Dalam semangkok
soto kerbau Kudus ada pesan dan semangat toleransi yang dititipkan Sunan Kudus
kepada seluruh umat manusia. Suatu kali, kala Sunan Kudus dahaga, ada
seorang pendeta Hindu yang menolongnya dengan air susu sapi, hewan yang sangat
disucikan pemeluk Hindu karena member kesejahteraan rakyat dan menghidupinya.
Sebagai ungkapan
terima kasih, Sunan Kudus meminta umat Islam agar tidak menyembelih sapi. Bukan
karena haram dimakan namun untuk menghormati. Sebagai gantinya, hingga kini
masyarakat Kudus lebih memilih sajian soto dengan daging kerbau daripada sapi.
Itulah yang
terekam dalam diskusi pra-Halaqah Kubro alumni Madrasah TBS bertema “Indonesia
Membincang Santri Menara” di Estu Kafe, perempatan Panjang Kudus, Jumat (23/06/17)
malam.
Hadir dalam
kesempatan itu peneliti Filsafat dan Budaya STAIN Kudus, Nur Said dan Ahmad
Tajuddin Arafat, pakar Ilmu Hadits UIN Walisongo Semarang. Keduanya adalah
alumni TBS Kudus yang berkarir di dunia akademis.
Acara yang
dihadiri puluhan santri TBS tersebut sengaja digelar oleh Pengurus Pusat
Ikatan Siswa Abiturien Madrasah TBS Kudus (Iksab) sebagai langkah awal
titip pesan damai melalui sejarah toleransi Sunan Kudus.
"Umat Islam
Indonesia itu mayoritas, tapi angka radikalisme malah cenderung mayoritas juga.
Apa mereka tidak melek sejarah Sunan Kudus?" tutur Said, yang juga
ketua PP Iksab itu.
Menurut Said,
sikap radikal itu akibat tidak paham sejarah. Tidak ada pertimbangan politik
dan sosial ketika memilih sudut pandang agama. Di beberapa kota, lanjutnya,
takbir Idul Fitri saja kini sudah mengarah kepada unjuk kekuatan mayoritas,
"Unsur
dakwahnya tergerus karena sikap adigung mayoritas masih jadi pandangan
bersosial," ungkap Said.
"Sikap mudah gumunan
(terkagum-kagum), tanpa pertimbangan pilihan syariat (mizanus syar'i)
sangat bertentangan dengan orientasi pembangunan karakter Sunan Kudus yang
selalu menekankan bagus akhlak dan rajin ngaji," terangnya.
Sikap takfiri,
mudah menuduh orang lain sesat karena mudah terkejut, jika tidak didasari ngaji
dan menyempatkan ngaji, dominasi otak akan penuh dengan kebencian
dengan sesama. "Aneh, ada orang Indonesia yang tidak mau bertetangga
dengan non-Muslim hanya karena beda agama, bukan karena yang lain," imbuh
Said.
Tajudin Arafat
menambahkan Said soal phobia hadits dhaif di kalangan komunitas Islam
radikal. Kebencian terhadap hadits dhaif ternyata berakibat pada kemudahan
menyimpulkan amalan ubudiyah orang lain bid'ah dan sesat.
Padahal, menurut
Tajuddin, mata rantai para perawi hadits yang disebut lemah itu tercatat di kutubus
tis'ah (sembilan kitab popular kumpulan hadits).
"Mereka
begitu karena membenci para sufi yang meriwatkan hadits, tidak meneliti the
living sunnah di baliknya. Bahkan ada yang lucu, kini bertebaran istilah
ustadz sunnah, yang lain apa ustadz bid'ah," tuturnya disambut tawa
hadirin.
Acara ngopi
bersama (ngober) lengkap dengan suguhan makan bareng soto kerbau yang
rencananya akan digelar pada Rabu malam, 6 Juli 2017 dalam rangkaian Halaqah
Kubro, adalah bagian dari unjuk aksi para santri alumni Madrasah TBS titip
pesan damai kepada Indonesia.
Kata Ketua panitia
Halaqah Kubro, Baihaqi, alumni TBS 2015, acara itu akan dihadiri 2500-an
peserta dari seluruh alumni di Nusantara.
"Ngober
itu dari kata kober, yang dalam bahasa Jawa artinya menyempatkan diri.
Tujuannya agar tidak mudah gumunan, sesuai dawuh masyayikh TBS,
KH Tiraichan Adjhuri "ojo gumuman, kabeh kudu ditimbang nganggi mizanus
syar'i," jelasnya. (ab)