![]() |
Foto: Google |
Kudus,
soearamoeria.com
Ahmad
Tohari budayawan asal Banyumas merasa prihatin dengan kondisi sekarang banyak orang
mencintai pendidikan ala Barat namun
tidak menyayangi pendidikan sendiri. Seharusnya tokoh-tokoh saat ini yang gila
dengan pendidikan Barat harus bercermin pada tokoh-tokoh masa silam.
Hal
itu diuraikannya bersama Darmaningtyas, pengamat pendidikan dalam Seminar
Nasional “Melestarikan Nilai-nilai Budaya
dalam Pendidikan” yang diadakan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muria Kudus (UMK) berlangsung
di auditorium UMK, Selasa (24/2).
Tokoh-tokoh
masa silam sebut saja Bung Karno, Bung Hatta, KH Wahid Hasyim dan Ki Hajar
Dewantara pernah mengenyam pendidikan Barat. Meski demikian, pendidikan
tradisionalnya tidak dilepaskan begitu saja. Namun tetap dipegang erat.
Dasar
pendidikan tradisional jelas novelis “Ronggeng Dukuh Paruk” itu berpijak pada
keselamatan. “Tidak punya banyak duit tidak apa-apa asal selamat, daripada
pintar, punya pangkat namun masuk dalam bui,” urainya.
Selain
penggabungan keduanya, hal lain yang tak kalah penting lanjut lelaki 66 tahun
itu juga harus diimbangi dengan memperkaya bacaan buku-buku sastra. Bung Karno saja
semasa SMA menamatkan 15 buku sastra sedangkan Bung Hatta melahap 30 novel.
Dengan
membaca karya sastra tujuannya agar seimbang otak kiri dan kanan. “Menjadi
seorang pandai dan berkuasa perasaannya akan berjalan tidak stagnan,” imbuhnya.
Dari
itu kiai nyentrik ini memisalkan Bung Karno merupakan sosok yang sensitif terhadap
persoalan masyarakat. Apalagi memperkaya sastra Jawa. Memaknai tembang-tembang Jawa
secara tidak langsung akan merasuk dalam hati dan semakin peka terhadap gejala
yang terjadi di sekelilingnya.
Sehingga
dalam menempuh pendidikan harus memperhatikan tiga hal. Pertama, pendidikan tidak boleh meninggalkan spirit tradisional
yang bermuara pada nilai “selamet”. “Menjadi pinter dan terampil boleh asal
tetap selamet dunia dan akhirat,” serunya.
Berikutnya,
pendidikan harus berpijak pada aspek proses. Membeli maupun membajak skripsi merupakan
tindakan yang tidak menghargai proses pendidikan.
Terakhir,
pendidikan harus menempatkan keluarga sebagai posisi sentral. “Kesuksesan
pendidikan dipengaruhi perhatian orang tua,” jelasnya.
Proses
pendidikan Soekarno jelas dia diurus oleh ibu dan bapaknya. Begitu pula dengan
KH Wahid Hasyim yang saat itu hendak kursus bahasa Belanda di Surabaya didaftarkan
oleh orang tuanya. Sehingga ia meyakini orang yang sukses dalam pendidikan
tanpa dukungan orang tua berarti “sukses” dalam tanda kutip. (qim)