Meski Galak, Dia Tetap Bapakku - Soeara Moeria

Breaking

Sabtu, 22 Agustus 2015

Meski Galak, Dia Tetap Bapakku

Ilustrasi: Google
Karya : Ahmad Farub 



"Dasar, bodoh! Tulisan apa ini? sudah dibilang, tanda koma letaknya di sini. Kalimatmu banyak yang nggak bunyi. Tulisan sampah!" Ucap bapak sambil menusuk-nusukan jarinya di lembaran HVS ketikanku.


Bapak kembali berang. Makian itu bukan pertama kali dialamatkan kepadaku. Sederet kalimat pedas itu mungkin sudah belasan, lusinan, bahkan ratusan kali terlontar dari bibir bapak. Dia memang keras. Apalagi untuk urusan pendidikan dan tulis-menulis. Lelaki pengkuh itu mahir betul di bidang itu. Telah ratusan kali karyanya dimuat di berbagai media nasional. Tulisannya pun beragam, mulai dari cerpen, karya ilmiah popular, tajuk rencana dan lainnya. Semua itu, berkat ketekunan Bapak membaca dan belajar.

Sayangnya, kemampuan bapak itu tidak aku miliki. Aku memang suka menulis, tapi tidak dengan kegiatan membaca. Berbeda sekali dengan bapak, dia rajin sekali membaca juga menulis. Meskipun yang disukai bapak tidak aku minati, tapi aku memutuskan mengikuti perintah dan kemauan bapak. Dia menginginkan aku menjadi penulis sepertinya. Aku menurut saja. Tapi yang sesungguhnya aku inginkan adalah menjadi seperti bapak dan untuk menjadi sepertinya, harus doyan membaca dan menulis.

“Untuk menjadi penguasa informasi, yang kamu butuhkan adalah membaca dan menulis,” katanya.

Aku mempercayainya, maka  aku menuruti keinginan bapak menjadi penulis atas permintaannya. “Agar ada regenerasi penulis yang berkualitas." Begitu sambungnya.

Siang itu, bapak geram memeriksa tulisanku yang ke-100 masih saja berantakan. Meski sudah mendapat pelatihan dan binaan khusus dari beliau, konsep tulisanku masih dangkal dan tidak bernas. Begitu beliau menyebut tulisan yang dari segi substansi masih kurang, dari data lemah dan dari referensi masih dangkal.

"Nggak gampang kan menulis?" tanyanya mengejek.

"Hehe," aku nyengir getir. Antara ragu-ragu dan malu.

"Ini, ambil lagi! Sampah! Nulis itu jangan jorok! Perhatikan huruf kapital dan tanda baca. Jangan beretorika saja kamu." Kembali ia menyalakku.

Melihat aku tak bergeming, bapak kembali menghardik tajam.

"Nyerah?" tanyanya melandai. 

Terlihat di tangan kanannya memegang batang rotan, sambil menghempas-empaskan di tangan kiri. Bapak mendekat. Tampaknya Bapak tahu aku ingin berhenti belajar menulis darinya. Nggak kuat! Tapi mesti kuurungkan niatan itu segera, sebelum batang rotan itu mendarat bebas di bokongku. Aku kembali gusar. Dengan malas-malas aku punguti lagi lima lembar HVS yang sudah kusut masai yang berjatuhan di lantai. Selain karena sudah diremas bapak, lembaran ketikan yang kukerjakan semalaman itu basah oleh keringat dingin yang mengucur. Dalam hati rasanya terbakar dan tersinggung bukan main. Lusinan kali dihempaskan olehnya bukan perasaan yang menyenangkan. Ingin rasanya aku protes dengan metode belajarnya yang keras, to the point  tanpa sedikit pun ada gula-gula pemanis. Semuanya lugas, ringkas, padat, dan pedas! ah!

Tetapi, dialah guru terbaikku saat ini. Kapasitasnya sebagai penulis tidak diragukan lagi. Karyanya yang terbit menggurita di kolom surat kabar adalah bukti telak atas pencapainya sebagai penulis. Bapak bahkan pernah menjadi editor di surat kabar nasional. Itulah sebabnya standar menulisnya sangat tinggi. "Aku ini perfectionis urusan menulis. Tidak butuh tulisan sampah seperti itu." Dua hari lalu ketika kami ngobrol di balai belakang rumah, sambil memeriksa tulisanku. Matanya memicing mengintimidasi. Tentu saja aku takut.

“Perbaiki lagi! Lakukan yang terbaik dan tanpa cela sedikit pun. Bapak tunggu sampai sore nanti.”

Aku mengangguk pelan. Entah, aku menjadi tak berani berkata-kata, menimpali canda seperti biasa kami lakukan. Terpekur saja mendapati diriku tidak bergelimang bakat menulis seperti Bapak. Sepanjang memperbaiki tulisan hari itu, pikiranku acapkali mendera, mencerca. Apa benar Bapak segalak ini? Awal-awal tidak? Pertanyaan yang tiba-tiba singgah di pedalaman sanubari. Deraan pertanyaan itu terus bercokol dan tak pernah sedikit pun pergi. Ia terus hinggap menggerus ketenangan hati. Ingin rasanya bertanya kepada bapak, mengapa ia segalak itu kepadaku. Tapi, rasanya ciut nyali walau hanya sekedar menanyakan itu. Meski ia adalah bapakku sendiri, untuk urusan seperti ini, lain cerita. Bapak tiba-tiba kurasakan berbeda.
* * *

Siang itu matahari begitu terik, aku masih berusaha keras memperbaiki tulisan yang nantinya kuserahkan kepada bapak sore nanti. Sudah lima jam terduduk mengamati layar monitor tua berkaca gemuk. Selain tidak kerasan di depan layar, duduk selama lima jam tanpa bergeming sedikit pun membuat pantatku panas. Belum lagi hawa hangat yang menyusup dari ventilasi, membuat mata sipitku mulai terkantuk-kantuk. Kursor masih mengerjap-ngerjap di ujung kalimat terakhir paragrap kesembilan.

“Satu paragraf lagi,” pekikku menyemangati diri.

Setelah memilin-milin jemari,menepuk-nepuk pipi, dan memuntir tulang punggung hingga bunyi krutuk-krutuk, semangatku kembali sedikit terpompa.

Aku bangkit berdiri, mengintip Bapak dari balik gordyn warna kuning gading yang menyekat kamarku dengan ruang tengah di mana bapak berdiri. Di ambang jendela, bapak tampak sedang menebar pandangannya ke luar rumah, melihat dan mengamati pekarangan samping. Ia tampak santai sembari sesekali menjentikan rokok yang terselip antara sela jemari telunjuk dan tengah di tangan kanannya.

Ya, dialah lelaki yang selama ini menemaniku. Mengajariku banyak hal. Badannya yang pengkuh, tatapannya yang tajam, tuturnya yang tegas adalah keindahan yang selama ini kurasakan. Dialah sahabatku, meski galak, dialah bapakku.

“Kerjakan saja, nggak usah ngintip-ngintip. Kalau masih salah, aku tendang kamu!” Teriak bapak tanpa melihat.

Aku berjingkat. Langsung balik kanan dan buru-buru kembali ke meja komputer. Nahas, daun pintu itu masih menganga. Jidatku sontak membenturnya dengan keras.

“Gedubrak! Haduh.” Aku mengaduh. Kegaduhan kecil itu, bukan hanya membuatku malu, tapi juga nyeri di jidat nonongku. Benturan itu menciptakan benjolan tepat di tengah dahi dengan warna kebiruan. Sambil mengelus berkali-kali nonongku, sambil juga pura-pura kembali sibuk di depan monitor gendut ini walau pada kenyataanya otakku sudah macet dari proses berpikir. Remuk sudah otakku menjalani pressure darinya. Aku benar-benar ingin menyerah.
* * *

Telah sekuat tenaga aku tegakkan kepala supaya tetap bisa menyelesaikan tugas dari bapak. Telah kusempurnakan dengan mencoba merubah posisi duduk, mulai dari miring kanan, miring kiri, tumpang kaki kanan, tumpang kaki kiri. Tapi akhirnya kepalaku tetap roboh di depan monitor. Entah berapa lama terkapar ditonton layar gendut yang berkerdip, berbantal keybord yang beberapa tutsnya sudah tidak terlihat penandanya. Terakhir ingat, aku masih tegak menatap layar pukul 15.15, dan sekarang sudah pukul 17.10. Hampir dua jam aku tertidur. “Waduh! Habislah aku!” geramku. Tapi sebentar, di mana Bapak? ia meminta untuk menyelesaikan tugas sore ini. Semoga ia tak melihatku tertidur.

Sementara matahari sudah condong ke barat, aku merapikan kertas-kertas yang berceceran. Proses mencetak perbaikan terakhir seperti yang diminta bapak telah aku tunaikan. Mulut printer yang sudah bertahun-tahun dipakai bapak itu pun memekik gaduh memuntahkan lembar terakhir tulisanku. Aku teliti lagi, masih ada satu titik yang salah. Aku benarkan dan aku cetak lagi. Alhamdulillah selesai. Mudah-mudahan ini yang terakhir. Detik penghisaban itupun tiba, dan yang bertindak sebagai pemegang catatan kebenaran adalah bapak. Selepas shalat maghrib, bapak terlihat santai di teras depan, sambil tetap sibuk dengan rokok murahannya. Dengan ragu-ragu aku mendekat sambil memegangi lima lembar HVS yang aku print tadi.

“Bapak… emh… ini sudah.” Aku menunduk setengah takut.
“Oh, sudah?” Bapak agak terkesiap mendapatiku berdiri di samping kanannya. 

Kusurukan kertas itu dengan muka pias. Setelah ia meraihnya, bukannya di baca, malah diletakkannya begitu saja di meja. “Oh mungkin nanti koreksinya. Setelah rokoknya di sulut.” Hatiku membatin. Tak lama, bapak menjentikan koreknya lalu menyulut rokok yang sepertinya sudah menjadi teman setia bapak di waktu apapun. Ia lantas menghisapnya lalu menghempaskan asapnya ke udara. Kepulan asap itu seketika sirna dilalap oleh angin.

“Kak, coba pijitin pundak Bapak, kok rasanya pegel sekali ya.” Pinta bapak.
Aku bangkit berdiri, lalu memijat bahu liatnya.

“Bapak…,”

“Ya…,”

“Bapak merokok dari kapan?” tanyaku hati-hati. Tapi sepertinya senja ini bapak sedang bersahabat. Tak perlu aku merasa takut dengan keganasannya.

“Sudah lama.” Jawabnya singkat.

“Iya sejak kapan?” Tanyaku lagi.

“Dari bapak masih SMA, Kak.”

Sejujurnya, aku tidak suka dengan kebiasaan bapak merokok. Tapi candu bapak terhadap rokok sudah sangat akut. Aku terbatuk turut menghirup asap rokok bapak. Merasa tak enak, bapak meletakkan rokoknya. Selagi tak menyentuh rokoknya, bapak tak jua menyentuh tulisan yang telah aku perbaiki atas permintaannya. Apa sih maunya bapak?

2 komentar: