![]() |
Ilustrasi : google. |
Siang beranjak sore. Pelataran
Jepara Shooping Centre mulai ramai. Para Pedagang Kaki Lima mulai menggelar
dagangannya di sana. Dulu kami menggelar dagangan di
alun-alun kota Jepara. Tapi semenjak
Pemda menetapkan alun-alun sebagai area
tertutup untuk PKL, kami menurut pindah.
Toh kami sudah disediakan tempat
yang layak di pelataran JSC yang luas, strategis pula tempatnya. Tak jauh dari alun-alun. Dekat jalan raya. Dekat
pula dengan Kali Wiso.
Kali lebar yang membelah Kota
Jepara. Sungai
yang dulu airnya kotor, Di bibir
sungai orang jongkok baris pamer bokong ria. Brot. Plung-plung-plung.
Kali Wiso kini telah bersih. Meski tirta meski tak sejernih puluhan tahun lalu, ketika aliran
sungai ini, menjadi transportasi dan penduduk sekitar juga menggunakan air untuk mandi dan
kebutuhan sehari-hari.
Zaman sudah berbeda. Tapi Kali Wiso masih sedap
dipandang. Apalagi di sepanjang kali
dibikin taman. Setiap sore banyak warga yang menikmati sore dengan memancing ikan
di Kali Wiso atau sekedar duduk di bok
sepanjang kali-sambil menikmati jajanan
yang beraneka jenis di area PKL. Jagung bakar, siomay, hingga minuman
khas Jepara: gempol plered dan adon-adon
coro.
Satu jam yang lalu, Bang Sarah—tukang
becak langganan kami, telah mendirikan
tenda dan mendorong gerobak ke pelataran
Warung Tenda JSC.
Di sanalah kami mangkal
untuk berjualan Pindang Serani,
Horog-horog pecel, Gempol Plered dan
Adon-adon Coro, kuliner khas Jepara
Aku segera membantu Bude.
Menggelar tikar. Lalu menata makanan
kecil, bakwan, mendoan, kasturi, pisang goreng. Untuk teman makan gempol
plered dan adon-adon coro.
Baru selesai kami menata dagangan,
pembeli sudah berdatangan. Pakde segera
melayani. Aku membantu mengantarkan pesanan. Sambil mereka menikmati
hidangan aku ke belakang, mencuci
perkakas kotor. Aku sedang mengelap gelas ketika sepasang remaja putri itu
selesai menikmati hidangan.
“Sudah nih Mbak.”
“Makannya apa saja, Mbak?”
“Horog-horog pecel, es gempol dua,
mendoan tiga, tahu isi dua. Kacang open
satu.”
Aku menjemput sejumlah uang yang
harus dibayar. Pembeli membayar
dengan uang besar. Pakde nyusuki, mengembalikan pecahan uang pembeli.
Senja
menebar, pembeli datang silih berganti.
Aku
sedang mencuci mangkok, ketika aku bagai
melihat bayang Saprul di pelataran mangkok itu. Gila! Aku tiba-tiba
teringat kenangan bersamanya.
“Kerja apa ngelamun tah?”
“Eh…Bude.”
“Kowe
ngelamuni apa si Tum?”
“Ora
ngelamun kok Bude.”
“Yow
wis. Iki ana gelas kotor, Tik. Cepat ya
kalau sudah selesai bawa ke depan. Kamu menemani Bude melayani. Banyak
pembeli.”
Aku
mengangguk. Membenamkan bayang Saprul ke
dasar air sabun di dalam ember tempat
aku mencuci mangkok dan gelas kotor.
* * *
Pembeli
datang dan pergi, seiring waktu. Kini di
depanku muncul sepasang muda-mudi berangkulan mesra memasuki warung tenda.
Memesan
gempol plered dan adon-adon coro. Sejoli itu menikmati makanan sambil
menebar kemesraan. Sekilas memandang
wajah si cowok yang simpatik, aku tiba-tiba teringat Saprul.
Saprul
tak berwajah tampan atau ganteng, tapi simpatik, membuat aku tertarik, tak bosan memandang raut wajahnya. Sosok yang
tegap, khas lelaki.
Saprul
yang dulu sering mampir ke warung tenda ini. Membeli segelas gempol plered. Saprul yang suka tersenyum padaku, menegurku, lalu menggodaku. Aku merasa
ada sesuatu yang hilang, bila
sehari ia tak datang di warung tenda Pakdeku.
Aku
merasa bahagia bila melihat Saprul. Aku merasa suka bila Saprul ada di sisiku.
Aku
sedang sibuk mengupas kelapa untuk diambil santannya, ketika Pakde mengabari
ada tamu mencariku.
“Siapa… Pakde?”
“Mbuh!”
“Cowok
ganteng suka beli gempol plered.” Bude tersenyum, menggoda. Entah apa
maksudnya. “Temui sana. Biar Bude yang
memeras kelapa.”
Aku
menurut. Aku merapikan bajuku. Rambutku kusisir. Hatiku tiba-tiba terasa
berdebar. Kulihat Saprul berdiri di teras rumah kontrakan Pakde.
“Asaalamu’alaikum….”
“Wallaiumsalaam.”
“Dari mana, Mas?”
“Omah
ae.”
“Kok
tahu rumahku di sini?”
“Aku menguntitmu ketika kamu pulang.”
Aku
merasa resah. Sejauh ini Saprul ingin mengetahui keberadaanku? Tentu ada
sesuatu dibalik kedatangannya ini?
“Ada
perlu apa kamu ke sini, Mas?”
“Main
ae. Gak entuk tah.”
“Mmm.
kamu gak kerja?”
“Inikan
hari Jum’at. Aku libur!”
Oya?
Aku tersenyum. Aku teringat kalau Saprul kerja nukang. Sebagai tukang kayu. Setiap
seminggu sekali, hari Kamis bayaran. Jum’at libur. Karena bos seorang muslim. Hari Jumat bukan hari untuk
bekerja. Hari Jum.at untuk beribadah.
Lama kami malah
terdiam. Hanya saling memandang. Entah
mengapa, aku bingung, harus ngobrol apa. Kulihat Saprul juga begitu. Padahal aku selalu mengangankan,
duduk berdua, ngobrol bercanda bersamanya.
Bahagia. Tapi ketika kenyataan dan
kesempatan berdua ada mengapa aku
seperti orang tolol dan gagu.
Tanpa
tersadar aku menghela nafas. Aku memandang. Saprul. Pas Saprul memandangku. Kami sama-sama
tersipu.
“Aku pulang, ya Mi.”
“Balek…?”
“Engko
sore aku teko nok warungmu.”
Aku
hanya dapat mengangguk. Saprul pamit pada Pakde dan Bude. Melambai. Punggung Saprul hilang bersama deruman motornya.
* * *
Suatu
senja Saprul datang ke warung
tenda. Ia memesan gempol
plered. Aku melayaninya. Karena
pembeli belum ramai, aku duduk di sisi Saprul. Ia menikmati gempol
plered sampai tandas.
Saprul
tiba-tiba menyorongkan mangkok kosongnya. Matanya menunjuk pada sehelai kertas
di dalam mangkok putih itu. Spontan aku membaca sebuah tulisan tangan yang rapi.
Tulisan
Saprul? Ternyata sebaris puisi romantis.
Gerimis
bayangmu menebar di kalbu
Hujan
kerinduan ketika sedetik tak jumpamu
Mengenang
seraut paras manismu
Tumi…
I
love you…
Aku
tersipu. Saprul menatapku syahdu. Aku akhirnya mengangguk malu-malu.
Aku
menerima cinta Saprul. Hari-hari cinta kami lalui berdua.
Beberapa
malam Minggu ia apel ke rumah. Pakde dan Bude menerima kedatangannya dengan tangan terbuka. Karena Saprul lelaki yang
baik. Ramah dan sopan. Tapi Pakde dan Bude belum mengizinkan ketika Saprul mengajakku keluar. Jalan-jalan hanya berdua.
“Kau
tanggungjawab kami, Tumi. Sejak kecil kami merawatmu. Kami menyayangimu.”
“Pakde
bukan melarangmu bepergian bersama Saprul. Tapi lelaki dan perempuan yang bukan muhrim pergi bedua,
bukan hal yang baik dalam agama kita.”
“Tumi ngerti, Pakde.”
Aku
menurut. Bagiku, Pakde dan Bude adalah orangtua kandungku. Pengganti ayah dan
ibuku yang telah tiada sejak aku kecil. Mereka pergi untuk selamanya ketika
banjir bandang melanda desa kami.
* * *
Kebetulan
hari ini Pakde tidak berjualan. Pakde agak kurang enak badan. Pakde beristirahat di rumah. Bude mengajakku
belanja ke Swalayan.
“Beli obat untuk Pakdemu, sekalian jalan-jalan.
Sudah lama kan kamu tidak bepergian?”
Aku
mengangguk. Kami naik becak. Becak
melaju menuju Swalayan yang berada di pusat kota Jepara.
Kami
asyik berbelanja. Aku sedang memilih
buah apel untuk Pakde ketika sepasang lelaki istri muda
melintas di depanku.
Pasangan
muda bahagia dengan baby diantara
mereka. Wanita muda cantik dan seorang lelaki simpatik. Lelaki simpatik itu Saprul.
Aku
merasa lemas. Ingin pingsan. Bude yang
melihat Saprul memberiku kekuatan. Beriringan kami pulang. Tak meneruskan
belanja.
* * *
Kenyataan
yang sangat menyakitkan. Saprul telah berkeluarga. Saprul telah beristri. Saprul telah memilik anak.
Semula aku tak mempercayainya. Aku berharap apa yang kulihat
di Swalayan itu hanya mimpi.
Aku
berharap kalaupun yang kulihat memang Saprul tapi wanita itu adalah adik iparnya, atau adiknya atau
teman Saprul! Bukan istri Saprul.
Tapi
cerita Sunardi, teman Saprul menguatkan
kalau kenyataan pahit memang telah menorah di kehidupanku.
“Ada
yang ingin aku ceritakan padamu, Tumi. Tentang Saprul. Sudah lama aku
ingin mengatakan hal ini padamu. Tapi aku
wedi kowe ora percaya. Aku tak ingin Saprul selamanya membohongimu.”
“Apa
maksudmu?”
“Ketahuilah
Saprul telah menikah. Setahun yang lalu. Mereka telah memilik seorang anak.”
Hatiku
terasa sakit. Ketika Saprul tak mau
mengakui belangnya di depanku.
“Maafkan
aku, Mimi.”
“Jebule
kowe wes duwe bojo. Apa maksudmu
sebenarnya, Mas?”
“Aku
ora maksud mblituki kowe, Mi. Aku nunggu waktu seng tepat.”
“Bohong!
Kau mau menjebakku!”
“Aku
mencintaimu, Mimi.”
“Ngapusi!
“
“Ngandelo,
Mi. Aku ancen wes rabi. Nanging aku gak mencintai bojoku. Aku menikah tanpa cinta. Aku terpaksa menikah
karena…”
“Pergilah,
Mas. Jangan ganggu aku!”
“Tapi
aku mencintaimu, Mi.”
“Kalaupun
kau mencintaku, tapi aku tak mencintaimu lagi, Mas. Aku pancen wong ndeso
klutuk asli Purwodadi, nanging aku rak sudi diapusi. Aku serik cinta
yang dibaluri dusta. Lungao, Mas
Saprul. Ojo ganggu Tumi meneh…!”
Walau
pun dengan hati terluka, aku rela melepas cinta pertama. Biar Saprul kembali
pada wanita yang telah resmi menjadi miliknya. Aku wanita yang
berperasaan. Aku tak mungkin merusak kebahagian sebuah keluarga bahagia. Apapun alasan Saprul. Tak
seharusnya aku mempercayainya. Kalaupun Saprul
benar menikah karena terpaksa dan tak mencintai istrinya, ini bukan urusanku.
Selamat
tinggal cinta pertama. Semoga aku tabah menjalaninya.
* * *
Selembar
kertas berisi baris puisi cinta yang
pernah diberikan Saprul padaku, sekian kalinya kembali kubaca. Setiap kali
membaca goresan puitis itu aku selalu teringat Saprul.
Tak
seharusnya aku selalu membaca puisi cinta itu.
Aku
akan membakar kertas ini. Aku ingin
membakar semua kenanganku bersama Saprul.
Selembar
kertas itu terjatuh, sepasang tangan
kokoh mengambilnya. Mengangsurkannya padaku. Tapi niat itu urung. Sepasang mata
elang itu menatap barisan puisi.
Aku
memandang Sunardi.
“Maape
iku duwekku, soko mas Saprul.”
“Kowe
seneng puisi?” Sunardi menatapku. Seperti ada rahasia.
Aku
mengangguk. Aku menunggu selembar kertas bersejarah itu diberikan padaku.
“Kalau
kau menyukainya aku akan menulis
puisi untukmu.”
“Kau
bisa menulis puisi?’
“Puisi
ini aku tulis, atas pesanan Saprul. Katanya
untuk gadis yang dicintainya. Gadis itu…”
Tenyata
puisi yang diberikan padaku pun puisi palsu. Bukan puisi bikinan Saprul. Aku
menunduk sedih. Apakah cinta yang diberikan padaku juga cinta palsu?
Alangkah
kejam dan menyakitkan kalau kenyataannya begitu.
Mataku
kembali basah. Setetes air mata jatuh di ember tempat aku mencuci piring dan mangkok.
“Tumi,
mangkoknya sudah ada yang bersih. Cepat gih. Pembeli banyak.”
Aku
buru-buru memintas lamunanku tentang Saprul. Aku buru-buru mencuci mangkok,
melapnya sampai bersih. Lalu membantu Bude
melayani pembeli.
Aku
menghela nafas lega, ketika pembeli terakhir terlayani. Pembeli lain belum
datang.
Aku
duduk dibelakang tenda, memandang. Kali Wiso.
Di ujung cakrawala senja telah
sempurna datang. Langit hitam sebentar lagi datang.
Entah malam ini langit berbintang atau gelap.
Inilah
kehidupan. Pagi, siang senja, malam
bergantian datang. Aku masih bisa menunggu kedatangannya selama kau masih ada.
Demikian pula dengan cintaku. Entahlah.
Tapi aku yakin suatu hari akan datang lelaki lain. Lebih baik dari Saprul. Aku akan
menunggu lelaki cintaku. Tumo Tumini akan menanti
lelaki yang membawa cinta apa adanya, sebenarnya tanpa dusta.
* * *
Kota Ukir, Oktober 2012-26 Agustus 2014
Catatan! Kali Wiso: pada
masa Hindia Belanda, Kali Wiso- sebagai sungai terbesar di Jepara,
masih digunakan untuk sarana transportasi air.
Kartika
Catur Pelita, penulis novel “Perjaka (Akoer, 2011). Tinggal di Jepara. Cerpen
dan puisi dimuat di media cetak dan
online, lokal dan nasional.
Hiasi tray makanan Anda dengan desain yang lucu dan unik suka-suka Anda. Buat pelanggan Anda terkesan dengan Greenpack. Bagi yang butuh take away box bisa hubungi ane atau cek web ane.
BalasHapus