Gabungkan Pendidikan di Indonesia antara Barat dan Tradisional - Soeara Moeria

Breaking

Selasa, 24 Februari 2015

Gabungkan Pendidikan di Indonesia antara Barat dan Tradisional

Foto: Google

Kudus, soearamoeria.com 
Ahmad Tohari budayawan asal Banyumas merasa prihatin dengan kondisi sekarang banyak orang mencintai pendidikan ala Barat namun tidak menyayangi pendidikan sendiri. Seharusnya tokoh-tokoh saat ini yang gila dengan pendidikan Barat harus bercermin pada tokoh-tokoh masa silam.

Hal itu diuraikannya bersama Darmaningtyas, pengamat pendidikan dalam Seminar Nasional “Melestarikan Nilai-nilai Budaya dalam Pendidikan” yang diadakan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muria Kudus (UMK) berlangsung di auditorium UMK, Selasa (24/2).

Tokoh-tokoh masa silam sebut saja Bung Karno, Bung Hatta, KH Wahid Hasyim dan Ki Hajar Dewantara pernah mengenyam pendidikan Barat. Meski demikian, pendidikan tradisionalnya tidak dilepaskan begitu saja. Namun tetap dipegang erat.

Dasar pendidikan tradisional jelas novelis “Ronggeng Dukuh Paruk” itu berpijak pada keselamatan. “Tidak punya banyak duit tidak apa-apa asal selamat, daripada pintar, punya pangkat namun masuk dalam bui,” urainya.

Selain penggabungan keduanya, hal lain yang tak kalah penting lanjut lelaki 66 tahun itu juga harus diimbangi dengan memperkaya bacaan buku-buku sastra. Bung Karno saja semasa SMA menamatkan 15 buku sastra sedangkan Bung Hatta melahap 30 novel.

Dengan membaca karya sastra tujuannya agar seimbang otak kiri dan kanan. “Menjadi seorang pandai dan berkuasa perasaannya akan berjalan tidak stagnan,” imbuhnya.

Dari itu kiai nyentrik ini memisalkan Bung Karno merupakan sosok yang sensitif terhadap persoalan masyarakat. Apalagi memperkaya sastra Jawa. Memaknai tembang-tembang Jawa secara tidak langsung akan merasuk dalam hati dan semakin peka terhadap gejala yang terjadi di sekelilingnya.

Sehingga dalam menempuh pendidikan harus memperhatikan tiga hal. Pertama, pendidikan tidak boleh meninggalkan spirit tradisional yang bermuara pada nilai “selamet”. “Menjadi pinter dan terampil boleh asal tetap selamet dunia dan akhirat,” serunya.

Berikutnya, pendidikan harus berpijak pada aspek proses. Membeli maupun membajak skripsi merupakan tindakan yang tidak menghargai proses pendidikan.

Terakhir, pendidikan harus menempatkan keluarga sebagai posisi sentral. “Kesuksesan pendidikan dipengaruhi perhatian orang tua,” jelasnya.

Proses pendidikan Soekarno jelas dia diurus oleh ibu dan bapaknya. Begitu pula dengan KH Wahid Hasyim yang saat itu hendak kursus bahasa Belanda di Surabaya didaftarkan oleh orang tuanya. Sehingga ia meyakini orang yang sukses dalam pendidikan tanpa dukungan orang tua berarti “sukses” dalam tanda kutip. (qim)  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar