Pendidik SMK Az
Zahra Mlonggo Jepara
Sore itu Jum’at (30/04/1999) terjadi peristiwa
kelam nan memilukan bagi warga masyarakat desa
Dongos kecamatan Kedung kabupaten Jepara.
Generasi yang mengalami dan menyaksikan peristiwa tersebut tetap ingat dalam
memori mereka walaupun
senantiasa berusaha untuk menghapus dan melupakan akan kengerian tragedi
berdarah.
Saling serang anak bangsa seagama,
sesama saudara, tetangga, teman bahkan anak dan orang tua saling melukai satu
sama lain. Kaum Nahdliyyin
berduka, mereka menanggung akibat dari Islam Fanatik (fanatisme, red) buta. Memahami
sejengkal saja akan ideologi partai mereka, pandangan partai berasas Islam dan
kebangsaan seakan beda agama.
Akibat konflik antarpendukung
partai tersebut jatuh 4
korban tewas, 26 korban luka-luka, 16 mobil dan 26 sepeda motor serta 3 rumah
hancur dan terbakar (Ahmad
Zazeri, 2007).
Jatuhnya korban jiwa, kerugian materiil yang mencapai ratusan juta rupiah serta
tak kalah besar adalah kerugian traumatik yang ditanggung oleh masyarakat desa di sekitar kejadian (Bugel, Sowan
Lor dan Dongos).
Pemicu Konflik
Tulisan ini tidaklah bertujuan membuka luka
lama, membangkitkan kebencian atau bahkan menyulut konflik kembali. Namun peristiwa
kelam awal pemilu multipartai tahap kedua (tahun 1999 setelah orde baru
tumbang) yang terjadi di Jepara, seyogianya menjadi I’tibar atau gambaran
dan pelajaran oleh kaum Nahdhiyyin dimanapun berada, pada waktu
sekarang dan masa yang akan datang. Khususnya, antisipasi sejak dini terhadap pemicu
atau faktor yang dapat memunculkan konflik internal kaum Nahdliyyin.
Pasca
kejadian kelam di Jepara 1999, banyak penelitian ilmiah dilakukan untuk
mengkaji konflik tersebut dari berbagai prespektif. Seperti, Suparmin (2000) melihat dari sisi
Lembaga Kepolisian dalam penyelesaian konflik antar pendukung partai. Sopuan (2003) mengamati pemecahan masalah
konflik dengan pendekatan Bimbingan Konseling Islam, atau Ahmad Zazeri (2007) mengkaji secara sosio-historis kasus kerusuhan
sosial berbasis partai tersebut.
Secara umum dapat disimpulkan
bahwa, faktor internal penyebab terjadinya konflik fisik masyarakat yang
berafiliasi pada partai adalah sebagai berikut: Fanatisme partai yang
ditanamkan tokoh-tokoh agama (da’i); kesalahan pemahaman paradigma Islam
sebagai agama dan partai; penghayatan kurang mendalam Ideologi partai Islam dan
partai kebangsaan; pemikiran sempit tentang kebebasan demokrasi; basis massa
yang sama (Nahdliyyin) dan ketidak-netralan pengurus NU; serta kesenjangan
ekonomi antara pengusaha sukses yang berafiliasi ke PKB dan pekerja atau kuli
yang menjadi mayoritas simpatisan PPP.
Beberapa
faktor tersebut tentu tidak berdiri sendiri, faktor eksternal turut memicu
konflik pendukung partai.
Seperti kurang baik dan
tertatanya penyelenggaraan pemilu oleh KPU saat itu.
Tercatat 195 kasus pelanggaran dan
konflik pemilu di Jawa Tengah pada pemilu 1999, pelanggaran administratif 25
kasus, tata cara
dan tahapan pemilu 94 kasus, money
politic 5 kasus, ketidak-netralan birokrat/ pejabat 8 kasus, 63 kasus
pidana pemilu, 33 di
antaranya dapat diselesaikan, 20 ditangani kepolisian dan 10 masuk kemeja
pengadilan.
Dari sekian banyak kasus, ada 2
(dua) kasus yang menarik dan sekaligus memperihatinkan yakni konflik di
kabupaten Pekalongan dan kabupaten Jepara, di mana keduanya ada penggunaan
simbol-simbol agama dalam konflik pendukung partai tersebut, serta terjadi di
basis Nahdliyyin yang kuat.
Trauma
Organisasi dan Upaya Rekonsialisasi
Sebagaimana disebutkan dalam
ilustrasi di atas, efek konflik pendukung partai yang sampai sekarang masih
terasa oleh kaum Nahdliyyin di desa Sowan Lor adalah traumatik.
Masyarakat
desa Sowan Lor yang notabene semua
pengikut Nahdlatul Ulama menanggung berbagai trauma, mulai trauma psikis sampai
trauma organisasi. Hal itu sangat terasa dalam perjalanan organisasi NU Ranting
Sowan Lor, seperti berhentinya kegiatan rutin Pengajian Idaroh Ranting
bertempat di musholla (ada 45 Musholla dan Pondok), terpecahnya tokoh-tokoh
agama, bahkan pendirian masjid baru dan lain sebagainya.
Merupakan
pekerjaan berat bagi pengurus NU Ranting Sowan Lor untuk memulihkan organisasi,
rekonsiliasi antar pendukung yang berbasis Nahdliyyin, atau
bahkan sekedar menyembuhkan
trauma konflik. Namun sekalipun dalam kondisi demikian, segala upaya
dan ikhtiar untuk menghidupkan kembali organisasi Nahdlatul Ulama’ dan
kegiatan-kegiatan pendukungnya tetap selalu dilakukan.
Walaupun kejadian konflik telah
lama yaitu 16 tahun silam dan berbagai upaya penyatuan telah dilakukan sejak
pasca konflik, namun luka sejarah yang tergores belum juga sepenuhnya pulih
secara total.
K.H. Nursalim Muhammad sebagai
Ketua NU Ranting Sowan Lor mengutarakan bahwa pengurus NU tetap berupaya melakukan pendekatan
pada semua pihak untuk bersama-sama menghidupi organisasi.
Ia
menceritakan bagaimana sikap masyarakat terhadap organisasi NU, bahkan sampai
sekarang pun
sekedar mengumpulkan tokoh-tokoh masyarakat dalam satu majlis atau forum adalah
perkara yang tidak mudah.
Sebagai contoh dalam persiapan
kegiatan Pengajian Kliwonan MWCNU Kedung
yang kebetulan akan diselenggarakan di Ranting Sowan Lor 25 Maret 2015,
Pengurus NU mengirim 65 undangan yang
disebar kepada tokoh agama, kiai musholla dan pondok, Ansor, Muslimat, Fatayat
dan IPNU-IPPNU. Akan tetapi hanya dihadiri oleh 10 orang saja.
Kiai yang juga Ketua Panti Asuhan Daarul
Aitam tersebut tetap bersemangat, karena ia yakin suatu saat NU akan
kembali semarak, sebab penduduk desa Sowan Lor tetap sebagai Nahdhiyyin yang
kuat. Hanya mereka
trauma aktif dalam NU, bahkan sebatas duduk bersama dalam satu majelis.
Kekhawatiran
berlebihan untuk aktif secara organisasi oleh masyarakat Sowan Lor tidak serta
merta melunturkan tradisi
dan amaliyyah
kaum Nahdliyyin, karena pada dasarnya mereka tetap pengikut setia Nahdlatul
Ulama, yang terus
menjaga tradisi dan memegang teguh faham organisasi Islam terbesar di Indonesia
tersebut.
Pemerintah
Desa Sowan Lor sebagai Umaro
bersama kiai sebagai Ulama menjadi
kunci sukses upaya-upaya
penyembuhan trauma tersebut, sebagai contoh Pengajian Idaroh yang sebelum
konflik antar pendukung partai berlabel Pengajian Idaroh NU
Ranting Sowan Lor, demi
menjaga tradisi Nahdliyyin akan majelis
ta’lim dan mencegah gesekan fanatisme partai, kegiatan berganti nama menjadi
Pengajian Idaroh Ahad Pon Desa Sowan Lor.
Kegiatan
tersebut sepenuhnya mendapat dukungan dari pemerintah desa bahkan sampai pada
pengadaan biaya operasional seperti bantuan dana, transportasi untuk
memobilisasi jama’ah dan kehadiran Petinggi desa Sowan Lor pada setiap
pelaksanaan pengajian.
Hariyanto
selaku Petinggi desa Sowan Lor menekankan, bahwa kegiatan
Pengajian Idaroh Ahad Pon adalah program umat Islam, bukan program desa.
Sehingga demi kerukunan umat Islam, seyogianya seluruh warga desa yang adalah
semua beragama Islam untuk mengikuti dan turut serta. Hal itu sebagaimana ia sampaikan dalam sambutan
pada acara Pengajian
Idaroh Ahad Pon,
bertempat di Pondok Tamrinul Huda (Sabtu,
14/03/2015).
Pemerintah
Desa Sowan Lor juga berperan dalam menyatukan tokoh-tokoh agama, karena mereka berkepentingan pada pencegahan
konflik horizontal di tingkat grassroot yang berbasis fanatisme.
Masjid baru yang dibangun sebagai
akibat dari efek konflik partai ditetapkan oleh petinggi sebagai masjid desa,
pengurus dan tokoh pemuka yang menjadi Khotib di kedua masjid tersebut diangkat
menjadi Kiai Desa dan bergilir menjadi khotib.
Penetapan
ini tentu wujud upaya menghapus streotip (cap) masjid partai yang pada
awal pendirian pascakonflik sempat tersemat pada salah satu masjid tersebut,
dan lambat laun streotip tersebut mulai hilang walaupun tidak sepenuhnya
terhapus.
Empat Karakteristik
Aswaja
Fanatisme terbukti menjadi faktor
utama munculnya konflik internal kaum Nahdliyyin,
tentu ini menjadi cambuk bagi Nahdlatul
Ulama untuk menanamkan pada pengikutnya akan sikap tasamuh atau
toleransi sebagai pandangan hidup.
Bahaya lain akan fanatisme juga
menjadi cikal bakal lahirnya Islam Radikal, (red, radikalisme). Mudah
mengkafirkan dan membid’ahkan, cepat men-judgement orang
yang tidak sependapat dll.) yang tentunya tidak sejalan dengan pandangan
moderat atau tawasuth Nahdlatul
Ulama’.
Untuk menghilangkan traumatik dan
mengkikis habis fanatisme buta dengan pandangan ekstrim (radikalisme), maka
wajib ditanamkan pada seluruh warga pengikut Nahdlatul Ulama akan karakteristik Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Empat sikap Aswaja tersebut yaitu,
pertama sikap tasamuh (toleran). Kaum Nahdliyyin harus
memiliki sikap toleransi terhadap perbedaan pandangan dalam masalah keagamaan
(terutama masalah furu’ dan khilafiyyah), masalah politik,
kemasyarakatan dan kebudayaan.
Sikap menghormati pendapat dan
pandangan yang beda, serta memahami perpedaan sebagai rahmah merupakan
langkah preventif
dalam menekan munculnya kefanatikan. Bahkan, fanatisme perorangan
terhadap kebenaran pendapat yang dianut.
Kaum Nahdliyyin harus
dibiasakan menghadapi lingkungan yang beragam, mulai dari berbeda agama,
madzhab fiqih, macam organisasi, beda pendapat, tradisi dan budaya, serta warna
kaos partai dalam berpolitik.
Kedua, sikap tawasuth dan
i'tidal yaitu sikap tengah-tengah yang menitikberatkan pada prinsip
hidup menjunjung tinggi berlaku adil dan lurus dalam kehidupan bermasyarakat,
sehingga akan selalu bersikap membangun serta menghindari bentuk pendekatan
yang bersifat ekstrem.
Fanatik buta pada keyakinan
kebenaran pendapat akan memunculkan sikap ekstrem atau radikal terhadap selainnya, perbedaan pun seakan
menjadi pemisah yang tidak bisa dipersatukan. Pengucilan, pengasingan, sikap
apatis, mengerdilkan, bahkan meremehkan adalah wujud lain dari radikalisme.
Kaum Nahdliyyin seharusnya menjadi masyarakat yang moderat, menyikapi
perbedaan dengan seadil-adilnya, menempatkan selisih pendapat pada proporsi
yang tepat. Sehingga mereka akan mampu mengakomodir berbagai ragam jenis
masyarakat atau anggota dalam berorganisasi, yang selanjutnya dapat
menghilangkan anggapan “paling benar sendiri”.
Ketiga, sikap tawazun yaitu
seimbang, selaras, serasi dalam berkhidmah kepada Allah SWT, berkhidmah kepada
sesama manusia serta kepada lingkungan. Organisasi Nahdlatul Ulama’ yang
berkarakter Ahlussunnah Wal Jam’ah tentu harus mampu menyeimbangkan setiap
langkah gerak, program, kegiatan dan tradisi organisasi, antara kesalehan
individual dan sosial. Amanu wa ‘amilush sholihat.
Kaum Nahdliyyin harus sadar pada kewajiban sebagai hamba Allah SWT
dengan menjalankan semua syari’at agama, dapat menjadi kholifaullah fil ardh
yang bermanfaat pada sesama, serta menjaga lingkungan sebagai tempat atau
ladang beramal saleh, ad dunya mazro’atul akhiroh. Sehingga akan
tercapai ukhwah basyariyah, ukhwah wathoniyah dan ukhwah nahdliyyah.
Dan keempat, sikap al
amru bil ma’rufi wan nahyu ‘anil munkari yaitu kepekaan untuk mendorong
berbuat baik, berguna dan bermanfaat bagi kehidupan bersama; serta menolak dan
mencegah
semua hal yang dapat menjerumuskan dan merendahkan nilai-nilai kehidupan.
Kewajiban ber-amar makruf dan
nahi munkar merupakan tanggung jawab personal kaum Nahdliyyin, tentunya
sesuai dengan porsi dan posisi sosial dalam masyarakat.
Ulama atau
kiai memiliki kewajiban menyampaikan kebenaran (haq) dalam posisi
sebagai pewaris para Nabi. Menyebarkan nilai-nilai humanisasi atau kemanusian,
perdamaian sebagai landasan keislaman, serta ketauhidan sebagai basic spiritual umat.
Tidak lupa akan kelantangan dan ketegasan ulama dalam menyikapi segala
bentuk kemaksiatan dan penyelewengan.
Umara yaitu
pemimpin pemerintahan mengejawentahkan asas amar ma’ruf nahi munkar ke
dalam seluruh kebijakan yang dibuat. Membuat peraturan yang sejalan dengan
kebenaran yang didengungkan ulama, serta mendukung dengan totalitas
sesuai kapasitasnya sebagai penguasa wilayah.
Kaum Nahdliyyin sebagai
jamaah yang senantiasa mengikuti fatwa ulama’ dan warga dari penguasa
wilayah atau umara’, selalu beraktivitas
dengan asas kebenaran dan ajaran syari’ah, melaksanakan peraturan pemerintah
yang seirama dengan kenaran,
serta membentengi diri dari segala kemunkaran dengan penolakan dalam hati
atau inkar bil qolbi.
Empat asas sikap Aswaja di atas jika
tertanam dalam setiap pribadi kaum Nahdliyyin
di Sowan Lor, pasti mampu menghapus traumatik dan menghidupkan kembali ghiroh
atau semangat menghidupi organisasi. Sehingga Nahdlatul Ulama di Sowan Lor
tidak hanya besar secara jamaah saja,
tetapi besar secara jamiyyah (organisasi) pula. Pada
akhirnya, kamanfaatan Nahdlatul
Ulama bukan sebatas tradisi dan amaliyyah, namun mampu menyejahterakan
kaum Nahdiyyin dalam bidang soisal, ekonomi dan politik. Wallahu a’lamu bish
showabi…