Kemudian ia menerangkan
dirinya shalat Dhuha 5 rekaat. Saat sosok itu menyebut ia “Awwoh” sontak
dirinya menciumi tangan lelaki yang tidak kelihatan mukanya itu.
“Dhol ibadah kamu sekarang tambah rajin. Aku akan menambah
kamu nikmat,” ucap si tamu seraya meminta kopi hangat dan ketela.
Dholi kian percaya dengan tamu yang datang ke kediamannya
malam-malam adalah “Awwoh” sebab menurutnya tidak semua orang akan ditemui. Singkat
kisah, sosok itu menjanjikan akan mengangkat derajat dengan memberikan
bidadari-bidadari nan cantik dan masih banyak lagi.
Tetapi lelaki tua itu memberikan beberapa persyaratan. Pada
pagi hari pak tua meminta Dholi berjalan ke selatan menuju pasar Welahan—salah satu
pasar di Jepara. Disana ia diminta untuk memakai hem, celana yang panjang dan
pendek. Sandal yang dipakai juga demikian yang tidak sama.
Yang terpenting juga diminta mengenakan celana dalam diluar.
Meski persyaratan yang terakhir sempat dimentahkan Dholi tetapi lambat laun bisa
menerimanya. Sosok itu pun kemudian pindah ke rumah Hadi.
Di rumah Hadi sosok yang sama mengaku “Awwoh”. Sontak M Hadi
membanting sosok yang mengaku “Awwoh” tersebut. Setelah terjatuh sosok tua itu
membeberikan ia adalah guru ngajinya yang mengetes kedua santrinya. “Aku
gurumu Had,” jelasnya seraya membuka sorban yang menutupi kepalanya.
“Sebenarnya aku ingin mengetes santri-santriku dengan
mengaku “Awwoh”. “Awwoh” artinya gresulo. Kalo Allah itu pengeran,
dzat yang menciptakan makhluk dan mengatur segalanya,” imbuh kiai sembari menerangkan
beliau juga datang ke rumah Dholi.
Ya, begitulah sepenggal kisah Ketoprak Remaja: “Awwoh”
Mangan Telo lan Ngombe Kopi yang diperankan para santri majelis pendidikan
Islam “Roudlotul Muhibbin” desa Gidangelo kecamatan Welahan, Jum’at (8/3). Kegiatan
juga bersamaan dengan harlah majelis pendidikan juga Haul Syekh Abdul Qadir
Al-Jilani dan Haul Massal.
Pertunjukan yang ditonton ratusan orang menceritakan 2 tokoh
Dholi Amali (sesat amalnya) dan M Hadi (sang pemberi petunjuk). Keduanya sama-sama
pernah mengenyam pendidikan yang sama. Meski Dholi terbilang anak seorang “kiai”
tetapi ia sering ngaku-ngaku—anak kiai padahal secara kualitas keilmuwan
masih sangat minim; baca alqur’an sering keliru, tidak paham rekaat shalat, mensahalati
mayit memakai qamat, rukuk dan sujud maupun banyak keganjilan-keganjilan lain.
Usut punya usut ternyata Dholi saat mondok tidak
pernah mendengarkan, saat mutholaah kitab sering joged sendiri dan
maniak sekali dengan PS. Alhasil, boyong dari pondok Dholi jadi “kiai”
yang dikiai-kiaikan; baunya selalu harum, berjenggot dan berserban. Sedangkan
Hadi adalah guru madrasah yang apa adanya.
Melalui ketoprak remaja tersebut menurut nara tor,
Nailis ingin mengajak santri selain patuh dan taat kepada guru; sebagai santri
juga harus mengamalkan ilmunya ke tengah-tengah masyarakat tanpa didasari dengan
kesombongan dan sifat-sifat tercela yang lain. (qim)