RA Kartini dan Postcolonial - Soeara Moeria

Breaking

Senin, 22 Februari 2016

RA Kartini dan Postcolonial


Raden Ajeng Kartini adalah seorang agamis yang telah “diseret” menjadi seorang sekuler. Sebuah keprihatinan yang mendalam. Ia begitu rutin selapanan mengaji dengan mbah Sholeh Darat di demak yang kemudian matur pada gurunya untuk menafsirkan Al-Quran dengan bahasa jawa pegon untuk dapat diajarkan kepada murid-muridnya perempuan di pendopo Jepara.

Bukunya yang monumental adalah pencerahan dari Al-quran yang sangat luar biasa "Habis Gelap Terbitlah Terang", minadzulamati ilannur. Ia mengikuti sunnah Rasul dengan mengangkat kaum perempuan dari "ketidakberdayaannya" dari sisi pendidikan, skill vocation, keterkungkungan budaya di mana Rasulullah mengangkat derajat perempuan menjadi "maunusia yang sama derajatnya dengan laki-laki."

Hal ini menjadi inspirasi Raden Ajeng Kartini melihat dan memahami rakyat, budaya, politik dan realitas yang dihadapinya. Raden Ajeng Kartini terdhalimi oleh penjajah Belanda dan realitas budaya yang kemudian ia bangkit untuk mengangkat rakyatnya secara keseluruhan dari penjajahan, penindasan dan keterpurukan SDM, ekonomi, budaya, politik dan kesempatan melakukan yang terbaik bagi bangsa dan negara tercintanya.

Raden Ajeng kartini memahami agama menjadi sebuah pencerahan dan Inspirasi hidup dan berkehidupan. Pertanyaannya adalah akankah hari Kartini yang akan kita laksanakan besok bulan April hanya sekedar seremonial belaka tanpa mengikuti spirit "mulo-bukane" Raden Ajeng Kartini bergerak dan menggerakkan realitas masyarakat yang dihadapinya.

Raden Ajeng Kartini bukan sekedar seremoni sanggul, lampion, seminar dan seremoni lilin-lilin bahkan seperti peringatan dangdutan sak klengere sehari semalam.

Lebih dari itu Raden Ajeng Kartini menginginkan keberagamaan, pendidikan dan pengembangan ekonomi yang sudah dirintisnya menjadi inspirasi dan kenyataan dalam kebijakan pemerintah dan hadir ditengah-tengah masyarakatnya.

Jika Raden Ajeng Kartini sekarang hidup ia ingin keberagamaan rakyatnya menjadi inspirasi dan solusi hidup yang mengimpit sehingga rakyat ada harapan baru dengan sebuah gerakan bahwa "agama menjadi mencerahkan dan menyejahterahkan serta damai" bukan "kaku dan rigid bahkan menyeramkan dan radikal".

Jika Raden Ajeng Kartini sekarang hidup ia ingin pendidikan bagi rakyatnya gratis dan berkualitas dengan menciptakan kader-kader yang mempunyai SDM andal untuk mengelola bangsa dan negara dan khususnya Jepara.

Jika Raden Ajeng Kartini sekarang hidup beliau ingin ketahanan ekonomi rakyatnya kuat sehingga tidak melihat terjadi tragedi kelaparan, kesusahan dan akhirnya terjerumus pada ketidakpastian hidup.

Jika Raden Ajeng Kartini sekarang hidup akan "menagis" karena inspirasi dan pendobrakan yang beliau lakukan hanya "dihargai" dengan seremoni "sanggul", seremoni "lampion-lampion" dan "dangdutan sehari semalam suntuk" dan seremoni lain tanpa menyentuh substansi inspirasi Raden Ajeng Kartini yaitu kerja nyata di bidang keberagamaan, pendidikan, ekonomi, budaya, politik dan lain-lain.

Pendekatan postcolonial Raden Ajeng Kartini kitalah yang mesti menerjemahkan, mengejahwantahkan dan mengapresiasi bagaimana Jepara di bidang keberagamaan menjadi hidup dan mencerahkan, pendidikan untuk semua lapisan masyarakat adalah gratis dan berkualitas, kontruksi budaya bangsa menjadi kokoh dan politik bangsa adalah santun berakhlaqul karimah serta mengedepankan kehendak rakyat.

Raden Ajeng Kartini memulai perjuangan dari Jepara dan Jepara untuk bangsa dan dunia. Maka gerakan Jepara adalah Gerakan Nusantara untuk Dunia. Jepara bergerak, dunia bisa.

__Hisyam Zamroni, Wakil Ketua PCNU Jepara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar