Kesalehan Lingkungan Sunan Muria - Soeara Moeria

Breaking

Selasa, 04 Oktober 2016

Kesalehan Lingkungan Sunan Muria


Oleh : Istachiyyah 

Jauh sejak zaman Walisongo, Sunan Muria telah mengajarkan pengikutnya untuk bersama meruwat bumi. Hampir tak pernah disebut dan memang jarang yang tahu ihwal kontribusi dakwah Walisongo terhadap pelestarian bumi. Walisongo selama ini lebih banyak dipahami sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa yang hanya menyampaikan risalah ketauhidan semata.

Jauh di salah satu puncak gunung Muria yang terpencil, Raden Umar Said (nama asli Sunan Muria) memilih menetap. Di sana, ia tak hanya menghambakan diri dengan mengajak para penduduk gunung beriman. Lebih dari itu, juga mengajarkan konsep teologi yang bersifat holistik-integratif. Mafhum dengan kondisi geografis dan keberlanjutan bumi tempat mereka tinggal, Sunan Muria mengarahkan energi keimanan pada konsentrasi hajat pelestarian alam.

Tauhid yang diajarkan Sunan Muria menyentuh tiga ranah, mulai dari dimensi ketuhanan yang eskatologis-transendental, dimensi sosial-ijtima’iyyah (antroposentrisme), sampai dimensi lingkungan (ekosentrisme).

Ketiganya meniscayakan diferensiasi terhadap cara dakwah Sunan yang lain. Baik ranah ketuhanan, sosial hingga lingkungan, dapat menyatu dalam satu konsep keimanan. Segenap khazanah lokal berupa kearifan lingkungan yang bersumber dari agama pun segera diejawantahkan.

Hal ini terlacak dari jejak-jejak peninggalan berupa beberapa situs yang dikeramatkan. Antara lain buah Pari Joto, kayu Pakis Haji, Air Gentong yang terdapat di lokasi pemakaman, Ngebul Bulusan, pohon Kayu Adem Ati, serta hutan Jati Keramat. Segenap mitologi situs keramat alami tersebut, hingga kini dipercaya masyarakat mengandung tuah buah karamah Sunan Muria.

Memaknai Mitos
Pari Joto yakni sejenis buah yang menjadi oleh-oleh khas Muria terutama bagi perempuan hamil. Masyarakat percaya jika memakannya akan menyebabkan tambahnya kebaikan pada si jabang bayi.

Buah ini menyimpan kiasan makna atas apa yang disebutkan oleh Rasulullah berupa jintan hitam (HR. Al Bukhari) dan madu lebah (QS. An-Nahl: 68-69).

Bagi Sunan Muria, Pari Joto memiliki kemiripan dengan keduanya dalam hal kandungan gizi untuk menjaga kesehatan. Kendati demikian, pemaknaan ini tak lantas cenderung parsial dan antroposentris. Seruan hadits tentang manfaat jintan hitam, informasi Al-Qur’an tentang manfaat madu lebah, maupun mitos Pari Joto, tak sekedar memberi perintah konsumtif (intifa’), melainkan juga memuat seruan untuk melestarikannya.

Artinya, menjaga keberlangsungan eksistensi tumbuhan dan hewan bertuah ini sama halnya menjaga manfaat kebaikannya, sehingga dapat diwarisi umat di hari mendatang.

Mitos Pakis Haji dari Muria yang dipercaya dapat mengusir tikus pemakan padi memakna spiritual-mistik yang bernuansa teologis-kosmologik, sebagai bukti karomah yang diberikan Allah kepada Sunan Muria.

Strategi mengusir tikus dengan media alami berupa kayu ini sama sekali tak menghendaki pemusnahan hama. Sunan Muria paham betul, bahwa bagaimanapun tikus tetap memiliki posisi penting dalam putar rantai makanan, fitrah interdependensi alam.

Tak hanya mempertimbangkan efektivitas menjaga tanaman belaka, namun selayak mitos Pari Joto, konsepsi  pemanfaatan Pakis Haji ini pun mempertimbangkan aspek kelestarian alam.

Kesalehan lingkungan dalam ajaran Sunan Muria berikutnya dapat ditemukan pada situs Air Gentong Keramat di lokasi makam yang juga diyakini menyimpan tuah. Di balik keramatnya, Air Gentong ini mendedahkan simbol spiritual.

Keberkahannya menyembuhkan dan mencegah penyakit, membersihkan dari kotoran jiwa dan memberikan manfaat kecerdasan, merupakan inspirasi spiritual Islam atas benda suci ini. Ini sekaligus merupakan multifungsi air tersebut sebagai simbol spiritual, medis dan ilmiah.

Meminjam hasil penelitian Masaru Emoto Jepang, bahwa air dapat mentransformasi segala pesan yang masuk ke dalam dirinya, sehingga dapat membentuk kualitas fisik dan manfaatnya.

Demikian halnya kasus Air Gentong Sunan Muria, ketika ia mendapat stimulus yang baik berupa doa, harapan dan itikad baik dari pemercaya mitos keramatnya, maka air itu akan mentransformasi diri menjadi kebaikan-kebaikan seperti diharapkan.

Jejak Sunan Muria yang keempat yakni Bulusan dan Kayu Adem Ati. Bulus (penyu) dan pohon keramat yang kembali nampak pada 17 Agustus 1945 setelah ratusan tahun sebelumnya menghilang ini menyimpulkan kesetaraan relasi antara manusia dan alam.

Segenap ritual yang sampai hari ini masih dilestarikan mengajarkan masyarakat akan pentingnya menghormati keduanya sebagai sesama makhluk. Mitos yang berkembang, Bulus tersebut adalah jelmaan manusia pada masa Sunan Muria. Sehingga masyarakat segan melukai atau mengganggu kehidupan makhluk yang dipandang sebagai nenek moyang mereka itu.

Hal ini menjadi sarana pembelajaran agar memperlakukan makhluk lain dengan baik, sama halnya berperilaku terhadap sesama manusia. Segenap tuntunan ini pun terdapat dalam berbagai riwayat hadits Rasulullah dan firman Allah dalam Al-Qur’an.

Terakhir, pohon Jati Keramat Masin yang konon mengisahkan cinta berdarah putri Sunan Muria bersama seorang muridnya. Hutan jati ini berusia ratusan tahun terhitung sejak zaman Sunan Muria dan tetap dilestarikan.

Tak pernah sekali pun orang berani menebangnya, jika tak ingin kena sial. Sebab diyakini bahwa, pohon-pohon itu punya ruh, dan merupakan hal yang tak patut orang merusak dan melukainya.

Akhirnya, hingga kini mereka dibiarkan terus tumbuh dan dijaga kelangsungannya. Ini sesungguhnya mengandung teladan akan pentingnya konservasi hutan, agar bumi yang kian renta ini tetap terjaga kesehatannya.

Wali Lingkungan
Menafsirkan segenap situs tersebut, berarti membaca pikiran Sunan Muria yang sarat dengan kesalehan lingkungan. Setidaknya terdapat lima bangunan religius yakni konsep Tauhid Lingkungan, Fikih Lingkungan, Tasawuf Lingkungan, Filanekoreligi, dan Akidah Muttahidah, yang semuanya merujuk pada hajat pelestarian alam semesta.

Tauhid Lingkungan dalam segenap kajian mitos di atas bermakna akan hakikat alam ini adalah bentuk teofani Tuhan.  Alam menjelaskan segala sifat ketuhanan, sejak ke-Esa-an, Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Pemberi Rizki, dan yang lain.

Karenanya, alam ini hal yang sakral dan wajib dijaga. Fikih Lingkungan menerjemahkan prinsip Maqashid Al Syari’ah (tujuan ditetapkannya syariat) yang menghendaki terwujudnya kemanusiaan berbasis ekoreligi.

Sementara, Tasawuf Lingkungan merupakan bangunan etika terhadap lingkungan yang berkembang dari paradigma sufisme; dari religius-teosentris dan antroposentris menjadi religius-ekosentris.

Istilah filanekoreligi yang tersematkan dalam ajaran Sunan Muria bermakna membangun keadilan dan kesejahteraan lingkungan. Ini merupa kedermawanan lingkungan yang pada akhirnya memunculkan konsekuensi logis; kontribusi positif terhadap eksistensi nilai-nilai kemanusiaan. Puncak ajaran Sunan Muria adalah Akidah Muttahidah. Yakni memaknai ibadah tak sebatas dimensi mahdhah, melainkan sampai menyentuh persoalan lingkungan.

Maksudnya, akidah Islam diejawantahkan ke dalam tiga ranah hubungan sekaligus, yakni antara manusia, Tuhan, dan alam. Terbentuk semacam segi tiga yang menunjukkan relasi antar ketiganya.

Dalam hal ini, Tuhan menjadi titik paling atas sebagai pusat hubungan. Sementara itu, alam merupakan mitra manusia dalam melaksanakan ibadah, sekaligus alam sebagai wujud teofani Tuhan yang dengannya memancar segenap sifat ketuhanan.

Demikian, tugas manusia sebagai seorang khalifah di muka bumi (khalifah fil Ardl), yang di antaranya adalah mengelola alam, maka termasuk dimaknai juga sebagai ibadah. Perlu dipahami, khalifah di sini berarti pemimpin, dan bukan penguasa. Artinya, tugas manusia adalah mengelola alam dengan arif, bukan mengeksploitasinya secara serampangan. Begitu! (nu online/ed)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar