Manusia Gerobak - Soeara Moeria

Breaking

Kamis, 20 April 2017

Manusia Gerobak



Ilustrasi : Google
Cerpen Ferry Fansuri

Jakarta sore itu nampak suram berguyur hujan deras, jejak langkahku turun dari bus kota yang membawaku dari Tegal. Pulogadung tampak riuh di dalamnya tumpah ruah berbagai manusia dengan tujuan bertaruh hidup di Ibukota.

Begitu juga diriku tergiur, semua orang kampungku merantau dan berhasil meraih pundi-pundi uang yang mereka keruk bumi Batavia ini.
       
Saat  itu menjelang magrib dan azan itu berkumandang, kusandang tas ransel di pundak berlari kecil-kecil menghindari rintik-rintik hujan.

Kucari tempat berteduh sejenak melepas penat sehari terbujur kaku dalam bangku reyot bus tadi. Jam tanganku menunjukkan pukul enam lebih seperempat, kurekatkan resleting jaket parasitku untuk mengusir dingin. Seharusnya lek Giman datang satu jam yang lalu tapi  tak satu pun wajahnya nongol terminal para urban ini.
         
Info lek Giman ada lowongan kerja buruh kasar pabrik konveksi di depan warteg miliknya, sementara awal aku bisa bantu-bantu di warungnya dulu.

Tapi saudara ibuku tak kunjung datang, perut terasa keroncongan dari tadi cacing-cacing dalam perutku demo minta jatuh. Di dompet hanya ada selembar uang kertas sisa kembalian bus tadi sebagai pegangan darurat.
       
Percikan hujan berkah dari langit tak mau berhenti sedikit, terus membasahi aspal dan kupandangi seliweran manusia urban mengais rezeki dengan berbagai cara.

Detik berganti menit, menit terus bergulir dan aku masih berteduh di sini. Kurogoh Nokia pisang-ku di saku celana jeans, kupencet tuts untuk melakukan panggilan tapi sial operator bersuara merdu mengatakan pulsa tidak mencukupi.

Coba aku cek *123# ternyata 100 rupiah ditambah low bat, ini pun tak cukup untuk sms lek Giman. Nasibku terkatung-katung di kota ini.
       
Penantian tak pasti, kuputuskan untuk beranjak dari tempat berteduh menuju masjid sekitar terminal untuk berjamaah. Tak jauh sekitar itu aku melangkah untuk wudu, kulenting ujung celana jeans dan membasuh muka. Terasa segar menghapuskan penat dan galau ini, shaf depan telah penuh saat memasukkan masjid. Barisan kedua aku isi berbarengan jamaah lainnya, tas serta jaket aku letakkan di samping belakang berbarengan barang bawaan jamaah lainnya.
       
Tapi ada gejolak gelisah di dadaku, tak tahu apa itu sewaktu sujud dan ruku. Aku merasa tak tenang untuk menjalankan ibadah magrib ini.

Seperti ada banyak mata mengawasi dan memandang diriku, mata-mata itu menghakimi bahwa kau orang asing di sini dan selalu cari pekara sendiri.

Aduh kenapa otak ini bergelut imaji-imaji bodoh itu atau gara-gara  perut belum diisi sesuap nasi. Kegalauan itu terus merayapi sampai diakhir salam. Ada apa gerangan ini? Apakah pertanda buruk?
       
Itu cuma prasangka-prasangka negatif dihasilkan korteks otakku, ditambah ketidakpastian melandaku juga. Aku coba memenangkan diri dengan berdoa.

Selesai memanjatkan keinginan dunia dan akhiratku, langsung aku beranjak dari tempatku. Tapi betapa terkejutnya aku, tas dan jaket yang kuletakkan di belakang raib tanpa bekas. Kaget bukan kepalang, tas berisikan baju, ijazah dan hp jadulku hilang.

Kucoba mencari ke sana ke mari untuk memastikan apakah aku yang salah meletakkan, keluar masuk tapi tas butut itu tak kutemukan. Bertanya orang sekitar itu juga tidak menemukan jawaban yang memuaskan, akhirnya aku tertunduk lemas dan duduk di pojok masjid itu.
       
Tas itu pasti dimaling orang tapi kebangetan tempat ibadah jadi ajang kriminal, ah apes aku hari ini. Sudah perut lapar tak terkira dan barang satu-satunya juga lenyap, satu hal yang kusesali bukan tas itu tapi hp di dalamnya buat komunikasi.

Bagaimana aku menghubungi lek Giman, semua nomer ada di hp. Sialnya juga sepatu yang aku pakai juga digondol maling sial itu klop penderitaan saat ini.
       
Aku hanya menghela napas tapi semua kesialan ini ada sedikit keberuntungan, marbot masjid melihat aku merasa kasihan. Ia memberikan sandal jepit untuk kupakai sebagai pengganti sepatu yang hilang tersebut.
       
Malam sudah beranjak menuju peranduan, rasa lapar terus menggerototi. Dompet coba aku buka, satu lembar uang lima puluhan dan hanya itu. Inisatif untuk memenuhi reaksi alami, kuputuskan untuk mencari warung terdekat. Di luar belum reda juga, bulir-bulir hujan masih terus berjatuhan  
       
Kumasuki gang itu, tampak gelap hanya temaram lampu pijar 5 watt di ujung. Kuberharap ada warung makan di ujung penghabisan lorong ini, perut terus melilit. Kutiti dikit demi dikit kaki menerpa genangan air akibat hujan tak henti-henti tadi.
       
“Stop!”
“Kau siapa?”
       
“Kenapa malam-malam masih berkeliaran di sini?”
       
“Orang mana kau?”
       
Suara itu tiba-tiba menggelegar di kupingku, muncul dua orang pria perawakan sedang. Salah satu berambut panjang dan berjaket jeans levis, temannya wajahnya tetutup topi terlihat menunduk.
       
“Numpang lewat bang,” sahut sekenaku
       
Pria berambut panjang itu melihat dari ujung kaki sampai rambut, meneliti satu persatu seperi tidak percaya.
       
Di sini ada aturannya bung, kami sebagai pemuda karang taruna di sini menjaga keamanan. Tentu curiga jika ada orang asing yang mondar-mandir sembarangan, banyak kasus pencurian dan maling akhir-akhir ini. Pria ini berkacak pinggang.
       
“Maaf bung, mana tanda pengenal anda?”
       
Aku tak menjawab, langsung kurogoh dompetku. Buka dan mengambil ktp-ku dan kuserahkan ke pria itu.
       
Saat menerima ktp itu, pria ini tak lansung menerima.
       
“Hei bung buka dompetnya, jangan kau sembunyikan narkoba dalamnya,” bentak dia.

“Maaf bang, tidak ada narkoba di sini,” kubuka lebar-lebar dompetku.
       
Secepat kilat tangan pria itu mengambil satu lembaran satu-satunya, berpindah tangan.
       
“Apa-apaan ini, kembalikan itu,” pintaku.
       
“Pergi kau dari sini atau aku tebas,” ancam pria itu sambil sesekali tangan kanan memasukan dalam jaket levis itu. Terlihat logam menyilaukan tersembul di sana.
       
Aku termakan gertakan karena sekitarku tak ada orang sama sekali. Saat itu dan aku jauh dari rumah. Hal yang bisa aku lakukan melihat dua orang preman bermodus modern itu berlalu dari hadapanku.
       
Ah… baguslah komplit sudah penderitaanku, telah jatuh ketimpa tangga pula. Aku tak tahu berbuat apa sekarang. Badan terasa penat dan capek, langkah gontai terseret kucoba gerakkan.
       
Depan itu ada ruko yang telah tertutup rolling door, karena lelah sangat mendera. Kehempaskan tubuhku di sana, rehat sejenak. Malam telah larut dan tak sadar aku tergolek nyenyak berbantal lantai dingin berselimut udara terhembus.

* * *
       
Kelopak mataku terasa panas, sinar matahari menusuk retina. Kubuka mata, agak menyipit untuk memantau sekitar.
       
“Bangun!”
       
Sepatu lars panjang mengenai tulang keringku, aduh sakit nian. Kaget aku setengah mati, tubuhku masih melingkar menahan dinginnya pagi. Pemandangan menakjubkan, aku dikelilingi petugas satpol PP.
       
“Banyak gelandangan baru akhir-akhir ini”
       
Hah gelandangan, aku dituduh tunawisma tanpa rumah.
       
Bukan pak, saya bukan. Hanya numpang tidur dan tersesat, kelitku.
       
“Banyak alasan gelandangan ini.”
       
“Gelandangan tetap gelandangan.”
       
“Berdiri!”
       
Mulutku tak bisa berkata-kata lagi, aku beringsut dari tempatku, tapi kulihat gerombolan penyapu PKL itu sibuk-sibuk mengggusur tanpa memperhatikan aku lagi.

Ada kesempatan, aku jejakan kaki untuk lari menjauh dari sana. Aku terus berlari dan yang kudengar teriakan makian cacian dari kejauhan lambat laun menghilang dari telingaku.
       
Napasku tersengal-sengal, paru-paru tak terpenuhi oksigen yang cukup. Pantat ini juga letih, kuletakkan di pembatas jalan. Kuatur denyut nadi setelah diajak lari pagi-pagi tadi, benar-benar sial nasibku kali ini.
       
Di saat aku mulai mereda tapi aku sadari di sebelahku ada gerobak dengan seorang pria setengah baya sedang terlelap dalam gerobak. Aneh tadi tak terlihat atau aku yang terlewat, kulihat pria tua itu terbangun dari tidur dan melihat aku.
       
“Anak muda kenapa kau?”
       
“Napasmu kembang kempis layak puasa senin kamis,” tanya keheranan.
       
Tidak apa-apa, hanya hari buruk saja,” jawabku sekenanya.
       
Pria itu beranjak dari gerobak dan duduk di sebelahku, ia memberikan botol mineral. Tak kusia-siakan, kuteguk habis memenuhi perut yang sudah tidak lapar.
       
Anak muda, kau bukan orang sekitar ini kulihat.”
       
Dari kampung?”
       
Aku hanya menggangguk tanpa menjawab, pria siapa dan dari mana layak setan berkeliaran tanpa undangan.
       
Kuterangkan semua yang aku derita flashblack ke belakang, pria manggut-manggut.
       
“Nasibmu masih beruntung anak muda, kamu masih hidup kan”
       

Ibukota memang magnet bagi pemuda tanggung dari kampung.”
       
Begitu juga aku bersemangat 20 tahun silam, datang kesini dengan bekal semangat.”
       
Kerja banting tulang dan melakukan apa saja untuk sesuap nasi. Bertahan hidup kerasnya jalanan.
       
Pria itu ngoceh tak karuan tentang masa lalu dia, terus bicara tak karuan sampai akhirnya terdampar di gerobaknya itu. Kutahu dari ceritanya ia dikenal dengan Mang Sarbot, telah lama berkeliaran di sini.

Hidup nomaden dengan gerobaknya, tidur-makan bahkan berak di sana. Ditasbihkan menjadi gelandangan sejati, kenyang digusur sana-sini tanpa ampun. Kerja serabut, kuli sampai buruh panggul pelabuhan. Terakhir ia mengemis berharap  belas kasihan orang sekitarnya.
       
Paham kau anak muda, hidup itu keras. Kamu jangan menyerah dan jalani yang sudah ada tanpa penyesalan.”
       
Pria tua itu menepuk-nepuk pundak dan berdiri beranjak dari sana, menarik gerobak reyot membelah kemacetan Jakarta. Mang Sarbot perlahan menghilang perlahan di hadapanku.

Ucapan orang tua itu benar juga, jika hanya masalah seperti ini aku lemah sama saja bunuh diri. Jika nasibku sama seperti orang tua, tak eloklah. Menarik gerobak seumur hidupnya.
       
Pada suatu masa yang tenangku, sebuah saluran televisi nasional menayangkan operasi sweeping penyakit masyarakat. Berita mengejutkan ada seorang gelandangan tertangkap dan menyimpang uang puluhan juta di dalam baju celananya.

Lebih mengherankan, ia juga menyimpan lembaran-lembaran rupiah terbungkus rapi dalam plastik dalam gerobaknya. Ada sesuatu yang tak asing bagiku, mata ini kupicing untuk memperjelaskan. Orang itu Mang Sarbot, aku yakin apa yang kulihat dan tak salah lagi.
                 
Surabaya, April 2017

_________
Ferry Fansuri kelahiran Surabaya adalah travel writer, fotografer dan entreprenur lulusan Fakultas Sastra jurusan Ilmu Sejarah Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya. Pernah bergabung dalam teater Gapus-Unair dan ikut dalam pendirian majalah kampus Situs dan cerpen pertamanya "Roman Picisan" (2000) termuat. Cerpen "pria dengan rasa jeruk" masuk antologi cerpen senja perahu litera (2017). Mantan redaktur tabloid Ototrend (2001-2013) Jawa Pos Group. Sekarang menulis freelance dan tulisannya tersebar di berbagai media Nasional. Dalam waktu dekat menyiapkan buku antologi cerpen dan puisi tunggal.

1 komentar:

  1. Ibukota ternyata lebih kejam daripada ibu tiri. Tak kenal maka tak sayang, hati-hati bila salat di masjid. Jadi ingat suatu hari ada orang salat subuh di masjid agung Jepara, ia meletakkan tas besar di luar pintu, sementara ia mengerjakan salat Subuh. Betapa terkejutnya, saat usai salat Subuh dan ia melihat tasnya raib. Tas besar berisi pentungan dan seragam satpam!
    Weh, cerpen ini (sepertinya) terisnpirasi dari kisah Manusia Gerobok yang tempo hari berseliweran di televisi.

    BalasHapus