Anti Klimak Dominasi "Raja" Desa - Soeara Moeria

Breaking

Sabtu, 20 Juli 2019

Anti Klimak Dominasi "Raja" Desa

Diskusi perdana Rembug Civil Society (Recis).
Rembug Civil Society (Recis) mengadakan forum diskusi perdananya Minggu (14/7/2019) lalu, dengan mengambil tema kajian pelaksanaan UU No. 16 tahun 2014 tentang desa. Pesertanya cukup beragam, dari aktivis organisasi pergerakaan hingga masyarakat umum.

Hal tersbut di atas menjadikan forum diskusi mampu menggali isu sosial dari sumber asalnya yakni realitas masyarakat bawah sebagai pihak paling terdampak dari pelaksanaan Undang-undang Desa.

Salah satu fakta yang terungkap adalah, adanya dominasi pemerintah desa (pemdes) sebagai satu-satunya lembaga pemegang kewenangan desa.

Superioritas pemdes  yang berkedudukan sebagai Local Self Goverment secara legal formal memang diakui oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia (UU Desa, pasal 1). Pemdes juga memiliki kewenangan berdasarkan hak asal usul, kewenangan lokal berskala desa, kewenangan lain berdasarkan penugasan lembaga supra desa serta kewenangan lain-lain yang diatur dalam Undang-undang.

Kepala Desa/ Petinggi merupakan pemimpin tertinggi dalam pemerintahan desa, secara yuridis formal mendapat penguatan dari negara berupa:

Pemilihannya dilakukan serentak di wilayah Kabupaten/ Kota (Permendagri 112/ 2014), pengisian jabatan dan penambahan kasi (Permendagri 84/ 2015), pengangkatan staf tambahan (Perbup), inisiatif desa (PADes), seleksi pejabat (Permendagri 83/ 2015), serta pendapatan dari siltap dan tamsil/ bengkok telah mencapai nilai UMR (PP. No. 43/ 2014). Bahkan di beberapa daerah penghasilan perangkat desa sampai 13 juta/ bulan (FKP 2018, hal. 6).

Penguatan pemdes oleh negara tampak pula dari fasiltas yang diberikan, di antaranya Dana Desa (DD), Alokasi Dana Desa (ADD), Dana Bagi Hasil (DBH), Bankeu, Pengembangan Pendapatan Asli Desa (PADes), Kerja sama pihak ketiga dan program-program lainnya.

Hal ini mendorong pemdes mengukuhkan posisinya sebagai satu-satunya lembaga yang memiliki wewenang penuh dalam menentukan kebijakan desa. Sebagai catatan Kepala Desa/ Petinggi merupaka  pemimpin tertinggi pemerintahan desa.

Dominasi Petinggi (pemdes) semakin tidak terkendali manakala lembaga supra desa dan Pendamping Desa hanya terfokus pada penguatan satu aspek administrasi pemdes, sehingga dalam menjalankan kewenangan dan penentuan kebijakannya sebatas keterpenuhan syarat dan prosesur. Pemdes seakan melupakan kedudukannya sebagai Self Governng Community, yakni kedudukan yang seharusnya memiliki kenampuan dalam identifikasi kebutuhan warga, penataan interaksi warga melalui perdes, serta pengembangan demokrasi desa.

Demokrasi merupakan amanat Undang-undang Desa paling subtantif yaitu sebagai pondasi penyelenggaraan pemerintahan desa yang meliputi kepemimpinan terkontrol, patisipasi warga masyarakat, musyawarah desa (musdes) sebagai sarana deliberasi warga.

Untuk tercapainya demokrasi desa sebagaimana dituangkan dalam UU Desa, selain pemdes ada tiga elemen demokrasi desa (Badan Permusyawaratan Desa, Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Musyawarah Desa), tentunya perlu penguatan seluruh elemen tersebut agar nilai subtabtif dari UU Desa dapat tercapai.

Kemudian bagaimana kondisi elemen demokrasi desa yang menjadi penyeimbang atas dominasi pemdes? berikut sedikit gambaran ketiga lembaga tersebut.

Badan Permusyawatan Desa (BPD), memiliki fungsi pemerintahan meliputi kontrol, representasi aspirasi, keterwakilan wilayah dan legislasi. BPD yang seyogianya mampu sebagai checks and balances, tetapi di lapangan lembaga tersebut memahami "mitra pemdes" dengan selalu mengikuti dan menyetujui pemdes. 

Sebagai fungsi kontrol, kenyataannya BPD hanya mengawasi pelaksanaan kegiatan. Minimnya fungsi representasi, sehingga BPD cenderung pasif pada aspirasi warga. Legislasi BPD sekedar menyetujui, sementara perdes perencanaan dan penganggaran diserahkan sepenuhnya pada pemdes. Relasi antara BPD dan pemdes lebih didasarkan pada "ewuh pakewuh". Adanya dominasi Ketua BPD sehingga anggota kurang optimal peran dan fungsinya.

Lembaga Kemasyarakatan Desa (LKD), lembaga yang diisi oleh berbagai komponen masyarakat (RT, RW, LPMD, PKK, Karang Taruna dll.) berfungsi sebagai wadah partisipasi pembangunan, pemberdayaan masyarakat, peningkatan pelayanan dan pembangunan. 

Fungsional LKD sebagai elemen demokrasi desa sangatlah urgen, karena lembaga ini terkait langsung dengan grassroot masyarakat desa. Fungsi tersebut menjadi kurang optimal ketika orientasi LKD hanya pada penyelesaian kegiatan bukan pada pemberdayaan, peningkatan kesadaran pada penggalian kepentingan warga. LKD sibuk dengan urusan rumah tangga pemdes, sehingga lemah pada pemberdayaan program. Serta kecenderungan dominasi fungsi LKD pada pelayanan (rutinitas).

Musyawarah Desa (musdes), sebagai lembaga yang menjadi sarana deliberatif warga masyarakat desa untuk membuat keputusan strategis desa, di mana sedikitnya diselenggarakan satu sekali dalam setahun. Akan tetapi kenyataannya, musdes didominas oleh elit desa (eksklusif), kalaupun menghadirkan unsur masyarakat sebatas tujuan formalitas. 

Musdes biasanya untuk keperluan perencanaan pembangunan atau menampung usulan, tanpa adanya penyertaan partisipasi warga masyarakat dalam proses selanjutnya. kondisi ini diperparah dengan keputusan strategis yang diambil dalam forum musdes dapat dianulir (dibatalkan) oleh lembaga supra desa karena alasan regulasi.

Maka patut ditunggu political will para pemangku kebijkan baik di level desa maupun supra desa serta orientasi para Pendamping Desa dalam mewujudkan tujuan subtantif UU desa, yakni terselenggaranya pemerintahan desa yang demokratis, pemdes tidak hanya berkedudukan local self goverment sebagai "raja" penguasa kebijakan akan tetapi juga mampu menumbuhkan semangat demokrasi dalam posisinya sebagai self governing community. Semoga! (Nur Alam)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar