![]() |
Ilustrasi : google |
Cerpen Kartika Catur Pelita
Kelopak mataku
belum terbuka sempurna, ketika aku melihat Isna, istriku terpekik riang sambil
mengacungkan test pack di tangannya.
“Aku hamil, Mase!”
Dia menubrukku, menciumi tubuhku. Aku tergugu, duduk di bibir ranjang dan
memicingkan mata, mengusir kantuk, membuka mata sempurna. Sinar bagaskara pagi
menerobos kisi-kisi jendela kamar tidur. Sesaat aku melonjak, memeluk istriku
tercinta.
“Apa kau bilang
tadi? Kau hamil, Sayang?”
“Ya, Mase. Aku
hamil!” Isna seperti menjerit di telingaku. Aku masih duduk di dipan,
mencangkung, merasa bahagia mendengar kabar ini, tapi sesaat aku menghela nafas
panjang.
“Ada apa, Mase?”
“Kita periksa ke
dokter, Dik. Aku takut seperti kemarin. Kau bilang telat dan dapat. Tapi nyatanya...”
“Kali ini beda,
Mase. Firasatku mengatakan, aku benar-benar hamil. Apalagi aku tiba-tiba ingat
mimpi Ibu beberapa hari lalu...”
“Ibu mimpiin
apa?”
Aku bangkit dan
membuka jendela besar yang menaungi kamar tidur. Pohon rambutan yang mulai berbuah terlihat
indah. Pohon nangka Belanda tak kalah memamerkan buahnya yang mulai masak dan
menebarkan aroma wangi. Isna memelukku mesra dari belakang.
“Ibuku mimpi menangkap seekor burung, Mase. Kata orang zaman dulu, mimpi itu artinya anggota keluarganya akan ada
yang hamil. Ah, sebentar lagi kita akan memberinya cucu.”
Entah apa aku harus memercayai firasat atau mimpi ibu mertua. Aku
sangat bahagia jika Isna benar-benar hamil. Tes yang
lebih akurat dibutuhkan untuk meyakinkan bahwa kebahagian itu benar ada.
“Kita harus
segera pergi ke dokter, Is.”
“Tentu. Sore
nanti antar aku, ya, Mase.”
“Bagaimana kalau
sekarang. Aku bisa izin tak masuk
kerja.”
“Sayangnya aku
sepertinya enggak bisa minta izin, Mase. Hari ini awal tes semesteran. Tak ada alasan untuk bolos
mengawasi siswa ujian.”
“Ya, Mase
mengerti, semoga saja benar kau hamil!”
“Sebentar lagi aku
akan jadi Ibu...!” Isna menari-nari riang seraya memasuki kamar mandi.
“Sebentar lagi
aku dipanggil Ayah,“ gumamku sambil memandangi diri di dalam cermin. Usia 35
tahun belum terlalu tua untuk dipanggil Ayah.
Sepanjang siang
itu, selama kerja di kantor aku tak bisa konsentrasi.
* * *
Dua bulan sudah
usia kehamilan istriku. Perutnya belum kelihatan membukit. Sebagai suami aku khawatir juga. Tak ingin hal buruk terjadi pada
kandungannya. Karenanya sekarang aku lebih banyak membantunya.
Jika Isna mencuci baju, aku yang mengucek dan membilas.
Isna cukup
menjemur. Aku pun
menyeterika baju. Isna cukup melipat
baju dan menyimpan di almari. Demikian pula, saat memasak. Aku dengan senang
hati pergi belanja ke pasar. Belanja kebutuhan untuk satu minggu ke depan.
“Mase sekarang
lebih rajin,“ puji istriku.
“Sejak dulu juga
rajin. Karena itu kau jatuh cinta padaku.”
“Eeh,
iya sih. Tapi siapa yang dulu menyatakan cinta. Mase, kan?”
“Tapi kau duluan
yang naksir aku, kan?”
“Iya sih, “ Isna
tersenyum malu.
* * *
Dua bulan sudah istriku hamil.
Masih mengajar, masih suka memasak.
Tak ada yang berubah. Aku merasa suami paling bahagia di dunia. Teman-teman sekantor memberiku
selamat.
“Selamat ya
istrimu hamil,” Rahadian menyalamiku, menggelitiku telapak tanganku, menggoda.” Ternyata perjuanganmu lima tahun berhasil sukses. Hahaha.”
“Thank,
Kawan. “
“Eh, istrimu ngidam apa, Bro?” celetuk Faris.
“Ceritain dong
gimana perjuangan calon ayah ketika
memenuhi ngidam istri tersayang?” Desy dan Mirna memilin tanya, yang membuat
sesaat aku tergagap.
Ngidam? Mengapa
istriku tak ngidam? Apakah jika istri tak ngidam berarti ada sesuatu yang aneh?
“Halo Restu,
mengapa diam? Istrimu ngidam aneh gak?” Rahadian nyengir.
“Istriku belum
ngidam,“ jawabku jujur, dan beberapa kepala di depanku mengangguk,
menggeleng, dan ada yang bilang oh.
Entah apa maksudnya
“Ceritakan pada
kami kalau istrimu ngidam, ntar. Ngidam tuh hal yang seru untuk para suami.
Iya, kan, Ris?”
Lalu
teman-temanku berceloteh tentang perjuangan mereka tatkala memenuhi ngidam
istri tercinta. Aku mendengarkan sambil lalu. Entah mengapa aku tiba-tiba
merasa resah.
“Tak semua
perempuan yang hamil harus ngidam, Tok, “ jelas Ibuku. Ibu pun berkisah, dari lima kali mengandung, ternyata dua kali Ibu tak mengalami ngidam.
Tapi aku ingin
merasakan bagaimana rasanya punya istri yang ngidam. Makanya aku
memaksa Isna untuk ngidam. Aku berjanji akan memenuhi apa pun ngidamnya.
“Kamu pengen apa
Is? Bikang, onde-onde, nagasari, atau ayam bakar madu?”
“Aku sudah
kenyang, Mase, gak ingin makan apa-apa.”
“Sungguh? Aku
belikan tart, dodol, atau mangga?”
“Suer. Ada apa sih? Aneh.”
“Kamu yang aneh. Perempuan hamil biasanya ngidam. Mengapa kamu gak
ngidam sih?”
Istriku tertawa.
“Tak semua perempuan hamil, ngidam, Mase.”
“Ibuku juga
berkata begitu...”
“Aku ingin kau
ngidam, Dik.”
“Bulan depan mungkin aku ngidam. Kamu siap-siap aja ya,
Mase...” Isna tersenyum menggoda.
* * *
Aku menunggu, sebulan berlalu, Isna belum ngidam juga. Hari itu sepulang dari kantor, saat di halte, aku melihat penjual rujak. Kayaknya rujaknya enak
banget. Aku kepengen.
“Rujaknya dua,
Bang. Bungkus saja. Pedas, ya!”
Aku pulang membawa
dua bungkus rujak. Setiba di rumah, tanpa ganti baju aku langsung memakannya.
Istriku yang melihatnya tertawa.
“Tumben Mase
makan rujak.”
“Aku beli dua.
Tuh, di kulkas.”
Isna mencomot sepotong mangga di piring rujakku. “Uh,
rasanya masam dan pedes banget,“
komentarnya.
“Masak sih.”
“Biasanya enggak doyan pedas.”
“Entah pengen
yang masam dan pedas aja.”
“Mungkin kamu
ngidam.”
“Siapa yang
ngidam?”
“Ya, kau.”
“Aneh dong lelaki
kok ngidam.”
“Bukan hal aneh,
Mase. Tapi bukan hal biasa.”
Aku tersedak.
* * *
Apakah aku benar-benar
ngidam, karena hari-hari kemudian aku beli rujak melulu. Mungkin benar yang dikatakan Isna?
“Kalau Mase
pengen rujak, tuh , Is udah sediain di
kulkas!”
“Enggak ah, aku
enggak pengen rujak, aku pengen makan buah kersen.”
“Kersen? Emang
ada pohon kersen di Jakarta?”
“Mereka juga bilang begitu.”
“Trus...”
“Aku khawatir
jika anak kita lahir ntar ngiler.”
“Sudah, Mase, jangan lebai, ah. Entar deh aku sms-in Rio agar bawain kersen.”
Dua hari
kemudian aku jaga di depan rumah menunggu paket kersen. “Mana, Dik, kok nggak
ada kurir datang?”
“Sabar Mase,
insya Allah besok Subuh keponakan kita datang.
Rio sekalian mau numpang di rumah kita. Dia ingin mencari pekerjaan di
Jakarta.”
“Boleh, asal dia
bawa kersen!”
* * *
Kota
Ukir, 22 Mei 2018
__Kartika Catur Pelita, lahir 11 Januari 1971.
Karya berupa cerpen, esai, dan puisi dimuat di Suara Merdeka, Suara Pembaruan,
Kartini, Koran Merapi, Koran Muria, Info Muria, Flores Sastra, Kanal Sastra, Kedaulatan
Rakyat, Minggu Pagi, Solo Pos, Radar Bojonegoro, Sabili, Annida, Analisa Medan,
Haluan Padang, Lampung Pos, Soeara Moeria, Bangka Pos, Metro Riau, Republika,
Media Indonesia, Genie, dan Nova. Beberapa cerpennya
terpilih dalam antologi cerpen Joglo, Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT), dan cerpen plihan Annida Online. Menulis buku fiksi
“Perjaka”, “Balada Orang-orang Tercinta” dan “Bintang Panjer Sore”. Memenangi
Lomba Menulis Cerita Rakyat Kemendikbud Anugerah PAUD 2016. Bermukim di Jepara
dan bergiat di komunitas Akademi Menulis Jepara (AMJ).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar