Notification

×

Iklan

Iklan

Surat Kecil Untuk Humairah

Jumat, 24 Mei 2024 | 23:11 WIB Last Updated 2024-05-24T16:11:35Z

 

Ilustrasi : nusantaranews.co


Cerbung : Fikri Hailal 


Bag. 2 Perjumpaan


“Semua yang terjadi di muka bumi ini, tidak ada yang kebetulan. Termasuk perjumpaan kita ini.

Asam di gunung, garam di lautan, dan berpisah di pelelangan.


Di mana ujung rindu, di saat diriku tiada kunjung menemukanmu?”. 


(Bukan Atsar Sahabat)


“Hei Sri Arumi, perkenalkan namaku Muhammad Zaid Al-Hanif,” sapaku pertama kali pada Humairah Sri Arumi.


Perjumpaan pertama di sekolah SMA Darunnajah, membuat hatiku sedikit linglung. Benar, sayang beribu sayang. Ibarat gayung tak bersambut. Tangan yang dari tadi ku sodorkan, tak kunjung dia jabat.


* * * 

Zaid: “Arumi mau ke mana? Kau belum menjabatku, tolong berhenti, heeeiii”.


Arumi: “Mohon maaf, kau yang tolong berhenti”.


Aku pun berhenti sembari memandanginya. Lambat laun bayang-bayang kakinya semakin menjauh dan hilang dibalik lorong-lorong sekolahan.


“Aigo, anggun sekali langkah kakinya. Bagai tuberosa yang mekar indah dihening malam. Aku masih ingat senyumnya dan akan selalu ingat. Yah, hari rabu kemarin,” lamunku sambil tersenyum mengagumi bayang-bayangnya yang telah menghilang di ujung ruang.


“Lusa depan, kan ku temukan kelasmu,” gumanku dalam hati.


* * *

Selasa, Februari 201*, genap satu pekan berlalu. sejak diriku pindah sekolah di Darunnajah. Inilah pertama kali, bapak datang ke sekolahan karena dapat surat undangan dari kepala sekolah, “Yah apalagi, aku bikin masalah. Maaf pak.”


Dari gerbang sekolah, terlihat raut wajah beliau lumayan masam dan kurang harmonis. Setelah cium tangan, kami berdua masuk kedalam kantor sekolahan. 


Di ruangan ini ada beberapa guru, wali murid dan para siswa yang sempat ikutan adu balong (berantem). Rapat kali ini lumayan panas, karena AC kantor rusak dan kipas angin konslet. Tapi bukan itu yang membuat suasana ruangan begitu panas. Akan tetapi, karena beberapa dari kami para siswa beradu argumen dengan siswa lain.


“Apa ya namanya? Oh iya, perang urat syaraf,” batinku mengingat-ingat sebutan suasana kali ini dari buku ilmu komunikasi yang pernah kubaca. Sebenarnya istilah ini adalah sebutan dalam ilmu komunikasi untuk para paslon yang sedang asyik debat kusir dan mengobok-obok emosi satu sama lain.

Jadi gini, semua berawal dari ucapan putranya adik pak kiai, yang dirasa tidak enak didengar oleh kami para santri yang kebetulan satu sekolah dengan beliau.


* * *

“Heh, kamu anak baru po? Kok ndak sopan banget. Sini-sini, perlu pendadaran dulu ini.”


Kami yang kebetulan anak baru dan tidak tahu apa-apa hanya bisa ngikutin instruksi beliau. Dan sampai lah disaat kami tidak bisa membendung amarah, karena ucapan beliau.


“Lho kamu itu siapa? Heee kamu ndak tahu saya tah? Harusnya kalian bersyukur di pesantren kami. Soalnya ini menandakan, kalo bapak ibukmu nggak becus ngurus kamu, nggak mampu didik kamu seperti orang tuaku. Makanya kalian di telantarkan di pesantren haha. 

Jadi kamu harus hormat sama saya.”


Dan pembicaraan nggak enak pun merembet kemana-mana sampai banding-bandingin nasab, keturunan, dan status sosial.


“Lho maaf Gus, maksudnya gimana ya? Ndak usah bawa-bawa nasab pun kami sudah tahu status njenengan. Tapi maksudnya gimana kok sampai nyangkut orang tua?” protesku pada beliau.

Plaakkkk, satu tamparan mendarat di pipi kiriku.


“Kamu itu ya, paham nggak sama keadaan? Orang tuamu gimana sih didiknya? Jangan-jangan orang tuamu...,” ucap mas Faza.


“Oiiiiii asuuuu mata kau. Coba ulangi celeenggg...”

 

Satu pukulan mendarat. “Pluuukkk,” terpaksa ku pukul beliau.


“Panteeekkk, otakmu dimana? Gelot ayo. Nggak usah bawa-bawa orang tua. Nggak peduli aku, meskipun kamu ponakannya pak kyai”, makiku pada beliau dan lanjut ku tendang beliau.


Kami pun berantem dan berujung berkelahi rame-rame. Karena sebagian santri yang sekolah disana, ternyata banyak juga yang sakit hati dengan perilaku beliau yang seolah-olah nge-Gus dan berprilaku sewenang-wenang.


* * *

Kami semuanya berujung dipanggil ke kantor sekolah. Setelah disidang oleh bapak kepala sekolah dan BK yang lumayan panjang dan lama. Beberapa anak yang ikut insiden tersebut, akhirnya di pulangkan cepat dan mendapat skorsing beberapa hari, termasuk diriku. Adapun Shodiq dan beberapa kang-kang pondok masuk UKS sekolah. Karena kebetulan, ada beberapa luka memar dari mereka yang membutuhkan pengobatan pertama.


* * * 

“Mungkin kita semua berpikiran sama. Siapa yang tidak naik darah, apabila orang tua, guru, saudara, atau mungkin teman kita di jelek-jelekin? Pasti sama, salam olah raga jawabannya. Karena apa-apa yang paling enak untuk menyelesaikan sebuah masalah adalah dengan cara rujak tangan alias kekerasan,” pikirku tadi.


“Kang gimana? Aku takut kena marah pak kiai nanti,” tanya kang Shodiq ketakutan karena ponakan pak kiai Sholichin sudah kami pukul pelipisnya.

“Halah, nanti tinggal bilang saja toh. Kamu juga tadi digitukan masak nggak emosi sih? Jujur kalau aku udah emosi tadi. InsyaAllah pak kiai bijak lah orangnya,” jawabku menenangkan kang Shodiq.


“Bagaimana kumengikutimu mas? Jika perilakumu tak mencerminkan seperti akhlaknya bapak atau kakekmu? Ya wajar toh, kalau kami membelot”, grundelku dalam hati mengenai mas Faza, sebenarnya aku juga takut seperti kang Shodiq. Karena posisiku adalah santri baru yang umurnya belum sampai 40 hari di pondok pesantren.


* * *

Bapak menggandengku dengan lembut setelah keluar dari kantor sekolahan, “Ikut bapak sebentar ya nang, sebelum kembali ke pondok,” ajak bapak.


Kebetulan bapak datang ke sekolah naik motor Astrea Impressa keluaran 2000. Sehingga perjalanan lebih cepat sampai tujuan.


“Pak, mau ke mana? Kok masuk komplek pemakaman umum”, pikirku saat ini menerka-nerka, setelah parkir motor.


Aku tetap mengikuti beliau, memasuki kompleks makam yang sepertinya adalah makam kompleks keluarga yang luas. Mungkin ukurannya kisaran ½ hektar persegi. 


Setelah disuruh menunggu, aku pun mengamati bapak dari kejauhan yang sedang berbincang-bincang dengan seorang kakek yang belum pernah ku temui sebelumnya. 


Rumah beliau begitu teduh, khas bangunan rumah joglo limas ala Jawa tahun 70-an.

Bapak melambaikan tangan, pertanda menyuruhku untuk mendatanginya.


“Ayok nang, tak ajak ke tempat dekat belik  situ sebentar sambil nunggu mbahhe keluar dari rumah. Mangkeh sungkeman ya sama beliau pas udah dating. 

 

(Ayo nak, bapak ajak ke tempat sana dekat belik. Sembari menunggu simbah keluar dari rumahnya. Nanti cium tangan sama beliau,ketika beliau sampai sini),” pesan bapak padaku.


* * * 

“Cah bagus, sampean putra mbareppe bapak tah?


(Anak ganteng, kamu putra sulungnya bapak ya?”, tanya simbah kepadaku. Entah siapa beliau, aku juga belum kenal.


“Ndak usah gusar. Kulo nggeh simbahmu. Dadi, ibukmu itu ponakanku dan simbahmu ya kakangku. Soale wong tuane kulo sama wong tuanipon simbahmu itu kakak adik, sekandung. 

(Tidak usah takut, saya ini kakekmu. Jadi, ibumu itu ponakanku dan kakekmu adalah kakakku. Sebab orang tua kami berdua adalah kakak adik kandung),” jelas beliau.


Yak apa simbah ini, malah bingungi ceritanya wkwkw.


“Owh nggeh mbah nggeh. Terus bagaimana ya mbah?😅🙏🏻

(Owh iya mbah iya. Lalu bagaimana ya mbah?”, tanyaku meyakinkan beliau.


Setelah itu beliau mengeluarkan lembaran kain putih dari peti kecil yang bertuliskan nama-nama seseorang.


“Apaan ya itu? Sejarah? Daftar hadharah? Atau silsilah...?” dekkk seketika seperti ada kemistri dan desir-desir keringat dingin yang membuatku sedikit mengernyitkan dahi ketika terlintas dalam benakku mengenai kata silsilah.


Masih dengan pertanyaan yang sama dan rasa penasaran yang sama.


Setelah mengeluarkan selembar kain putih mirip kafan. Ternyata didalam kain tersebut ada selembar kertas yang lumayan usang.


“Nang cah bagus, cubi di wahos niki daftar nama-nama ipon. 


Nak cah ganteng, coba ini dibaca daftar nama-namanya”, ujar kakek tua yang mengaku adiknya simbah dari ibuk.


“Waduh kok aksara Jawa mbah? 😅🙏🏻”, protesku sopan kepada kakek tersebut.


“Ya udah sebentar, kakek ada salinan dari tulisan pegon. Tunggu sebentar disini sama bapakmu”, terang beliau.


Setelah lumayan menunggu. Akhirnya beliau datang kembali membawa peti kecil yang dibungkus kain putih mirip kain kafan juga. Perlahan beliau buka dan keluarkan isinya.


“Coba yang ini cah bagus, dibaca dulu daftar nama-nama tersebut,” semangat kakek tersebut menyodorkan kertas kepadaku.


* * * 

Setelah diam dan merenung begitu lama. Kulihat wajah bapak, kemudian Kakek yang sedari tadi memandangiku.


“Pripon cah bagus, sampon dipon woco sejarah singkat dan nama-nama tersebut? Nopo taseh mamang?


(Bagaimana cah bagus, apakah sudah dibaca sejarah singkat)


Semisal kamu mau melanjutkan tabiatmu yang seperti ini, monggo (silakan). Tapi mohon sangat, demi menjaga tradisi keluarga. Nyuwun dipon kirangi (tolong dikurangi) sedikit-sedikit nakalnya nggeh anakku?


Estu, mbahe mboten goroh. Bapakmu juga nggeh sami. 


(Sumpah, kakek tidak bohong. Bapakmu juga sama).


Pokok, sampean mondok seng temen ora mesti kudu dadi wong pinter. Sing penting sampean mempeng lan temen olehe nuntut ilmu. Diterusne nggeh perjuangane simbah-simbahhe awak dewe. 


(Pokoknya kamu mondok yang serius tidak harus jadi orang pintar. Yang penting kamu tekun dan giat dalam mencari ilmu. Diteruskan ya, perjuangannya para sesepuh kita),” tutur beliau.

“Tapi mbah, ngapunten. Njenengan tahu daftar jalur keturunan ini darimana?


(Tapi kakek, mohon maaf. Kakek tahu daftar jalur keturunan ini darimana?” tanyaku kepada beliau.


“Nak Zaid, nanti pas umurmu sudah genap. Simbah ajak ke suatu tempat. Setidaknya untuk sekarang, kamu sudah tahu dulu asal usul leluhurmu. Biar kamu semakin mantep untuk tholabul ilmi. 


Diemut-emut, niki dicekeli temenan dawuhhe mbah Syarafuddin Yahya Al-Umrithi. 


(Diingat-ingat, ini dipegang dengan erat dawuhnya mbah Syarafuddin Yahya Al-Umrithi):


إِذِ الْفَتَى حَسْبَ اعْتِقَادِهِ رُفِعْ # وَكُلُّ مَنْ لَمْ يَعْتَقِدْ لَم يَنْتَفِعْ


“Karena derajat seorang pemuda diukur dari keyakinannya,  dan bagi siapapun yang tidak yakin, maka tidak akan bisa mengambil manfaat”.


Dadi sampean kudu yakin lan siap kanthi manah legowo. Bilih anane sampean, diwenehi weruh nggeh mboten tanpo sebab cucuku. Mpon bismillah, alon-alon mawon. Dipon tampi kanthi ikhlas legowo nggeh amanah ipon. 


(Jadi kamu harus yakin dan siap dengan hati yang legowo. Bahwa adanya kamu, dikasih tahu ya bukan tanpa sebab cucuku. Ya sudah bismillah, pelan-pelan saja. Diterima dengan ikhlas legowo ya amanahnya).”


Mendengar jawaban dari beliau, dalam benakku benar-benar kalut, bahkan sekalut-kalutnya. Isi pikiranku semakin semrawut, protes sana sini, “kenapa harus diriku? Bukannya masih banyak anak cucunya beliau yang potensinya lebih dariku? Asu tenan kok, yaa Allah yaa Allah 😭”, protesku dalam hati.


“Nang Zaid, bentuk khidmatnya bapak kepada anak-anak, amanah dari-Nya. Yaitu ngeramut (menjaga) anak-anaknya bapak ya melalui jalur ini, mondok dan menyekolahkan anak-anak,” tutur bapak di sampingku yang dari tadi sudah menyalakan rokok refill premium.


“Hidup kok kadang ruwet ya pak”, keluhku kepada bapak.


“Halah, ndak apa-apa. Anak laki-laki itu harus tatag dan bakoh. Bapak dulu pas dapat ibukmu juga gitu, hampir-hampir mandi getih sama keluarga sendiri. Tapi bapak husnudzon bahwa ibukmu ya istimewa. Makanya bapak maju tanpa ada rasa gusar dihati. Wes tah, dijalani wae (Sudah, dijalani saja). Terus pesennya bapak, sebenarnya keluarga kita itu orang terpandang. Berhubung keramatnya cuma rata-rata sezaman, seolah-olah habis di buyut-buyutmu. Kamu harus punya keyakinan kuat, bahwa kamu bisa membangkitkan kejayaan keluarga kita. Kejayaan yang sempat vakum. Dan satu lagi, bapak pesen kamu jangan kumaluhur (sombong), tetap tawadhu andap ashor. Meskipun kamu sekarang sudah tahu status siapa dirimu,” begitulah pesan bapak kepadaku. (08)


Bersambung***

close close