Kasus Natuna Utara Butuh Diplomasi dan Peningkatan Pertahanan - Soeara Moeria

Breaking

Minggu, 19 Januari 2020

Kasus Natuna Utara Butuh Diplomasi dan Peningkatan Pertahanan

Asma Asmira
Oleh : Asma Asmira, mahasiswi Universitas Islam Malang

Pemerintah Indonesia di minta melakukan upaya diplomasi dengan pemerinntah china terkait kasus natuna utara guna menghasilkan jalan kaluar yang baik dan tidak merongrong keutuhan bangsa. Kemudian Insiden antara Indonesia dan china di natuna utara kembali memanas setelah sejumlah kapal penangkap ikan milik china memasuki perairan natuna secara ilegal desember lalu.

TNI Pastikan kapal nelayan china sudah di tinggalkan ZEE Natuna.
Indonesia Sempat Memanggil Duta Besar China di Jakarta dan menyampaikan protes keras atas pelanggaran di zona ekonomi ekslusif (ZEE), termasuk pengkapan ikan ilegal serta pelanggaran kedaulatan oleh pasukan penjaga pantai china. Anggota komisi pertahanan dan luar negri dewan perwakilan rakyat NURUL QOMARIL ARIFIN, atau di kenal dengan nurul arifin menyarankan agar pemerintah Indonesia melakukan diplomasi tingkat tinggi tinggi dengan pemerintah china terkait kasus natuna  ini agar menghasilkan jalan keluar yang baik.

KRI IMAM BONJOL 363 ( Kiri) menahan kapal nelayan china di perairan natuna.
Jika china tidak mau berdamai, lanjutnya, maka sebaikanya kasus ini bawa ke perserikatan bangsa bangsa ( PBB ) sehingga dapat menundukan masalah tersebut secara proposional. Pemerintah harus meningkatkan pertahanan, tambahnya. Ia mengapresiasi pendekatan pemrintah dalam menghadapi konflik dengan china, namun mengkritisi kebijakan mobilisasi nelayan dari wilayah pantura dan lainya ke wilyah natuna. “ Respon yang emosional, saya kira tidak perlu juga dilakukan. Nelayan nelayan itu tidak biasa mencari ikan di wilayah natuna, tidak mudah orang harus beradaptasi dengan satu situasi laut yang berbeda dengan daerah – daerah yang menjadi wilyah yang menjadi tempat dia mencari ikan. Itu tidak membantu, seperti menghadapkan nelayan dengan nelayan” ujar nurul.

Pemrrintah di nilai minim opsi diplomasi dalam selesaikan sengketa nautana
Pakar hukum laut internasional prof. Dr Hasyim Djalal mengatakan situasi yang sempat memanas antara Indonesia dengan china yang terjadi di natuna  utara merupakan sisi lain dari pertengkaran laut china selatan, wilayah yang di klaim oleh beberapa Negara ASEAN lain yaitu malasiya, Vietnam , Filipina. Menurutnya klaim china di laut china selatan tidak jelas.

“Mengadakan berbagai meeting dan diskusi dengan china tentang apa yang sesungguhnya di klaim oleh china di laut china selatan itu kareana tidak jelas dengan garis 9 dash line ( sembilan garis putus china ) itu kata Hasyim. Dan pemerintah Indonesia menyatakan tidak akan pernah mengakui Sembilan garis putus china ( garis batas  yang di tetapkan china ) karena penarikan garis tersebut bertentangan dengan konvensi hukum laut PBB (United Nations Convention For The Law of The Sea / UNCLOS ) pada 1982. Mentri luar negri Retno Marsudi menekankan klaim apapun oleh pihak manapun harus di lakukan sesuai dengan hukum internasional, termasuk UNCLOS 1982. Menurutnya Indonesia akan termasuk menolak klaim yang tidak di akui oleh hukum internasional. Sebagaimana Negara lain, Retno Marsudi menggarisbawahi isu kedaulatan dan integritas teritorial merupakan hal yang tidak dapat di tawar sama sekali. Menlu retno menegaskan kedaualatan dan wilayah teritorial Indonesia tidak dapat di tawar oleh siapapun dan kapanpun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar