![]() |
Ilustrasi : Google |
Oleh : Sumanto Al Qurtuby
Saya amati setidaknya ada tiga
kelompok atau kubu umat Islam yang kontra terhadap diskursus pemimpin
non-Muslim. Pertama, adalah "kelompok fiqih". Yang saya maksud
dengan "kelompok fiqih" adalah para ulama, kiai atau "calon
kiai" yang ahli Hukum Islam (fiqih) yang mendasarkan
pemikiran-pemikirannya berdasarkan teks-teks keislaman, khususnya Al-Quran,
Hadis, dan kitab-kitab tafsir dan fiqih, khususnya "fiqih siyasah"
(fiqih politik).
Dalam banyak hal, mereka ini
"murni" pertimbangan keagamaan-keislaman, meskipun tentu saja ada
sejumlah pengecualian di sana-sini.
Dengan kata lain, karena mereka
menemukan sejumlah teks utama dalam Islam serta pendapat para ulama/ fuqaha
klasik yang melarang non-Muslim sebagai "pemimpin
politik-pemerintahan", maka mereka pun "ittiba'" atau taat/ mengikuti
apa yang tertuang dalam teks-teks keagamaan itu.
Hanya saja perlu dicatat, karena
ayat-ayat Al-Qur'an, Hadis dan teks-teks klasik Islam itu "tidak
tunggal" atau "seragam", maka banyak pula ulama dan fuqaha
kontemporer yang berbeda pendapat mengenai status kepemimpinan non-Muslim ini.
Para ulama Al-Azhar, Mesir, misalnya
tidak mempermasalahkan umat Islam untuk memilih pemimpin pemerintah non-Muslim
karena buat mereka kata "auliya" itu tidak mengacu pada
"pemimpin politik-pemerintahan".
Para kiai NU dan pimpinan pondok
pesantren juga berselisih pendapat mengenai status atau wacana kepemimpinan
non-Muslim ini. Saya juga pernah memosting di Facebook tentang sejumlah
pemimpin politik (presiden, gubernur, walikota, dlsb) non-Muslim di daerah yang
mayoritas penduduknya adalah Muslim seperti Palestina, Lebanon, dlsb. Itu
artinya, umat Islam (termasuk para ulamanya) berbeda pendapat dalam masalah
ini.
Kelompok kedua adalah “kelompok
politik”. Kelompok ini bisa berbentuk ormas atau tokoh-tokoh agama maupun orpol
atau tokoh-tokoh politik, aktivis parpol, dlsb. Apa pun “baju” yang mereka
pakai atau “bendera” yang mereka kibarkan, tetapi yang jelas muaranya adalah
kepentingan politik praktis kekuasaan.
Lalu apa bedanya antara “kelompok
politik” ini dengan “kelompok fiqih” tadi? Bedanya adalah jika “kubu fiqih” itu
biasanya stabil atau konsisten dalam berpendapat karena memang pendapat mereka
dibangun atau didasarkan pada pemahaman atau tafsir atas sejumlah teks-teks
yang sifatnya konstan, stabil, tidak berubah-ubah. Sementara itu, “kubu
politik” ciri-ciri utamanya adalah bersifat labil atau tergantung pada
situasi-kondisi yang menguntungkan dari aspek politik dan ekonomi. Kelompok ini
mengikuti arah kemana angin bertiup.
Dengan kata lain, “kelompok politik”
ini, kira-kira, lebih menggunakan pertimbangan “dalil rational choice
theory” ketimbang teks-teks keagamaan.
Bahwa sebagian dari mereka
menggunakan dalil-dalil keislaman itu memang ya. Tetapi penggunaan dalil-dalil
agama itu hanyalah sebagai “jalan”, sarana, atau untuk “sasaran antara” saja.
Sementara tujuan atau sasaran utamanya ya untuk mendapatkan “sesuatu”, kata
Syahrini. Jelasnya, agama dipakai sebagai “kendaraan politik”.
Bagaimana dengan “kelompok ketiga”?
Kelompok ketiga ini, sebut saja “kelompok nasbung” yang paham agama tidak,
pinter politik juga bukan. Tetapi kubu ini sebetulnya yang mayoritas, yang
hobinya teriak-teriak “Allahu Akbar” tetapi tidak jelas jelunterungnya.
Banyak dari mereka ini sebetulnya
tidak mengerti apa-apa “apa yang sebenarnya” terjadi. Mereka hanya dimobilisir
saja oleh kelompok elit-menengah (“kubu politik” tadi), sebagian dikasih “uang
recehan”, sebagian lagi diiming-imingi surga.
Jika diibaratkan sebuah piramid,
maka “kubu nasbung” ini menempati pada posisi paling bawah. Mereka
gerudak-geruduk kesana-kemari, teriak-teriak kenceng-kenceng tapi sebetulnya
otaknya kosong melompong tak berisi. Sebagai bekas “komandan demo”, saya paham
betul dengan “psikologi massa” dan situasi beginian. (ed)
source : sumanto al qurtuby