![]() |
Ilustrasi: Google |
Kudus, soearamoeria.com
Statemen anggota Komisi Nasional
(Komnas) Pengendalian Tembakau, Tulus Abadi, bahwa masuknya RUU Pertembakauan
dalam prolegnas tahun ini, ada sesuatu yang mencurigakan sebagaimana dilansir
salah satu media nasional, bisa menjadi pertanyaan balik, apa motif dari
statemen itu. (http://portalkbr.com/nasional/09-2015/_tulus_abadi___tembakau_tak_perlu_diundang_undangkan/75788.html)
Pasalnya, ia tidak merinci apa yang
dimaksud dengan kalimat ‘’ada sesuatu yang mencurigakan terkait masuknya RUU
Pertembakauan’’. Ia juga menuding RUU itu sebagai kedok melindungi petani
tembakau dan hanya menguntungkan sektor industri.
Peneliti Pusat Studi Kretek Indonesia
(Puskindo) Universitas Muria Kudus (UMK), Zamhuri, mengutarakan hal itu, Senin
(14/9/2015). “Statemen Tulus Abadi ini patut dicurigai, jangan-jangan itu
pesanan dari kelompok yang ingin menggulingkan industri kretek nasional,’’
tegasnya.
Zamhuri mengatakan, mestinya Tulus bisa
mengkaji kretek dari berbagai sisi, sehingga akan mendapatkan pemahaman yang
utuh terkait industri kretek yang merupakan warisan budaya bangsa ini.
“Kretek sudah ada sejak ratusan tahun
silam di bumi Nusantara dan telah terbukti memberi manfaat (maslahah) kepada
masyarakat, tetapi kemudian dipersoalkan gara-gara adanya desakan masyarakat
internasional,’’ ujarnya.
Terkait adanya desakan dunia
internasional itu, mestinya bukan melemahkan potensi dan kekuatan industri
kretek nasional yang harus dilakukan. Sebaliknya, elemen masyarakat di negeri
ini harus jeli melihat mengapa industri kretek dipersoalkan, bukan malah memberi
respons positif tanpa reserve terhadap agenda terselubung yang bisa mengancam
keberlangsungan industri kretek nasional.
“Pengaturan masalah tembakau, misalnya,
tidak cukup hanya dilihat dari isu kesehatan, karena masalahnya telah melebar
menjadi multiproblem. Masalah pertembakauan bukan sekadar ‘bisnis asap’ semata,
namun kekuatan ekonominya sudah jauh merasuk ke dalam ‘tulang sumsum’ sistem
ekonomi masyarakat dan menggerakkan pasar ekonomi dengan omzet ratusan triliun
rupiah,’’ paparnya.
Peneliti Masyarakat Pemangku
Kepentingan Kretek Indonesia (MPKKI) ini menambahkan, hingga kini, regulasi
yang menjadi landasan yuridis dalam pengaturan masalah pertembakauan, kurang
memadai dan lebih banyak merespons isu tembakau dari dimensi kesehatan. Itu pun
dari berbagai kajian, soal dampak kesehatan akibat mengkonsumsi asap kretek
masih bisa diperdebatkan.
Hal itu, menurutnya, antara lain bisa
dilihat dalam UU Nomor 36/2009 tentang Kesehatan yang menegaskan tembakau
sebagai zat adiktif, dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 102/2012 tentang
Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi
Kesehatan.
“Padahal, dalam negara hukum yang
demokratis, mensyaratkan empat perangkat kondisi sosial. Yakni persamaan dalam
setiap proses politik, tidak ada kelompok yang memonopoli, berlakunya
nilai-nilai yang disebut sebagai kebajikan publik, serta menerima perbedaan dan
konflik kepentingan sebagai realitas sosial yang tidak dapat dihindarkan.
Pemahaman ini juga mestinya dipahami oleh kelompok anti tembakau, termasuk
Tulus Abadi,’’ Zamhuri menandaskan. (qim)
No comments:
Post a Comment