Judul
Buku
99 Untuk Tuhanku
Penulis
Emha Ainun Nadjib
Tebal
vii + 112 hal
Terbit
Cetakan
Pertama, Juni 2015
ISBN
978-602-291-065-7
Penerbit
Bentang Pustaka
(1)
Tuhanku
kuawali
setiap langkahku
dengan
asma-Mu
ampunilah
kami
yang
selalu merasa punya nama
yang
tak kunjung tahu
bahwa
segala sesuatu
akan
hanya tinggal Satu
Tuhanku
adapun
di antara beribu mimpiku
cuma
satu yang sejati
ialah
napas-Mu
aku
menyertai
Tuhanku
jika
haq bagi-Mu
perkenanku
aku
tinggal
di dalam diri-Mu
agar
sesudah lahirku
yang
ini
dan
yang nanti
takkan
mati
Nukilan
di atas adalah salah satu puisi Emha
Ainun Nadjib yang tertera dalam
buku 99 untuk Tuhanku. Puisi liris, sederhana, betapa sarat makna. Tentang
pengakuan manusia pada keberadaan Tuhan, sebagai Pencipta.
Tuhan
Sang Khalik. Tuhan bukan manusia. Jadi jika
ada seorang bernama Tuhan, tentu
ia manusia semata. Sekedar nama saja. Mungkin orang tuanya kebangetan memberi nama
anak seorang manusia dengan nama Tuhan. Jika memberi nama anak saja sembarangan, bagaimana dia memberi yang lainnya? Nama adalah doa,
hendaknya orang tua, atau siapa pun
yang memberi nama berpikir dulu.
Alangkah beruntungnya kita tinggal di
Indonesia ketika negara tak membatasi warga untuk memberi nama pada anaknya.
Bandingkan
dengan di negara Arab Saudi, yang pemerintahnya
melarang warga untuk tak sembarangan
memberi nama anaknya. Bahkan beberapa nama orang ‘dicekal.’ Jadi mengapa
memberi nama anak, dengan nama Tuhan, Saiton,
seperti tak ada nama lainnya yang lebih pantas.
Di
dalam menempuhi kehidupan, manusia sebagai makhluk Tuhan paling sempurna seiring
menyebut Tuhan, beberapa alpa menyebut Tuhan, bahkan beberapa tak mengakui
keberadaan Tuhan. Beberapa masih mempertentangkan keberadaan Tuhan. Beberapa
masih bertanya di mana Tuhan. Beberapa mengatakan Tuhan ada di dirimu, lebih
dekat dari nadimu. Beberapa menyatakan Tuhan Ada di mana-mana. Tuhan bahkan ada
di dalam puisi. Emha menuturkan dalam
pusi yang apik (hal. 12).
(10)
Tuhanku
sejak
bapak ibu mulai bercinta
sejak
sebelum aku ada, tahukah Engkau kasihku
bahwa
aku telah merindukan
wajah-Mu
ibu
menggendongku dengan segenap tumpahan cinta
yang
lebih mahal daripada mati hidupnya
dan
bapak menyusun rencana
menyediakan
cita-cita
alam
di darahku
mengalirkan
sabda
tubuhku
dibungkus adat
kezaliman,
momok dan bayangan surga
oleh
guru dan tetangga
kini,
Tuhanku
setelah
besar aku nangis
diam-diam
nangis
dengan
cara tertawa, mabuk, gila, alpa
bahkan
mendurhaka
Sebab
tahu kelahiran hanya ci-luk-ba
sebab
kekasih yang sebenarnya
menungguku
di semesta jiwa
Puisi
bukan sekedar rangkaian kata, seleksi
diksi, padanan rima, atau kumpulan
kata yang terang menerawang, bahkan terkadang menggelap menggurita. Puisi
Emha berutur tentang hakekat hubungan intim manusia dengan Tuhan.
Pada
puisi kita bisa belajar segala aspek kehidupan.
Sosial, politik, budaya, ekonomi, moral, pertahanan, keamanan, pemerintahan, korupsi, keimanan,
kebaikan, keburukan, moral, tradisi, hak
asasi. Segala. Sejak manusia dilahirkan,
menjalani titah kehidupan, kemudian dimatikan, bahkan ketika dibangkitkan lagi kelak.
Pada
kata pengantar Emha menasbihkan jika buku kumpulan puisi, Ini ‘hanya’ sembahyang, tak
lebih tak kurang. Maka saya teringat tutur ibu : jika sembahyang adalah saat
tepat kita dialog dengan Tuhan, apel dengan
Tuhan. Seperti yang saya lakukan saat
menerima buku ispiratif ini.
Tuhanku,
malan ini sepulang dari membeli koran yang memuat puisi, demi sepotong puisi aku menempuhi jarak puluhan kilo, menghabiskan
uang puluhan ribu demi selembar koran harga tiga ribuan. Pada perjalanan pulang,
bertemu seorang teman, ngojek dan kubayar selembar koran-yang memuat puisiku.
Sesampai di rumah ibu memberiku kiriman
buku puisi emha hasil resensiku.
* * *
Buku
puisi 99 Untuk Tuhanku, bukan hanya berharga
dijadikan bahan tugas akademik, penelitian, kajian bahkan setelah diterbitkan
ulag pada tahun 2015 ini. Buku ini tetap tak terlekang zaman, Buku yang siap
dimiliki penyuka puisi, penikmat puisi, pun pembelajar puisi, mereka yang ingin
bisa menulis.
Buku
layak diajukan acuan untuk kau yang
pernah mendatangi gawe Emha, entah pengajian, diskusi budaya, musik, taklshow atau malah
pernah sua atau ngobrol, berikut
saya cuplikan baris puisi-yang saya pikir mewakili sosok Emha yang cerdas, unik,
dan mbeling.
(66)
Tuhanku
jika
kutanyakan kepada-Mu
apa
bedanya antara setan dan manusia?
mungkin
begini kata-Mu:
oo,
jelas amat berbeda
meskipun
makin tak berbeda
meskipun
makin mirip-mirip saja
__Kartika
Catur Pelita, Ketua Akademi Menulis Jepara (AMJ)