![]() |
Ilustrasi : Google |
Sebuah warung mi ayam dan bakso sederhana terletak di
perempatan, depan SD Inpres. Warung yang
dibangun dari bambu, separuh dindingnya dicat warna merah, hingga jika dilihat
dari kejauhan tampak menyolok dengan
bangunan di sebelahnya, pemakaman umum.
Ya,
pekuburan milik masyarakat desa di
mana warung mi berlokasi. Pekuburan yang masih digunakan. Pohon-pohon kamboja mengelilingi area yang
sebagian bernisan kayu, bertanah merah.
Khas pekuburan di desa.
Tiada berdinding
tembok. Hanya dikelilingi pagar bambu
sebatas lutut, sehingga kau bisa melihatnya ketika melintas di jalan raya di depannya.
Mungkin karena
letaknya di dekat pekuburan, hingga orang menjulukinya mi kuburan. Padahal di
depan bangunan tak dipasang plang nama warung.
Atau seperti
warung mi pada umumnya yang menuliskan
nama warung dan nama pemiliknya di spanduk, semisal ‘Mi Ayam Pak Muh’,
atau ‘Mi Ayam Bakso Ngangeni.’
Meski warung mi
tak bernama dan orang-orang menjulukinya mi kuburan, namun keberadaan
warung mi sangat populer. Satu-satunya
mi bakso ayam, paling terkenal di
seantero daerah sekitar.
Mungkin karena
rasanya mi bakso ayamnya yang sangat
lezat. Juga tentu karena harganya yang bersahabat. Tentu bagi mereka yang kantongnya pas-pasan. Mahasiswa, pelajar,
buruh pabrik, pekerja lepas.
Bahkan ada tarif
khusus untuk anak sekolah. Orang-orang
juga bisa membeli separuh porsi. Tak
ayal tiada hari tanpa
warung mi kuburan sarat pengunjung.
Apalagi pada
saat malam dingin, ketika tubuh butuh asupan penghangat badan. Seporsi mi bakso kuburan dan teh manis, layak direkomendasikan.
* * *
Siang
kerontang, saat yang tepat untuk
menikmati mi bakso ayam kuburan. Pengendara
vespa, berboncengan, menghentikan
motor di depan warung mi ayam yang ramai pengunjung.
“Kita ngemi
dulu, Bro.”
“Oke. Kamu yang
bayar,” Frans nyengir. Ia guru
honorer bayaran setiap pertengahan bulan. Kantong kosong kerontang
di awal bulan.
“Tentu saja.
Barusan honor cerpenku turun,” Catur, teruna ceking gondrong, khas
seniman, semringah berkabar
“Wah asik, dapat
berapa uang?”
“Lumayanlah.
Bisa borong mi dua puluh mangkok.”
“Hahaha. Asik
mas bro.”
Mereka memilih duduk di kursi dekat jendela. Dari jendela terlihat
makam berbatu nisan yang berbatasan dengan warung mi bakso ayam. Tampak sebauh
kuburan yang tanahnya masih membukit, memerah. Pekuburan baru. Hembusan angin
menebar harum wangi kamboja. Semilir.
Sang Cerpenis memesan
mi bakso ayam dua mangkuk. Kang Kus dan istrinya trengginas melayani pesanan. Pemilik warung suami
istri bertubuh langsing, ramah dan sumeh menyapa setiap pengunjung, inilah salah satu resep mengapa warung laris,
selain rasa mi bakso yang memang lezat. Entah mendapat resep warisan dari mana.
Sambil meneguk es teh manis, ia mengambil sesuatu dari ransel, memamerkan
surat kabar yang memuat cerita pendeknya.
“Nih, bro, cerpenku yang kuceritakan tempo
hari,“ ia menyorongkan selembar koran, pada halaman budaya tertera judul cerpen
Terbang, Oleh: Kartika Catur Pelita.
Perjaka tampan
berkulit bersih menerima koran,
membacanya sekilas, ia berkomentar. ”Judulnya
nonjok banget Bro. Dapat idenya dari mana nih?”
“Pengalaman dan
kehidupanlah,” jawab sang pengarang santai.
“Pengalaman
pribadi...?” si karib mencomot sepotong bakwan jagung, mengunyahnya. Enak.
“Tak harus
pengalaman pribadi. Bisa pengalaman orang lain, mungkin pengalaman bro juga.”
“Naga-naganya
bro ingin mengorek-orek pengalaman saya nih. Untuk bahan ide cerpen
terbaru?”
“Hahaha.”
“Saya baca dulu
nih bro.”
Pesanan datang.
Mereka menikmati santapan sambil berbincang. Pengarang menuturkan pengalamannya di bidang
literasi, khususnya menulis cerpen yang sudah ditekuni separuh usianya.
“Bro
tahu gak, apa yang paling bikin penulis sedih?”
“Gak bisa nulis,
maksudku saat seorang penulis mengalami kebuntuan menulis, istilahnya...apaan, Bro?”
“Writer’s Block.”
“Ya. Ada lagi
nih...saat honor macet.”
“Honor macet?”
“Honor nulis gak
turun-turun, gak cair-cair. Padahal penulis sudah konfirmasi via email, nelepon...”
“Emang ada?”
“Adalah. Bahkan
ada udah ngabisin uang untuk nelepon,
eh, gak dapat honor.”
“Kasihan.”
“Ya, berani,
tabah dan sabar memang modal penulis, bro. Bayangin, mereka berburu ide, menulis cerpen, ngetik didoping
rokok kopi, setelah penyuntingan, naskah
dikirim ke media, gak tahu dimuat apa gak, gak tahu pada saat bersamaan siapa
yang mengirim naskah cerpen, berkompetisi, jika pada akhirnya dimuat, ternyata
masih ada perjuangan, nagih honor. Hahaha.”
“Heheh, ternyata
dunia di balik dapur seroang penulis gak kalah menarik dibanding karyanya...”
Penulis dan guru
pengampu Bahasa Indonesia, asik
merintang waktu berbincang, kali ini tentang Pilgub, yang isunya sepanjang sungai Brantas, bahkan mendunia,
hingga keluar negeri tentang seorang cagub yang konon
tersangka kasus penistaan agama. Polemik
sekitar pilkada. Asik. Unik.
Ketika
serombongan anak sekolah memasuki ruang makan.
“Wah, datang
rombongan anak-anak sekolah, kita lanjutin ngobrol di luar
warung aja,“ cerpenis menggeret tangan karib.
“Oke,“ si cowok
gempal menurut. “Di luar
semriwing....”
* * *
Serombongan anak
sekolah memesan mi. Memilih bangku. Duduk, berdekatan, tidak mengobrol,
masing-masing asik main hape.
“Mi ayam, Pak.”
“Penuh atau
separuh?”
“Sepuluh separuh aja, Pak.”
“Minumnya
teh atau sirup?”
Kang Kus menyiapkan mi ayam. Memasukkan mi mentah
ke air mendidih di dalam dandang besar. Kemudian menuangkan minyak, bumbu, di
mangkok dan mengaduk-aduk mi, menyeduhi potongan ayam. Anak-anak terlihat tak
sabar menanti hidangan. Ketika dua orang anak perempuan pamit meninggalkan
bangku, mereka hendak menumpang
pipis ke toilet.
* * *
Dua orang dara
berjilbab melewati sepasang teruna-yang asik menikmati mi seraya ngobrol asik. Mereka
melangkah menuju ke kamar mandi warung mi bakso kuburan. Kamar mandi terletak
di belakang dekat sumur.
Kamar mandi dari gedek bambu. Seorang dara masuk,
seorang lain menunggu di depan. Belum
selemparan batu, si perempuan masuk ke kamar mandi, ketika tiba-tiba ia
keluar dengan paras pucat pasi, gugup menggeret temannya melongok kamar mandi.
Lalu berdua
barengan menjerit histeris
berteriak-teriak ketakutan. Sontak seluruh
orang yang sedang jajan terperangah.
* * *
“Apa yang
terjadi?”
“Ayo kita ke sana,
Bro!” berlari ke arah kamar mandi, di
situ dua dara tampak masih shock.
“Ada apa? Ada apa?” bertanya, terheran.
“Kepala. Ada... ada kepala tikus. Kepala tikus. Banyak sekali di kamar
mandi....”
Pengarang kita,
sahabatnya, orang-orang yang sedang
jajan mi bakso sontak memenuhi kamar mandi. Benar, kepala-kepala tikus berleleran di lantai
kamar mandi. Kepala-kepala tikus yang masih meneteskan darah, menguarkan amis
anyir. Beberapa orang muntah-muntah.
Ternyata Kang Kus menggunakan tikus sawah untuk bahan mi ayam baksonya.
Sehingga mi bakso terasa lezat? Inikah rahasia
resep kelezatan hidangannya? Benarkah?
Sang penulis bergidik,
mendelik. Si guru muda malah mengukir senyum di bibir merah.
“Kau gak muntah, Jeff?”
“Di daerah asal
saya, Manado, di Tomohon, orang sana biasa makan ular, babi, kelelawar,
kucing, tikus. Tikus hutan. Bukan tikus sawah. Tapi kalau tikus sawah dijadiin mi ayam,
apakah rasanya enak. Hahaha, kita selama ini makan mi bakso tikus!”
“Entahlah, Bro.
Rasanya sudah gak keitung kita sering makan mi bakso di sini. Ternyata kita
makan bukan mi ayam, tapi mi bakso tikus.”
Sejak terkuak skandal
daging tikus dalam olahan mi bakso ayam yang dikelola Kang Kus, maka orang-orang berdatangan ke warung makan mi bakso
kuburan, demi menikmati sensasi
makan mi bakso yang terbuat dari daging tikus sawah. Mau?
Kota
Ukir, 09 Februari-14 Februari 2017
Kartika Catur
Pelita, lahir 11 Januari 1971. Karya cerpen, esai, dan puisi dimuat di Koran
Merapi, Suara Merdeka, Suara Pembaruan, Kartini, Kedaulatan Rakyat, Minggu
Pagi, Joglosemar, Solo Pos, Radar Bojonegoro, Sabili, Annida, Analisa, Haluan
Padang, Jembia Batam Pos, Koran Rakyat Sultra, Lampung Pos, Soeara Moeria,
Bangka Pos, Metro Riau, Republika, Media Indonesia, Genia, dan Nova. Buku fiksi
“Perjaka”, “Balada Orang-orang Tercinta” dan “Bintang Panjer Sore”. Bermukim di
Jepara bergiat di komunitas Akademi Menulis Jepara (AMJ).