
ingin berhenti belajar menulis darinya. Nggak
kuat! Tapi mesti kuurungkan niatan itu segera, sebelum batang rotan itu
mendarat bebas di bokongku. Aku kembali gusar. Dengan malas-malas aku punguti
lagi lima lembar HVS yang sudah kusut masai yang berjatuhan di lantai. Selain
karena sudah diremas bapak, lembaran ketikan yang kukerjakan semalaman itu
basah oleh keringat dingin yang mengucur. Dalam hati rasanya terbakar dan
tersinggung bukan main. Lusinan kali dihempaskan olehnya bukan perasaan yang
menyenangkan. Ingin rasanya aku protes dengan metode belajarnya yang keras, to the point tanpa
sedikit pun ada gula-gula pemanis. Semuanya lugas, ringkas, padat, dan pedas!
ah!
Tetapi, dialah guru terbaikku saat ini. Kapasitasnya sebagai
penulis tidak diragukan lagi. Karyanya yang terbit menggurita di kolom surat
kabar adalah bukti telak atas pencapainya sebagai penulis. Bapak bahkan pernah
menjadi editor di surat kabar nasional. Itulah sebabnya standar menulisnya
sangat tinggi. "Aku ini perfectionis urusan menulis. Tidak butuh
tulisan sampah seperti itu." Dua hari lalu ketika kami ngobrol di balai belakang rumah, sambil
memeriksa tulisanku. Matanya memicing mengintimidasi. Tentu saja aku takut.
“Perbaiki lagi! Lakukan yang terbaik dan tanpa cela sedikit pun.
Bapak tunggu sampai sore nanti.”
Aku mengangguk pelan. Entah, aku menjadi tak berani
berkata-kata, menimpali canda seperti biasa kami lakukan. Terpekur saja
mendapati diriku tidak bergelimang bakat menulis seperti Bapak. Sepanjang
memperbaiki tulisan hari itu, pikiranku acapkali mendera, mencerca. Apa benar
Bapak segalak ini? Awal-awal tidak? Pertanyaan yang tiba-tiba singgah di
pedalaman sanubari. Deraan pertanyaan itu terus bercokol dan tak pernah sedikit
pun pergi. Ia terus hinggap menggerus ketenangan hati. Ingin rasanya bertanya
kepada bapak, mengapa ia segalak itu kepadaku. Tapi, rasanya ciut nyali walau hanya sekedar menanyakan
itu. Meski ia adalah bapakku sendiri, untuk urusan seperti ini, lain cerita. Bapak
tiba-tiba kurasakan berbeda.
* * *
Siang itu matahari begitu terik, aku masih berusaha keras
memperbaiki tulisan yang nantinya kuserahkan kepada bapak sore nanti. Sudah
lima jam terduduk mengamati layar monitor tua berkaca gemuk. Selain tidak
kerasan di depan layar, duduk selama lima jam tanpa bergeming sedikit pun
membuat pantatku panas. Belum lagi hawa hangat yang menyusup dari ventilasi,
membuat mata sipitku mulai terkantuk-kantuk. Kursor masih mengerjap-ngerjap di ujung
kalimat terakhir paragrap kesembilan.
“Satu paragraf lagi,” pekikku menyemangati diri.
Setelah memilin-milin jemari,menepuk-nepuk pipi, dan memuntir
tulang punggung hingga bunyi krutuk-krutuk, semangatku kembali sedikit
terpompa.
Aku bangkit berdiri, mengintip Bapak dari balik gordyn warna
kuning gading yang menyekat kamarku dengan ruang tengah di mana bapak berdiri.
Di ambang jendela, bapak tampak sedang menebar pandangannya ke luar rumah,
melihat dan mengamati pekarangan samping. Ia tampak santai sembari sesekali
menjentikan rokok yang terselip antara sela jemari telunjuk dan tengah di tangan
kanannya.
Ya, dialah lelaki yang selama ini menemaniku. Mengajariku banyak
hal. Badannya yang pengkuh, tatapannya yang tajam, tuturnya yang tegas adalah
keindahan yang selama ini kurasakan. Dialah sahabatku, meski galak, dialah
bapakku.
“Kerjakan saja, nggak usah
ngintip-ngintip. Kalau masih salah,
aku tendang kamu!” Teriak bapak tanpa melihat.
Aku berjingkat. Langsung balik kanan dan buru-buru kembali ke meja komputer. Nahas, daun pintu itu masih
menganga. Jidatku sontak membenturnya dengan keras.
“Gedubrak! Haduh.” Aku mengaduh. Kegaduhan kecil itu, bukan
hanya membuatku malu, tapi juga nyeri di jidat nonongku. Benturan itu menciptakan
benjolan tepat di tengah dahi dengan warna kebiruan. Sambil mengelus
berkali-kali nonongku, sambil juga pura-pura kembali sibuk di depan monitor
gendut ini walau pada kenyataanya otakku sudah macet dari proses berpikir.
Remuk sudah otakku menjalani pressure darinya. Aku benar-benar ingin
menyerah.
* * *
Telah sekuat tenaga aku tegakkan kepala supaya tetap bisa
menyelesaikan tugas dari bapak. Telah kusempurnakan dengan mencoba merubah
posisi duduk, mulai dari miring kanan, miring kiri, tumpang kaki kanan, tumpang
kaki kiri. Tapi akhirnya kepalaku tetap roboh di depan monitor. Entah berapa
lama terkapar ditonton layar gendut yang berkerdip, berbantal keybord yang
beberapa tutsnya sudah tidak terlihat penandanya. Terakhir ingat, aku masih
tegak menatap layar pukul 15.15, dan sekarang sudah pukul 17.10. Hampir dua jam
aku tertidur. “Waduh! Habislah aku!” geramku. Tapi sebentar, di mana Bapak? ia
meminta untuk menyelesaikan tugas sore ini. Semoga ia tak melihatku tertidur.
Sementara matahari sudah condong ke barat, aku merapikan
kertas-kertas yang berceceran. Proses mencetak perbaikan terakhir seperti yang
diminta bapak telah aku tunaikan. Mulut printer yang sudah bertahun-tahun
dipakai bapak itu pun memekik gaduh memuntahkan lembar terakhir tulisanku. Aku
teliti lagi, masih ada satu titik yang salah. Aku benarkan dan aku cetak lagi.
Alhamdulillah selesai. Mudah-mudahan ini yang terakhir. Detik penghisaban
itupun tiba, dan yang bertindak sebagai pemegang catatan kebenaran adalah
bapak. Selepas shalat maghrib, bapak terlihat santai di teras depan, sambil
tetap sibuk dengan rokok murahannya. Dengan ragu-ragu aku mendekat sambil
memegangi lima lembar HVS yang aku print tadi.
“Bapak… emh… ini sudah.” Aku menunduk setengah takut.
“Oh, sudah?” Bapak agak terkesiap mendapatiku berdiri di samping
kanannya.
Kusurukan kertas itu dengan muka pias. Setelah ia meraihnya,
bukannya di baca, malah diletakkannya begitu saja di meja. “Oh mungkin nanti
koreksinya. Setelah rokoknya di sulut.” Hatiku membatin. Tak lama, bapak
menjentikan koreknya lalu menyulut rokok yang sepertinya sudah menjadi teman
setia bapak di waktu apapun. Ia lantas menghisapnya lalu
menghempaskan asapnya ke udara. Kepulan asap itu seketika sirna dilalap oleh
angin.
“Kak, coba pijitin pundak Bapak, kok rasanya pegel sekali ya.”
Pinta bapak.
Aku bangkit berdiri, lalu memijat bahu liatnya.
“Bapak…,”
“Ya…,”
“Bapak merokok dari kapan?” tanyaku hati-hati. Tapi sepertinya
senja ini bapak sedang bersahabat. Tak perlu aku merasa takut dengan
keganasannya.
“Sudah lama.” Jawabnya singkat.
“Iya sejak kapan?” Tanyaku lagi.
“Dari bapak masih SMA, Kak.”
Sejujurnya, aku tidak suka dengan kebiasaan bapak merokok. Tapi
candu bapak terhadap rokok sudah sangat akut. Aku terbatuk turut menghirup asap
rokok bapak. Merasa tak enak, bapak meletakkan rokoknya. Selagi tak menyentuh
rokoknya, bapak tak jua menyentuh tulisan yang telah aku perbaiki atas
permintaannya. Apa sih maunya bapak?
makasih
BalasHapusya, sama-sama
Hapus