Oleh : Istachiyyah
Jauh sejak zaman Walisongo, Sunan Muria telah mengajarkan pengikutnya untuk bersama meruwat bumi. Hampir tak pernah disebut dan memang jarang yang tahu ihwal kontribusi dakwah Walisongo terhadap pelestarian bumi. Walisongo selama ini lebih banyak dipahami sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa yang hanya menyampaikan risalah ketauhidan semata.
Jauh
di salah satu puncak gunung Muria yang terpencil, Raden Umar Said (nama asli
Sunan Muria) memilih menetap. Di sana, ia tak hanya menghambakan diri dengan
mengajak para penduduk gunung beriman. Lebih dari itu, juga mengajarkan konsep
teologi yang bersifat holistik-integratif. Mafhum
dengan kondisi geografis dan keberlanjutan bumi tempat mereka tinggal, Sunan
Muria mengarahkan energi keimanan pada konsentrasi hajat pelestarian alam.
Tauhid
yang diajarkan Sunan Muria menyentuh tiga ranah, mulai dari dimensi ketuhanan
yang eskatologis-transendental, dimensi sosial-ijtima’iyyah (antroposentrisme), sampai dimensi lingkungan
(ekosentrisme).
Ketiganya
meniscayakan diferensiasi terhadap cara dakwah Sunan yang lain. Baik ranah
ketuhanan, sosial hingga lingkungan, dapat menyatu dalam satu konsep keimanan.
Segenap khazanah lokal berupa kearifan lingkungan yang bersumber dari agama pun
segera diejawantahkan.
Hal
ini terlacak dari jejak-jejak peninggalan berupa beberapa situs yang
dikeramatkan. Antara lain buah Pari Joto, kayu Pakis Haji, Air Gentong yang
terdapat di lokasi pemakaman, Ngebul Bulusan, pohon Kayu Adem Ati, serta hutan
Jati Keramat. Segenap mitologi situs keramat alami tersebut, hingga kini
dipercaya masyarakat mengandung tuah buah karamah Sunan Muria.
Memaknai Mitos
Pari
Joto yakni sejenis buah yang menjadi oleh-oleh khas Muria terutama bagi
perempuan hamil. Masyarakat percaya jika memakannya akan menyebabkan tambahnya
kebaikan pada si jabang bayi.
Buah
ini menyimpan kiasan makna atas apa yang disebutkan oleh Rasulullah berupa
jintan hitam (HR. Al Bukhari) dan madu lebah (QS. An-Nahl: 68-69).
Bagi
Sunan Muria, Pari Joto memiliki kemiripan dengan keduanya dalam hal kandungan
gizi untuk menjaga kesehatan. Kendati demikian, pemaknaan ini tak lantas cenderung
parsial dan antroposentris. Seruan hadits tentang manfaat jintan hitam,
informasi Al-Qur’an tentang manfaat madu lebah, maupun mitos Pari Joto, tak
sekedar memberi perintah konsumtif (intifa’), melainkan juga memuat seruan
untuk melestarikannya.
Artinya,
menjaga keberlangsungan eksistensi tumbuhan dan hewan bertuah ini sama halnya
menjaga manfaat kebaikannya, sehingga dapat diwarisi umat di hari mendatang.
Mitos
Pakis Haji dari Muria yang dipercaya dapat mengusir tikus pemakan padi memakna
spiritual-mistik yang bernuansa teologis-kosmologik, sebagai bukti karomah yang
diberikan Allah kepada Sunan Muria.
Strategi
mengusir tikus dengan media alami berupa kayu ini sama sekali tak menghendaki
pemusnahan hama. Sunan Muria paham betul, bahwa bagaimanapun tikus tetap
memiliki posisi penting dalam putar rantai makanan, fitrah interdependensi
alam.
Tak
hanya mempertimbangkan efektivitas menjaga tanaman belaka, namun selayak mitos
Pari Joto, konsepsi pemanfaatan Pakis
Haji ini pun mempertimbangkan aspek kelestarian alam.
Kesalehan
lingkungan dalam ajaran Sunan Muria berikutnya dapat ditemukan pada situs Air
Gentong Keramat di lokasi makam yang juga diyakini menyimpan tuah. Di balik
keramatnya, Air Gentong ini mendedahkan simbol spiritual.
Keberkahannya
menyembuhkan dan mencegah penyakit, membersihkan dari kotoran jiwa dan
memberikan manfaat kecerdasan, merupakan inspirasi spiritual Islam atas benda
suci ini. Ini sekaligus merupakan multifungsi air tersebut sebagai simbol
spiritual, medis dan ilmiah.
Meminjam
hasil penelitian Masaru Emoto Jepang, bahwa air dapat mentransformasi segala
pesan yang masuk ke dalam dirinya, sehingga dapat membentuk kualitas fisik dan
manfaatnya.
Demikian
halnya kasus Air Gentong Sunan Muria, ketika ia mendapat stimulus yang baik
berupa doa, harapan dan itikad baik dari pemercaya mitos keramatnya, maka air
itu akan mentransformasi diri menjadi kebaikan-kebaikan seperti diharapkan.
Jejak
Sunan Muria yang keempat yakni Bulusan dan Kayu Adem Ati. Bulus (penyu) dan
pohon keramat yang kembali nampak pada 17 Agustus 1945 setelah ratusan tahun
sebelumnya menghilang ini menyimpulkan kesetaraan relasi antara manusia dan
alam.
Segenap
ritual yang sampai hari ini masih dilestarikan mengajarkan masyarakat akan
pentingnya menghormati keduanya sebagai sesama makhluk. Mitos yang berkembang,
Bulus tersebut adalah jelmaan manusia pada masa Sunan Muria. Sehingga
masyarakat segan melukai atau mengganggu kehidupan makhluk yang dipandang
sebagai nenek moyang mereka itu.
Hal
ini menjadi sarana pembelajaran agar memperlakukan makhluk lain dengan baik,
sama halnya berperilaku terhadap sesama manusia. Segenap tuntunan ini pun
terdapat dalam berbagai riwayat hadits Rasulullah dan firman Allah dalam
Al-Qur’an.
Terakhir,
pohon Jati Keramat Masin yang konon mengisahkan cinta berdarah putri Sunan
Muria bersama seorang muridnya. Hutan jati ini berusia ratusan tahun terhitung
sejak zaman Sunan Muria dan tetap dilestarikan.
Tak
pernah sekali pun orang berani menebangnya, jika tak ingin kena sial. Sebab
diyakini bahwa, pohon-pohon itu punya ruh, dan merupakan hal yang tak patut
orang merusak dan melukainya.
Akhirnya,
hingga kini mereka dibiarkan terus tumbuh dan dijaga kelangsungannya. Ini
sesungguhnya mengandung teladan akan pentingnya konservasi hutan, agar bumi
yang kian renta ini tetap terjaga kesehatannya.
Wali Lingkungan
Menafsirkan
segenap situs tersebut, berarti membaca pikiran Sunan Muria yang sarat dengan
kesalehan lingkungan. Setidaknya terdapat lima bangunan religius yakni konsep
Tauhid Lingkungan, Fikih Lingkungan, Tasawuf Lingkungan, Filanekoreligi, dan
Akidah Muttahidah, yang semuanya merujuk pada hajat pelestarian alam semesta.
Tauhid
Lingkungan dalam segenap kajian mitos di atas bermakna akan hakikat alam ini
adalah bentuk teofani Tuhan. Alam
menjelaskan segala sifat ketuhanan, sejak ke-Esa-an, Maha Pengasih, Maha
Penyayang, Maha Pemberi Rizki, dan yang lain.
Karenanya,
alam ini hal yang sakral dan wajib dijaga. Fikih Lingkungan menerjemahkan
prinsip Maqashid Al Syari’ah (tujuan
ditetapkannya syariat) yang menghendaki terwujudnya kemanusiaan berbasis
ekoreligi.
Sementara,
Tasawuf Lingkungan merupakan bangunan etika terhadap lingkungan yang berkembang
dari paradigma sufisme; dari religius-teosentris dan antroposentris menjadi
religius-ekosentris.
Istilah
filanekoreligi yang tersematkan dalam ajaran Sunan Muria bermakna membangun
keadilan dan kesejahteraan lingkungan. Ini merupa kedermawanan lingkungan yang
pada akhirnya memunculkan konsekuensi logis; kontribusi positif terhadap
eksistensi nilai-nilai kemanusiaan. Puncak ajaran Sunan Muria adalah Akidah
Muttahidah. Yakni memaknai ibadah tak sebatas dimensi mahdhah, melainkan sampai
menyentuh persoalan lingkungan.
Maksudnya,
akidah Islam diejawantahkan ke dalam tiga ranah hubungan sekaligus, yakni
antara manusia, Tuhan, dan alam. Terbentuk semacam segi tiga yang menunjukkan
relasi antar ketiganya.
Dalam
hal ini, Tuhan menjadi titik paling atas sebagai pusat hubungan. Sementara itu,
alam merupakan mitra manusia dalam melaksanakan ibadah, sekaligus alam sebagai
wujud teofani Tuhan yang dengannya memancar segenap sifat ketuhanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar