![]() |
Webinar bersama mahasiswa magang BBJT. (Foto: Istimewa) |
Acara tersebut merupakan bagian dari Seri Magang Berkarya, kolaborasi
antara mahasiswa magang dari Universitas Diponegoro (Undip), Universitas Negeri
Semarang (Unnes), Universitas Muhammadiyah Semarang (Unimus), dan Balai Bahasa
Provinsi Jawa Tengah (BBPJT).
Peserta yang turut berpastisipasi dalam webinar yang dimoderatori Sania
Nur SInta, mahasiswa FIB Undip, itu mencapai 185 orang, yang meliputi
mahasiswa, pelajar, penikmat sastra, serta masyarakat umum dari berbagai
daerah.
Kepala Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah, Ganjar Harimansyah,
menyatakan bahwa Seri Magang Berkarya merupakan salah satu upaya pemberdayaan
bagi mahasiswa magang. Mereka mengekspresikan kreativitasnya untuk menghasilkan
produk atau karya yang diharapkan bermanfaat bagi mahasiswa dan khalayak.
“Webinar ini sangat penting dan mampu membuka wawasan bagi para peserta
karena saat ini dunia digital sudah memasuki sendi-sendi kehidupan manusia.
Platform digital untuk berkarya merupakan sebuah keniscayaan yang tidak dapat
dimungkiri lagi,” kata Ganjar.
Selain berkarya untuk kebutuhan sendiri, lanjut Ganjar, penulis juga
berharap karyanya dapat dinikmati oleh khalayak ramai. Media digital memiliki
rekam jejak yang tidak dapat dengan mudah dihapus, pendokumentasiannya sangat
baik, bisa dibuka di mana pun, kapan pun, dan oleh siapa pun.
“Kami berharap generasi muda mampu memanfaatkan dan memaksimalkan
platform-platform digital untuk berkarya. Platform digital memiliki keleluasaan
akses yang sangat baik sehingga memudahkan penggunanya dalam menambah wawasan,”
jelasnya.
Ahmad Abu Rifai mengungkapkan bahwa kemajuan teknologi mampu membuka
pelbagai kesempatan, termasuk dalam berkarya. Publikasi yang dahulu terbatas
dan terpusat sekarang menjadi lebih bebas.
“Kita memiliki ruang yang lebih dari cukup untuk mengekspresikan diri.
Tak lagi terhalang pakem, modal, dan akses informasi. Kita dapat memulai berkarya
melalui media sosial pribadi yang tidak melulu bisa dipandang rendah. Terkadang
ada alasan tertentu yang justru membuat berkarya di medsos pribadi itu menjadi
nilai tambah bagi sang penulis,” ungkap penulis yang pernah memenangi lomba
penulisan esai Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah itu.
Lebih lanjut Abu menuturkan bahwa seorang penulis dalam berkarya di
media digital, khususnya media sosial pribadi, juga harus menyajikan karya yang
terbaik, bertanggung jawab pada karya yang ditulis di tiap platform, dan
konsisten.
“Seorang penulis tidak boleh sewenang-wenang dengan menunjukkan
kualitas bahasa yang buruk, apalagi dalam karya yang dibagikan kepada
orang-orang karena bahasa memiliki dampak sosial. Kunci menulis memang harus
belajar terus dan selalu menambah informasi tentang hal yang sedang tren.
Penulis harus mampu memberikan nilai dalam tren tersebut sehingga tidak hanya
sekadar ikut-ikutan, tetapi juga ikut menyumbang ilmu,” tambahnya.
Sementara itu, Mellyana Dhian Isfandhiary mengungkapkan bahwa terdapat
berbagai kemudahan yang dapat diperoleh dari menulis di platform digital, yaitu
self publishing (berkarya secara mandiri, tanpa seleksi), tidak perlu
mengeluarkan uang, dan dapat berinteraksi dengan pembaca. Selain itu, penulis
juga dapat bergabung dengan komunitas sesama penulis dengan mudah.
“Menulis juga bisa menjadi wadah personal branding. Setiap penulis
tidak bisa langsung terkenal, membutuhkan proses. Platform menulis digital
dapat menjadi wadah untuk memulai menulis dan salah satu media agar penulis
pemula dapat dikenal oleh banyak orang,” ungkap Mbak Melly, sapaan akrabnya.
Menurut Melly, saat ini penerbit-penerbit yang memiliki karya best
seller adalah penerbit yang menerbitkan novel dari platform menulis digital
maupun karya dari media sosial, seperti Twitter. Niat, tujuan, motivasi yang
jelas, dan konsisten merupakan kunci utama menulis di platform digital.
“Penulis harus berani mencoba, mengabaikan ketakutan, kekhawatiran, dan rasa tidak percaya diri dengan belajar otodidak,” tambah penulis novel Dear Imamku yang telah difilmkan itu. (ip)