Sudah
jamak diketahui bahwa Malang adalah salah satu kota pendidikan di Indonesia. Ya,
tentu saja karena banyaknya jumlah
kampus dan jutaan mahasiswa yang datang dari berbagai pelosok negeri.
Pendidikan
yang merupakan jembatan menuju peradaban, tidak lepas dari peran buku dan
perpustakaan. Karena intelektualitas adalah ilusi tanpa melewati hal tersebut.
Namun,
wacana itu tidak bersambut nyata setidaknya dalam mata seorang Halimah
Garnasih. Perempuan asli Malang yang telah lama berkecimpung di dunia
kepenulisan selama tinggal di Yogyakarta
merasa bahwa Malang sebagai kota pendidikan merupakan suatu hal yang kosong
tanpa makna.
Penilaian
itu, setidaknya ia dapatkan setelah berkeliling ke kampus-kampus di Malang.
Alih-alih melihat sekumpulan mahasiswa dengan buku di tangan saat istirahat
sebagaimana pemandangan yang kerap ditemukannya di kampus-kampus Jogja.
Perempuan
ini melihat sebuah Mall yang berdiri tinggi tepat di depan salah-satu kampus.
Sebuah Mall yang sangat akrab di telinga para mahasiswanya dan menjadi tempat
nongkrong mingguan.
Halimah
Garnasih bersama teman dosen di STAB Batu Malang, Efi Latifah, mulai menyalurkan
kegelisahan itu. Kedua perempuan yang sama-sama berlatar akademisi sastra juga
aktifis literasi mulai menyapa para pelajar di MAN I Malang, Sabtu (09/10/16).
Di
kelas XI Ilmu Budaya dan Bahasa, Efi Latifah memberikan materi Pengantar
Antropologi Sastra yang menjadi materi integratif Antropologi dan Sastra.
Pelajar
tampak berminat dan senang difasilitasi oleh pemateri yang memiliki pengalaman
praktis di dunia ini. Efi Latifah sering melakukan penelitian sastra dan telah
banyak membimbing para mahasiswanya di bidang ini.
Kelas
IX IBB ini akhirnya menjelma kelas yang lebih bergairah saat Halimah Garnasih
mulai beraksi. Perempuan ini lebih terkesan sebagai seorang seniman di mata
pelajar dan para guru di MAN I Malang ini.
“Sepatu
kulitnya nyentrik dan vintage khas seniman,” ujar Sisko seorang guru pendatang
yang hari itu juga kebagian masuk di salah satu kelas. Salah seorang pelajar
juga menyatakan senang karena ngajarnya enak.
Pengalamannya
menjadi Fasilitator di Komunitas Matapena Yogyakarta memang sudah tidak diragukan.
Komunitas yang dikenal sebagai komunitas penulis pesantren ini juga sangat
diakui sebagai komunitas paling kreatif.
“Mungkin
karena kami basicnya santri, yang saat di Pesantren dengan realitas seperti
itu, membuat kami menjadi kreatif. Santri itu unik!” ungkap Halimah, alumni
pesantren Raudlatul Ulum I Ganjaran Gondanglegi Malang.
Komunitas
Matapena memang memiliki banyak metode kreatif dalam setiap pelatihan
kepenulisan. Setiap pelatihan selalu menggunakan metode kreatif yang berbeda,
menyesuaikan peserta pelatihan. Baik dari segi umur, pengetahuan tentang sastra,
bahasa, unsur antropologi dan seterusnya.
Halimah
Garnasih menyampaikan materi Sastra Antropologi dengan metodenya yang khas, sembari
masuk pada tujuan dasarnya: Menumbuhkan ghiroh melek literasi. Halimah
semakin bersemangat saat wakil kelas mengabarkan bahwa tugas akhir pelajar di
sini adalah membuat cerpen dan novel. Suatu hal yang unik di mata Co. Divisi
Pendampingan dan Pelatihan Komunitas Matapena ini.
“Terimakasih
untuk kedua pemateri. Anak-anak terlihat sangat semangat sekali ingin membaca
dan menulis,” ungkap Ayu, guru Antropologi.
“Saya
sebagai guru Bahasa Indonesia sangat terbantu oleh mbak Halimah,” sahut Zakiya,
guru Bahasa Indonesia menambahkan. (ed)