Ada “Tuhan” di dalam Puisi - Soeara Moeria

Breaking

Rabu, 16 September 2015

Ada “Tuhan” di dalam Puisi


Judul Buku
99 Untuk Tuhanku
Penulis
Emha Ainun Nadjib
Tebal
vii + 112 hal
Terbit         
Cetakan  Pertama, Juni 2015
ISBN
978-602-291-065-7
Penerbit
Bentang Pustaka


(1)
Tuhanku
kuawali setiap langkahku
dengan asma-Mu
ampunilah kami
yang selalu merasa punya nama
yang tak kunjung tahu
bahwa segala sesuatu
akan hanya tinggal Satu
Tuhanku
adapun di antara beribu mimpiku
cuma satu yang sejati
ialah napas-Mu
aku menyertai
Tuhanku
jika haq bagi-Mu
perkenanku aku
tinggal di dalam diri-Mu
agar sesudah lahirku
yang ini
dan yang nanti
takkan mati

Nukilan di atas adalah salah satu puisi  Emha Ainun Nadjib yang tertera dalam  buku  99 untuk Tuhanku. Puisi  liris, sederhana, betapa sarat makna. Tentang pengakuan manusia pada keberadaan Tuhan, sebagai Pencipta. 

Tuhan Sang Khalik. Tuhan bukan manusia. Jadi jika  ada seorang bernama Tuhan, tentu  ia manusia semata. Sekedar nama saja. Mungkin orang tuanya kebangetan  memberi nama  anak seorang manusia dengan nama Tuhan. Jika memberi nama  anak saja sembarangan, bagaimana  dia memberi yang lainnya? Nama adalah doa, hendaknya orang tua, atau  siapa pun yang  memberi nama berpikir dulu. Alangkah beruntungnya kita  tinggal di Indonesia ketika negara tak membatasi warga untuk memberi nama pada anaknya.

Bandingkan dengan di negara Arab Saudi, yang  pemerintahnya melarang warga untuk tak sembarangan  memberi nama anaknya. Bahkan beberapa nama orang ‘dicekal.’ Jadi mengapa memberi nama anak, dengan nama  Tuhan, Saiton, seperti tak ada nama lainnya yang lebih pantas.

Di dalam menempuhi kehidupan, manusia sebagai makhluk Tuhan paling sempurna seiring menyebut Tuhan, beberapa alpa menyebut Tuhan, bahkan beberapa tak mengakui keberadaan Tuhan. Beberapa masih mempertentangkan keberadaan Tuhan. Beberapa masih bertanya di mana Tuhan. Beberapa mengatakan Tuhan ada di dirimu, lebih dekat dari nadimu. Beberapa menyatakan Tuhan Ada di mana-mana. Tuhan bahkan ada di dalam puisi.  Emha menuturkan dalam pusi yang apik (hal. 12).

(10)
Tuhanku
sejak bapak ibu mulai bercinta
sejak sebelum aku ada, tahukah Engkau kasihku
bahwa aku telah merindukan
wajah-Mu
ibu menggendongku dengan segenap tumpahan cinta
yang lebih mahal daripada mati hidupnya
dan bapak menyusun rencana
menyediakan cita-cita
alam di darahku
mengalirkan sabda
tubuhku dibungkus adat
kezaliman, momok dan bayangan surga
oleh guru dan tetangga
kini, Tuhanku
setelah besar aku nangis
diam-diam nangis
dengan cara tertawa, mabuk, gila, alpa
bahkan mendurhaka
Sebab tahu kelahiran hanya ci-luk-ba
sebab kekasih yang sebenarnya
menungguku di semesta jiwa

Puisi bukan sekedar  rangkaian kata, seleksi diksi,  padanan  rima, atau  kumpulan  kata yang terang menerawang, bahkan terkadang menggelap menggurita. Puisi Emha berutur tentang hakekat hubungan intim manusia  dengan Tuhan.

Pada puisi kita bisa belajar  segala aspek kehidupan. Sosial, politik, budaya, ekonomi, moral, pertahanan,  keamanan, pemerintahan, korupsi, keimanan, kebaikan, keburukan, moral,  tradisi, hak asasi. Segala. Sejak  manusia dilahirkan, menjalani titah kehidupan, kemudian dimatikan,  bahkan ketika dibangkitkan lagi kelak.

Pada  kata pengantar  Emha menasbihkan jika buku  kumpulan puisi, Ini ‘hanya’ sembahyang, tak lebih tak kurang.  Maka saya  teringat tutur ibu : jika sembahyang adalah saat tepat  kita dialog dengan Tuhan, apel dengan Tuhan. Seperti yang saya lakukan  saat  menerima buku ispiratif ini.

Tuhanku, malan ini sepulang dari membeli koran yang memuat puisi, demi sepotong  puisi aku menempuhi jarak puluhan kilo, menghabiskan uang puluhan ribu demi selembar koran harga tiga ribuan. Pada perjalanan pulang, bertemu seorang teman, ngojek dan kubayar selembar koran-yang memuat puisiku. Sesampai di rumah ibu memberiku kiriman   buku puisi emha hasil resensiku.
* * *

Buku puisi 99 Untuk Tuhanku,  bukan hanya berharga dijadikan bahan tugas akademik, penelitian, kajian bahkan setelah diterbitkan ulag pada tahun 2015 ini. Buku ini tetap tak terlekang zaman, Buku yang siap dimiliki penyuka puisi, penikmat puisi, pun pembelajar puisi, mereka yang ingin bisa menulis.

Buku layak diajukan  acuan untuk kau yang pernah mendatangi  gawe Emha,  entah  pengajian, diskusi budaya,  musik, taklshow atau  malah  pernah  sua atau ngobrol, berikut saya cuplikan baris puisi-yang saya pikir mewakili sosok Emha yang cerdas, unik, dan mbeling.

(66)
Tuhanku
jika kutanyakan kepada-Mu
apa bedanya antara setan dan manusia?
mungkin begini kata-Mu:
oo, jelas amat berbeda
meskipun makin tak berbeda
meskipun makin mirip-mirip saja

__Kartika Catur Pelita, Ketua Akademi Menulis Jepara (AMJ)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar