Ngidam - Soeara Moeria

Breaking

Kamis, 24 Mei 2018

Ngidam

Ilustrasi : google
Cerpen Kartika Catur Pelita

Kelopak mataku belum terbuka sempurna, ketika aku melihat Isna, istriku terpekik riang sambil mengacungkan test pack di tangannya.

“Aku hamil, Mase!” Dia  menubrukku, menciumi tubuhku. Aku tergugu, duduk di bibir ranjang dan memicingkan mata, mengusir kantuk, membuka mata sempurna. Sinar bagaskara pagi menerobos kisi-kisi jendela kamar tidur. Sesaat aku melonjak, memeluk istriku tercinta.
    
“Apa kau bilang tadi? Kau hamil, Sayang?”
    
“Ya, Mase. Aku hamil!” Isna seperti menjerit di telingaku. Aku masih duduk di dipan, mencangkung, merasa bahagia mendengar kabar ini, tapi sesaat aku menghela nafas panjang.
    
“Ada apa, Mase?”
    
“Kita periksa ke dokter, Dik. Aku takut seperti kemarin. Kau bilang telat dan dapat. Tapi nyatanya...”
    
“Kali ini beda, Mase. Firasatku mengatakan, aku benar-benar hamil. Apalagi aku tiba-tiba ingat mimpi Ibu beberapa hari lalu...”
     
“Ibu mimpiin apa?”
     
Aku bangkit dan membuka jendela besar yang menaungi kamar tidur.  Pohon rambutan yang mulai berbuah terlihat indah. Pohon nangka Belanda tak kalah memamerkan buahnya yang mulai masak dan menebarkan aroma wangi. Isna memelukku mesra  dari belakang.

“Ibuku mimpi menangkap seekor burung, Mase. Kata orang zaman dulu,  mimpi itu artinya anggota keluarganya akan ada yang hamil. Ah, sebentar lagi kita  akan memberinya cucu.”
      
Entah apa aku harus memercayai firasat atau mimpi ibu mertua. Aku  sangat bahagia jika Isna benar-benar hamil. Tes yang lebih akurat dibutuhkan untuk meyakinkan bahwa kebahagian  itu benar  ada.
      
“Kita harus segera pergi ke dokter, Is.”
      
“Tentu. Sore nanti antar aku, ya, Mase.”
      
“Bagaimana kalau sekarang. Aku bisa  izin tak masuk kerja.”

“Sayangnya aku sepertinya enggak bisa minta izin, Mase. Hari ini awal tes semesteran. Tak ada alasan untuk bolos mengawasi siswa ujian.”
     
“Ya, Mase mengerti,  semoga saja benar kau hamil!”
     
“Sebentar lagi aku akan jadi Ibu...!” Isna menari-nari riang seraya memasuki kamar mandi.
     
“Sebentar lagi aku dipanggil Ayah,“ gumamku sambil  memandangi diri di dalam cermin. Usia 35 tahun belum terlalu tua untuk dipanggil Ayah.
       
Sepanjang siang itu, selama kerja di kantor aku tak bisa konsentrasi.

* * *

Dua bulan sudah usia kehamilan istriku. Perutnya belum kelihatan membukit.  Sebagai suami aku khawatir  juga. Tak ingin hal buruk terjadi pada kandungannya. Karenanya sekarang aku lebih banyak  membantunya. Jika Isna mencuci baju, aku yang mengucek dan membilas.

Isna cukup menjemur.  Aku pun menyeterika  baju. Isna cukup melipat baju dan menyimpan di almari. Demikian pula, saat memasak. Aku dengan senang hati pergi belanja ke pasar. Belanja kebutuhan untuk satu minggu ke depan.

“Mase sekarang lebih rajin,“ puji istriku.

“Sejak dulu juga rajin. Karena itu kau jatuh cinta padaku.”
    
“Eeh, iya sih. Tapi siapa yang dulu menyatakan cinta. Mase, kan?”    
    
“Tapi kau duluan yang naksir aku, kan?”
    
“Iya sih, “ Isna  tersenyum malu.

* * *

Dua bulan sudah istriku hamil.  Masih mengajar, masih suka memasak.  Tak ada yang berubah. Aku merasa suami paling bahagia di dunia. Teman-teman sekantor memberiku selamat.
    
“Selamat ya istrimu hamil,” Rahadian menyalamiku, menggelitiku  telapak tanganku, menggoda.” Ternyata perjuanganmu lima tahun berhasil sukses. Hahaha.”
    
Thank, Kawan. “
    
“Eh, istrimu ngidam apa, Bro?” celetuk Faris.
    
“Ceritain dong gimana  perjuangan calon ayah ketika memenuhi ngidam istri tersayang?” Desy dan Mirna memilin tanya, yang membuat sesaat aku tergagap.
    
Ngidam? Mengapa istriku tak ngidam? Apakah jika istri tak ngidam berarti  ada sesuatu yang aneh?
   
“Halo Restu, mengapa diam? Istrimu ngidam aneh gak?” Rahadian nyengir.
    
“Istriku belum ngidam,“ jawabku jujur, dan beberapa kepala di depanku mengangguk, menggeleng, dan ada yang bilang oh. Entah apa maksudnya
     
“Ceritakan pada kami kalau istrimu ngidam, ntar. Ngidam tuh hal yang seru untuk para suami. Iya, kan, Ris?”
     
Lalu teman-temanku berceloteh tentang perjuangan mereka tatkala memenuhi ngidam istri tercinta. Aku mendengarkan sambil lalu. Entah mengapa aku tiba-tiba merasa resah.
    
“Tak semua perempuan yang hamil harus ngidam, Tok, “ jelas Ibuku.  Ibu pun berkisah, dari  lima kali mengandung,  ternyata dua kali Ibu tak mengalami ngidam.
    
Tapi aku ingin merasakan  bagaimana  rasanya punya istri yang ngidam. Makanya aku memaksa Isna untuk ngidam. Aku berjanji akan memenuhi apa pun ngidamnya.
    
“Kamu pengen apa Is? Bikang, onde-onde, nagasari, atau ayam bakar madu?”
    
“Aku sudah kenyang, Mase, gak ingin makan apa-apa.”
    
“Sungguh? Aku belikan tart, dodol, atau mangga?”
    
“Suer. Ada  apa sih? Aneh.”
    
“Kamu  yang aneh. Perempuan  hamil biasanya ngidam. Mengapa kamu gak ngidam sih?”
    
Istriku tertawa. “Tak semua perempuan hamil, ngidam, Mase.”
    
“Ibuku juga berkata begitu...”
    
“Aku ingin kau ngidam, Dik.”
    
“Bulan depan  mungkin aku ngidam. Kamu siap-siap aja ya, Mase...” Isna tersenyum menggoda.
* * *
Aku menunggu, sebulan  berlalu, Isna belum ngidam juga. Hari itu sepulang dari kantor, saat di halte, aku melihat penjual rujak. Kayaknya rujaknya enak banget.  Aku kepengen.
    
“Rujaknya dua, Bang. Bungkus saja. Pedas, ya!”
    
Aku pulang membawa dua bungkus rujak. Setiba di rumah, tanpa ganti baju aku langsung memakannya. Istriku yang melihatnya tertawa.

“Tumben Mase makan rujak.”
    
“Aku beli dua. Tuh, di kulkas.”
    
Isna  mencomot sepotong mangga di piring rujakku. “Uh,  rasanya masam dan pedes banget,“ komentarnya.
    
“Masak sih.”
    
“Biasanya  enggak doyan pedas.”
    
“Entah pengen yang masam dan pedas aja.”
    
“Mungkin kamu ngidam.”
    
“Siapa yang ngidam?”
    
“Ya, kau.”
    
“Aneh dong lelaki kok ngidam.”
    
“Bukan hal aneh, Mase. Tapi bukan hal biasa.”
    
Aku tersedak.
* * *
     
Apakah aku benar-benar ngidam, karena hari-hari kemudian aku beli rujak melulu. Mungkin benar yang dikatakan Isna?
    
“Kalau Mase pengen rujak, tuh , Is udah  sediain di kulkas!”
    
“Enggak ah, aku enggak pengen rujak, aku pengen makan buah kersen.”
    
“Kersen? Emang ada pohon kersen di Jakarta?”
    
“Mereka  juga bilang begitu.”
    
“Trus...”
    
“Aku khawatir jika anak kita lahir ntar ngiler.”
    
“Sudah, Mase, jangan lebai, ah. Entar deh aku sms-in Rio agar bawain  kersen.”
     
Dua hari kemudian aku jaga di depan rumah menunggu paket kersen. “Mana, Dik, kok nggak ada kurir datang?”    
     
“Sabar Mase, insya Allah besok Subuh  keponakan kita datang.  Rio sekalian mau numpang  di rumah kita. Dia ingin mencari   pekerjaan di  Jakarta.”
     
“Boleh, asal dia bawa kersen!”
* * *
Kota Ukir, 22 Mei 2018

__Kartika Catur Pelita, lahir 11 Januari 1971. Karya berupa cerpen, esai, dan puisi dimuat di Suara Merdeka, Suara Pembaruan, Kartini, Koran Merapi, Koran Muria, Info Muria, Flores Sastra, Kanal Sastra, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Solo Pos, Radar Bojonegoro, Sabili, Annida, Analisa Medan, Haluan Padang, Lampung Pos, Soeara Moeria, Bangka Pos, Metro Riau, Republika, Media Indonesia, Genie, dan Nova. Beberapa cerpennya terpilih dalam antologi cerpen Joglo, Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT), dan cerpen plihan Annida Online. Menulis buku fiksi “Perjaka”, “Balada Orang-orang Tercinta” dan “Bintang Panjer Sore”. Memenangi Lomba Menulis Cerita Rakyat Kemendikbud Anugerah PAUD 2016. Bermukim di Jepara dan bergiat di komunitas Akademi Menulis Jepara (AMJ).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar