Anak Pancingan - Soeara Moeria

Breaking

Kamis, 14 Januari 2016

Anak Pancingan



Foto : Google
Cerpen Kartika Catur Pelita    

Setiap orang memiliki rahasia, namun terkadang tak menyadarinya. Ketika  pulang sekolah,   melihat ada mobil tamu di parkir di depan rumah, ia memilih memasuki rumah lewat pintu belakang. Tanpa sengaja  pembicaraan tabu  itu tertuju.

“Aldi tumbuh menjadi anak cerdas ya, Mir,” itu suara Oma Helena!
      
“Iya, Mah. Aldi sehat dan cerdas. Ranking satu di kelas.”
      
“Tak sia-sia kamu mengangkatnya jadi  anak pancingan.”
      
“Ya, tapi aku dan Mas Irwan tetap menganggap Aldi anak sulung kami. Karena kami mengadopsinya sebelum   Ira dan  Iwan  lahir.”
       
“Hal itu yang ingin Oma  katakan. Walau Aldi bukan anak kandung kalian, jangan bedakan  dengan  Ira dan  Iwan!”
      
“Tentu saja,Ma. Kami sangat menyayangi Aldi. Walau kadang ia bandel.”
      
“Ya,  namanya juga anak ABG seumuran segitu sedang  jadi-jadinya. Sebagai orang tua  kita pintar-pintar …”
     
Aldi memasuki kamarnya, perasaan berkecamuk.  Anak  pancingan?
      
Aldi merasa kepalanya pusing, mengganti seragam sekolah, lalu berbaring diam-diam di ranjang. Entah berapa lama,  sampai ia  mendengar pintu kamar diketuk. Mama masuk.
     
“Aldi kamu sudah pulang sayang? Loh kamu sakit?  Tapi keningmu gak panas…”
    
“Aldi tak sakit Ma. Aldi cuma kecapekan. Tadi ada pelajaran olah raga di sekolah”.
    
“Ya,  sudah. Cepat ke luar. Ada Oma datang tuh,  Jauh-jauh dari Belanda bawain oleh-oleh untuk kamu.”
    
Aldi menemui Oma  di ruang tamu, menyalami dengan hormat. Oma mencium hangat. “Kamu sudah besar Aldi. Kamu semakin ganteng dan tinggi.”
* * *
      
Pertandingan basket yang menyedihkan. Pemain inti, Aldi  tampil tak secemerlang biasanya. Tim  basket SMA  “Bintang Terang” kalah. Untuk yang pertama kalinya  dalam sejarah. Suporter kecewa. Aldi memilih nggeblas meninggalkan lapangan. Tak digubrisnya teman-teman satu tim yang menatap heran
      
“Ada masalah apa sih, Di? Kamu putus cinta?” usik Hendri teman terdekat satu tim. Bahkan mereka duduk  satu bangku.
      
Nggak.”  Boro-boro patah hati,   jatuh cinta juga belum pernah.
      
“Beberapa hari terakhir ini melamun mulu. Please, sebagai sahabat, kamu bisa  berbagi.”
     
“Gak ada apa-apa, Hen. Tubuhku lelah, kurang fit aja.”
     
Aldi memilih diam. Hendri tak  lagi mengusik. Hari-hari berlalu, perasaan Aldi makin tak menentu.
      
Anak pancingan?  Apa artinya? Benarkah Aldi bukan anak kandung mama  dan Papa? Aldi tak ingin selamanya gelisah. Sore itu  Mama sedang santai. Adik-adik  sedang ke luar rumah,  kegiatan ekstrakulikuler. Papa masih lembur di kantor.

“Ma…boleh Aldi tanya sesuatu?”
     
“Tentang apa, Di?”  mama menurunkan majalah yang dibacanya.

“Tentang pelajaran sekolah?” perempuan 40an tahun menebar canda. Ia teringat sejak TK hingga SMP  sering membantu buah hati  mengerjakan PR.
   
“Ya,  pelajaran bahasa Indonesia, Ma.”
   
”Tumben Sayang, sejak jadi anak SMP kamu  sungkan untuk mama bantuin ngerjain PR.”
   
“Kali ini beda, Ma.”
   
“Oya, anak ganteng Mama kelihatan serius banget. Sini duduk dekat Mama. Ceritain sama Mama. Ada apa sih, Sayang?”
    
Aldi mendekat duduk di sisi Mama. “Ma…apa sih artinya anak pancingan?”
     
Suara itu pelan, namun bergetar. Mama terkejut.Tapi mencoba menutupi perasaan yang sebenarnya. “Ma kok malah  melamun?”
    
“Anak pancingan adalah anak yang diambil oleh sepasang suami istri karena mereka belum memiliki keturunan, Di.  Mereka berharap dengan mengangkat  anak pancingan itu mereka  akan segera memiliki anak. Biasanya hal ini terwujud. Karena  tak lama biasanya si istri hamil  dan memiliki  anak.”
     
“Ja-jadi anak pancingan bukan anak kandung kan, Ma?”  Aldi menatap mama.

Rasanya ingin menangis.  “Ma…benarkah Aldi anak pancingan? Benarkah Aldi bukan anak kandung mama?  Aldi  anak siapa, Ma?”     Pertanyaan-pertanyaan itu terlontar dari bibir Aldi.
     
Mama mencoba menjawab sebisanya. Jujur.  “Kamu memang anak pancingan, Di. Kamu bukan terlahir dari rahim mama. Tapi mama  dan papa sangat menyayangimu. Kamu  anak sulung  kami.”
     
Mama memeluk Aldi erat. Aldi menangis di bahu  Mama.

* * *
      
Berhari-hari Aldi menyembunyikan diri di kamar. Sungguh  kecewa. Ternyata orang yang selama  ini dipanggilnya Papa dan Mama bukan orang tua kandungnya.
     
Aldi  mogok makan, tak  mau berangkat  sekolah, memusuhi seisi penghuni rumah, membenci papa dan mama. Aldi mendiamkan adik-adiknya.
      
Ia ingin pergi  mencari orangtua kandungnya.  Tapi pergi ke mana?

Alamat mereka di mana?  Bagaimana caranya agar ia bisa  bertemu orang tua kandungnya?

* * *
      
Papa dan mama memang bukan orang tua kandungnya.  Mereka memberi Aldi penghidupan yang  layak.  Tak pantas  memusuhinya. Seharusnya  malah berterimakasih. Papa dan mama yang telah mengambil Aldi dari sebuah rumah panti asuhan.

Kemarin  diam-diam Aldi mendatangi panti asuhan itu  dan mencari jejak  masa  lalu dirinya. Ternyata di catatan buku panti tak ada nama  orangtua,  bahkan  kerabat atau orang yang menitipkan di sana.

Tak ada. Ibu Panti bertutur kelu  kalau  Aldi ditemukan di  teras panti, bayi merah yang baru beberapa jam terlahir,  ari-ari basah masih  melekat. Tanpa  baju hangat, apalagi botol susu.  Siapa orangtua yang tega berbuat  sangat kejam begitu?
                                                       
Aldi memandangi dirinya di cermin. Terpantul bayang sosok perjaka 15 tahun tengah  tersenyum, bersyukur. Aku memang anak pancingan, tapi aku bahagia memiliki keluarga yang menyayangiku dengan tulus  hati.
      
                                                      Kota Ukir, 14 Agustus 2015

___Kartika Catur Pelita, fiksi termuat di berbagai media cetak dan online. Novel Perjaka (Akoer, 2011), Balada Orang-orang Tercinta (Pustaka Puitika, 2015). Bergiat di Akademi Menulis Jepara (AMJ).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar