Senja di Kali Wiso - Soeara Moeria

Breaking

Sabtu, 30 Agustus 2014

Senja di Kali Wiso

Ilustrasi : google.
Cerpen: Kartika Catur Pelita
          
Siang beranjak sore. Pelataran Jepara Shooping Centre mulai ramai. Para Pedagang Kaki Lima mulai menggelar dagangannya di sana. Dulu kami menggelar dagangan di alun-alun kota  Jepara. Tapi semenjak Pemda menetapkan  alun-alun sebagai area tertutup untuk PKL, kami menurut pindah.

Toh kami sudah disediakan tempat yang layak di pelataran JSC yang luas, strategis pula tempatnya. Tak jauh dari alun-alun. Dekat jalan raya. Dekat pula  dengan Kali Wiso.

Kali lebar yang membelah Kota Jepara. Sungai  yang dulu airnya  kotor, Di bibir sungai orang jongkok baris pamer bokong ria. Brot. Plung-plung-plung.

Kali Wiso  kini telah bersih. Meski tirta  meski tak sejernih  puluhan tahun lalu,  ketika aliran  sungai ini, menjadi transportasi dan penduduk  sekitar juga menggunakan air untuk mandi dan kebutuhan  sehari-hari.

Zaman  sudah berbeda. Tapi Kali Wiso masih sedap dipandang.  Apalagi di sepanjang kali dibikin taman. Setiap sore banyak warga  yang menikmati sore dengan memancing ikan di  Kali Wiso atau sekedar duduk di bok sepanjang kali-sambil menikmati jajanan  yang  beraneka jenis di area  PKL. Jagung bakar, siomay, hingga minuman khas Jepara: gempol plered  dan adon-adon coro.

Satu jam yang lalu, Bang Sarah—tukang becak  langganan kami,  telah mendirikan tenda dan  mendorong gerobak ke pelataran Warung Tenda JSC.

Di sanalah  kami mangkal  untuk  berjualan Pindang Serani, Horog-horog pecel,  Gempol Plered dan Adon-adon Coro, kuliner khas Jepara
Aku segera membantu Bude. Menggelar tikar. Lalu menata makanan  kecil, bakwan, mendoan, kasturi, pisang goreng. Untuk teman makan gempol  plered dan adon-adon coro.

Baru selesai kami menata dagangan, pembeli sudah berdatangan. Pakde segera  melayani. Aku membantu mengantarkan pesanan. Sambil mereka menikmati hidangan aku  ke belakang, mencuci perkakas kotor. Aku sedang mengelap gelas ketika sepasang remaja putri itu selesai menikmati hidangan.

“Sudah nih  Mbak.”

“Makannya apa saja, Mbak?”

“Horog-horog pecel, es gempol dua, mendoan tiga, tahu isi dua. Kacang open  satu.”

Aku menjemput sejumlah uang yang harus dibayar. Pembeli  membayar  dengan uang besar. Pakde nyusuki, mengembalikan pecahan uang  pembeli.

Senja menebar, pembeli datang silih berganti.

Aku sedang mencuci mangkok, ketika aku bagai  melihat bayang Saprul di pelataran mangkok itu. Gila! Aku tiba-tiba teringat kenangan bersamanya.

 “Kerja apa ngelamun tah?”

 “Eh…Bude.”

“Kowe ngelamuni apa si Tum?”

 “Ora  ngelamun kok Bude.”

“Yow wis. Iki ana  gelas kotor, Tik. Cepat ya kalau sudah selesai bawa ke depan. Kamu menemani Bude melayani. Banyak pembeli.”

Aku mengangguk. Membenamkan bayang   Saprul ke dasar air sabun di dalam  ember tempat aku mencuci mangkok dan gelas kotor.
* * *

Pembeli datang dan pergi, seiring waktu. Kini  di depanku muncul sepasang muda-mudi berangkulan mesra memasuki warung tenda.

Memesan gempol plered dan adon-adon coro. Sejoli itu menikmati makanan sambil menebar  kemesraan. Sekilas memandang wajah si cowok yang simpatik, aku tiba-tiba teringat Saprul.

Saprul  tak berwajah tampan atau ganteng, tapi  simpatik, membuat aku tertarik,  tak bosan memandang raut wajahnya. Sosok yang tegap, khas  lelaki.

Saprul yang  dulu sering   mampir ke warung tenda  ini. Membeli segelas gempol  plered. Saprul  yang suka tersenyum padaku, menegurku,  lalu  menggodaku.  Aku merasa  ada sesuatu  yang hilang, bila sehari ia tak datang di warung tenda Pakdeku.

Aku merasa bahagia bila melihat Saprul. Aku merasa suka bila Saprul ada di sisiku.

Aku sedang sibuk mengupas kelapa untuk diambil santannya, ketika Pakde mengabari ada tamu mencariku.

 “Siapa… Pakde?”

“Mbuh!”

“Cowok ganteng suka beli gempol plered.” Bude tersenyum, menggoda. Entah apa maksudnya. “Temui sana. Biar Bude  yang memeras kelapa.”

Aku menurut. Aku merapikan bajuku. Rambutku kusisir. Hatiku tiba-tiba terasa berdebar. Kulihat Saprul berdiri di teras rumah kontrakan Pakde.

 “Asaalamu’alaikum….”

“Wallaiumsalaam.”

 “Dari mana, Mas?”

“Omah ae.”

“Kok tahu rumahku di sini?”

 “Aku menguntitmu ketika kamu pulang.”

Aku merasa resah. Sejauh ini Saprul ingin mengetahui keberadaanku? Tentu ada sesuatu dibalik  kedatangannya ini?

“Ada perlu apa kamu ke sini, Mas?”

“Main ae. Gak entuk tah.”

“Mmm. kamu gak kerja?”

“Inikan hari Jum’at. Aku libur!”

Oya? Aku tersenyum. Aku teringat kalau Saprul  kerja nukang. Sebagai tukang kayu. Setiap seminggu sekali,  hari Kamis  bayaran. Jum’at libur. Karena bos  seorang muslim. Hari Jumat bukan hari untuk bekerja. Hari Jum.at untuk  beribadah.

Lama  kami malah  terdiam. Hanya saling memandang. Entah  mengapa, aku bingung, harus ngobrol apa. Kulihat Saprul  juga begitu. Padahal aku selalu mengangankan, duduk  berdua, ngobrol bercanda bersamanya.  Bahagia. Tapi ketika kenyataan dan kesempatan   berdua ada mengapa aku seperti orang tolol dan gagu.

Tanpa tersadar aku menghela nafas. Aku memandang. Saprul.  Pas Saprul memandangku. Kami sama-sama tersipu.

 “Aku pulang, ya Mi.”

“Balek…?”

“Engko sore aku teko nok  warungmu.”

Aku hanya dapat  mengangguk. Saprul  pamit pada Pakde dan Bude.  Melambai. Punggung Saprul  hilang bersama deruman motornya.
* * *

Suatu senja Saprul  datang ke warung tenda.  Ia memesan  gempol  plered. Aku  melayaninya. Karena pembeli  belum ramai, aku  duduk di sisi Saprul. Ia menikmati gempol plered sampai   tandas.

Saprul tiba-tiba menyorongkan mangkok kosongnya. Matanya menunjuk pada sehelai kertas di dalam mangkok putih itu. Spontan aku membaca sebuah tulisan  tangan yang rapi.

Tulisan Saprul? Ternyata sebaris puisi romantis.  

Gerimis bayangmu menebar di kalbu
Hujan kerinduan ketika sedetik tak jumpamu
Mengenang seraut paras manismu
Tumi…      
I love you…

Aku tersipu. Saprul menatapku syahdu. Aku akhirnya mengangguk malu-malu.

Aku menerima cinta Saprul. Hari-hari cinta kami lalui berdua.

Beberapa malam Minggu ia apel ke rumah. Pakde dan Bude menerima  kedatangannya dengan  tangan terbuka. Karena Saprul lelaki yang baik. Ramah dan sopan. Tapi Pakde dan Bude belum mengizinkan ketika Saprul mengajakku  keluar. Jalan-jalan hanya berdua.

“Kau tanggungjawab kami, Tumi. Sejak kecil kami merawatmu. Kami menyayangimu.”

“Pakde bukan melarangmu bepergian bersama Saprul. Tapi lelaki  dan perempuan yang bukan muhrim pergi bedua, bukan hal yang baik dalam agama kita.”

 “Tumi ngerti, Pakde.”
Aku menurut. Bagiku, Pakde dan Bude adalah orangtua kandungku. Pengganti ayah dan ibuku yang telah tiada sejak aku kecil. Mereka pergi untuk selamanya ketika banjir bandang melanda desa  kami.
* * *

Kebetulan hari ini Pakde tidak berjualan. Pakde agak kurang enak  badan. Pakde beristirahat di rumah. Bude mengajakku belanja ke Swalayan.

 “Beli obat untuk Pakdemu, sekalian jalan-jalan. Sudah lama kan kamu tidak bepergian?”

Aku mengangguk.  Kami naik becak. Becak melaju menuju Swalayan yang berada di pusat kota Jepara.

Kami asyik berbelanja. Aku sedang memilih  buah apel untuk Pakde ketika sepasang lelaki istri  muda   melintas di depanku.

Pasangan muda bahagia  dengan baby diantara mereka. Wanita muda cantik dan seorang lelaki simpatik. Lelaki simpatik itu Saprul.

Aku merasa lemas. Ingin pingsan.  Bude yang melihat Saprul memberiku kekuatan. Beriringan kami pulang. Tak meneruskan belanja.
* * *

Kenyataan yang sangat menyakitkan. Saprul telah berkeluarga. Saprul  telah beristri. Saprul telah memilik anak. Semula aku  tak  mempercayainya. Aku berharap apa yang kulihat di Swalayan itu hanya mimpi.

Aku berharap kalaupun yang kulihat memang Saprul tapi wanita itu  adalah adik iparnya, atau adiknya  atau  teman Saprul! Bukan istri Saprul.

Tapi cerita  Sunardi, teman Saprul menguatkan kalau kenyataan pahit memang telah menorah di kehidupanku.

“Ada yang ingin aku ceritakan padamu, Tumi. Tentang Saprul. Sudah lama aku ingin  mengatakan hal ini padamu. Tapi aku wedi kowe ora percaya. Aku tak ingin Saprul selamanya membohongimu.”

“Apa maksudmu?”

“Ketahuilah Saprul telah menikah. Setahun yang lalu. Mereka telah memilik seorang anak.”

Hatiku terasa sakit. Ketika Saprul  tak mau mengakui belangnya di depanku.

“Maafkan aku, Mimi.”

“Jebule kowe wes duwe bojo. Apa maksudmu  sebenarnya, Mas?”

“Aku ora maksud mblituki kowe, Mi. Aku nunggu waktu seng tepat.”

“Bohong! Kau mau menjebakku!”

“Aku mencintaimu, Mimi.”
         
“Ngapusi! “
         
“Ngandelo, Mi.  Aku ancen  wes rabi. Nanging aku gak  mencintai bojoku.  Aku menikah tanpa cinta. Aku terpaksa menikah karena…”
         
“Pergilah, Mas. Jangan ganggu aku!”
         
“Tapi aku mencintaimu,  Mi.”
         
“Kalaupun kau mencintaku, tapi aku tak mencintaimu lagi, Mas. Aku pancen wong ndeso klutuk asli Purwodadi, nanging aku rak sudi diapusi.  Aku serik  cinta  yang dibaluri  dusta. Lungao, Mas Saprul. Ojo ganggu Tumi meneh…!”

Walau pun dengan hati terluka, aku rela melepas cinta pertama. Biar Saprul kembali pada wanita yang  telah  resmi menjadi miliknya. Aku wanita yang berperasaan. Aku tak mungkin merusak kebahagian sebuah  keluarga bahagia. Apapun alasan Saprul. Tak seharusnya  aku mempercayainya. Kalaupun Saprul benar menikah karena terpaksa dan tak mencintai istrinya, ini bukan urusanku.

Selamat tinggal cinta pertama. Semoga aku tabah menjalaninya.
* * *
         
Selembar kertas berisi  baris puisi cinta yang pernah diberikan Saprul padaku, sekian kalinya kembali kubaca. Setiap kali membaca goresan puitis itu aku selalu teringat Saprul.

Tak seharusnya  aku  selalu membaca puisi cinta itu.
         
Aku akan membakar kertas ini.  Aku ingin membakar semua kenanganku bersama Saprul.

Selembar kertas itu terjatuh, sepasang  tangan kokoh mengambilnya. Mengangsurkannya padaku. Tapi niat itu urung. Sepasang mata elang itu menatap barisan puisi.

Aku memandang Sunardi.

“Maape iku duwekku, soko  mas Saprul.”

“Kowe seneng puisi?”  Sunardi  menatapku. Seperti ada rahasia.

Aku mengangguk. Aku menunggu selembar kertas bersejarah itu diberikan padaku.

 “Kalau  kau  menyukainya aku akan menulis puisi  untukmu.”

“Kau bisa menulis puisi?’

“Puisi ini aku tulis, atas pesanan Saprul. Katanya  untuk gadis yang dicintainya. Gadis itu…”

Tenyata puisi yang diberikan padaku pun puisi palsu. Bukan puisi bikinan Saprul. Aku menunduk sedih. Apakah cinta yang diberikan padaku juga cinta palsu?

Alangkah kejam  dan  menyakitkan kalau kenyataannya  begitu.

Mataku kembali basah. Setetes air mata jatuh di ember tempat  aku mencuci piring dan mangkok.

“Tumi, mangkoknya sudah ada  yang  bersih. Cepat gih. Pembeli banyak.”

Aku buru-buru memintas lamunanku tentang Saprul. Aku buru-buru mencuci mangkok, melapnya  sampai bersih. Lalu membantu Bude melayani pembeli.

Aku menghela nafas lega, ketika pembeli terakhir terlayani. Pembeli lain belum datang.

Aku duduk dibelakang tenda, memandang. Kali Wiso.  Di  ujung cakrawala senja telah sempurna  datang. Langit hitam sebentar  lagi datang.  Entah malam ini langit berbintang atau gelap.

Inilah kehidupan. Pagi, siang senja, malam bergantian datang. Aku masih bisa menunggu kedatangannya selama kau masih ada.

Demikian pula dengan cintaku. Entahlah. Tapi  aku  yakin suatu hari akan datang lelaki  lain. Lebih baik dari Saprul. Aku akan menunggu lelaki cintaku. Tumo Tumini  akan menanti  lelaki yang membawa cinta apa adanya, sebenarnya tanpa dusta.
* * *
                                       
Kota Ukir, Oktober 2012-26 Agustus 2014
                                  

Catatan! Kali Wiso:  pada masa Hindia  Belanda,  Kali Wiso- sebagai sungai terbesar di Jepara, masih digunakan  untuk sarana transportasi air. 

Kartika Catur Pelita, penulis novel “Perjaka (Akoer, 2011). Tinggal di Jepara. Cerpen dan puisi dimuat di media cetak dan  online, lokal dan nasional.

1 komentar:

  1. Hiasi tray makanan Anda dengan desain yang lucu dan unik suka-suka Anda. Buat pelanggan Anda terkesan dengan Greenpack. Bagi yang butuh take away box bisa hubungi ane atau cek web ane.

    BalasHapus