Mi Ayam Kuburan - Soeara Moeria

Breaking

Senin, 15 Mei 2017

Mi Ayam Kuburan



Ilustrasi : Google
Cerpen Kartika Catur Pelita 

Sebuah warung mi ayam dan bakso sederhana terletak di perempatan, depan SD Inpres. Warung  yang dibangun dari bambu, separuh dindingnya dicat warna merah, hingga jika dilihat dari kejauhan tampak menyolok dengan  bangunan di sebelahnya, pemakaman umum.

Ya, pekuburan  milik masyarakat  desa di mana warung mi berlokasi. Pekuburan yang masih digunakan.  Pohon-pohon kamboja mengelilingi area yang sebagian   bernisan kayu, bertanah merah. Khas pekuburan di desa. 

Tiada berdinding  tembok. Hanya dikelilingi pagar bambu sebatas lutut, sehingga kau bisa melihatnya ketika  melintas di jalan raya di depannya.

Mungkin karena letaknya di dekat pekuburan, hingga orang menjulukinya mi kuburan. Padahal di depan bangunan tak dipasang plang nama warung.

Atau seperti warung mi pada umumnya yang menuliskan  nama warung dan nama pemiliknya di spanduk, semisal ‘Mi Ayam Pak Muh’, atau ‘Mi Ayam Bakso Ngangeni.’

Meski warung mi tak bernama dan orang-orang menjulukinya mi kuburan, namun keberadaan warung mi sangat populer.  Satu-satunya mi bakso ayam,  paling terkenal di seantero daerah sekitar.

Mungkin karena rasanya mi  bakso ayamnya yang sangat lezat. Juga tentu karena harganya yang bersahabat. Tentu bagi mereka yang  kantongnya pas-pasan. Mahasiswa, pelajar, buruh pabrik, pekerja   lepas.

Bahkan ada tarif khusus untuk  anak sekolah. Orang-orang juga  bisa membeli separuh porsi. Tak ayal  tiada hari  tanpa  warung mi kuburan sarat pengunjung.

Apalagi pada saat malam dingin, ketika tubuh butuh asupan penghangat badan. Seporsi mi bakso  kuburan dan teh manis, layak direkomendasikan.
* * *

Siang kerontang,  saat yang tepat untuk menikmati mi bakso ayam kuburan. Pengendara  vespa, berboncengan,  menghentikan motor di depan warung mi ayam yang ramai pengunjung.

“Kita ngemi dulu, Bro.”

“Oke. Kamu yang bayar,” Frans nyengir. Ia guru honorer bayaran setiap pertengahan bulan. Kantong kosong kerontang di awal bulan.

“Tentu saja. Barusan honor cerpenku turun,” Catur, teruna ceking gondrong, khas seniman,  semringah berkabar

“Wah asik, dapat berapa uang?”

“Lumayanlah. Bisa borong mi dua puluh mangkok.”
    
“Hahaha. Asik mas bro.”

Mereka memilih duduk di kursi dekat jendela. Dari jendela terlihat makam berbatu nisan yang berbatasan dengan warung mi bakso ayam. Tampak sebauh kuburan yang tanahnya masih membukit, memerah. Pekuburan baru. Hembusan angin menebar harum wangi kamboja. Semilir.

Sang Cerpenis memesan mi bakso ayam dua mangkuk. Kang Kus dan istrinya trengginas melayani pesanan. Pemilik warung suami istri bertubuh langsing, ramah dan sumeh menyapa setiap pengunjung,  inilah salah satu resep mengapa warung laris, selain rasa mi bakso yang memang lezat. Entah mendapat resep warisan dari mana.
    
Sambil meneguk es teh manis, ia mengambil sesuatu dari  ransel,  memamerkan  surat kabar yang memuat cerita pendeknya.

 “Nih, bro, cerpenku yang kuceritakan tempo hari,“ ia menyorongkan selembar koran, pada halaman budaya tertera judul cerpen Terbang, Oleh: Kartika Catur Pelita.
     
Perjaka tampan berkulit bersih menerima  koran, membacanya sekilas, ia berkomentar. ”Judulnya nonjok banget Bro. Dapat idenya dari mana nih?”
    
“Pengalaman dan kehidupanlah,” jawab sang pengarang santai.
    
“Pengalaman pribadi...?” si karib mencomot sepotong bakwan jagung, mengunyahnya. Enak.
    
“Tak harus pengalaman pribadi. Bisa pengalaman orang lain, mungkin pengalaman bro juga.”
     
“Naga-naganya bro ingin  mengorek-orek  pengalaman saya nih. Untuk bahan ide cerpen terbaru?”
    
“Hahaha.”
     
“Saya baca dulu nih bro.”
     
Pesanan datang. Mereka menikmati santapan sambil berbincang. Pengarang  menuturkan pengalamannya di  bidang  literasi, khususnya menulis cerpen yang sudah ditekuni separuh usianya.
     
“Bro tahu gak, apa yang paling bikin penulis sedih?”                 
     
“Gak bisa nulis, maksudku saat seorang penulis mengalami kebuntuan menulis, istilahnya...apaan, Bro?”
     
Writer’s Block.”
     
“Ya. Ada lagi nih...saat honor macet.”
     
“Honor macet?”
     
“Honor nulis gak turun-turun, gak cair-cair. Padahal penulis sudah konfirmasi  via email, nelepon...”
     
“Emang ada?”
     
“Adalah. Bahkan ada udah ngabisin  uang untuk nelepon, eh, gak dapat honor.”
     
“Kasihan.”
     
“Ya, berani, tabah dan sabar memang modal penulis, bro. Bayangin,  mereka berburu ide, menulis cerpen, ngetik didoping rokok kopi,   setelah penyuntingan, naskah dikirim ke media, gak tahu dimuat apa gak, gak tahu pada saat bersamaan siapa yang mengirim naskah cerpen, berkompetisi, jika pada akhirnya dimuat, ternyata masih ada perjuangan, nagih honor. Hahaha.”
     
“Heheh, ternyata dunia di balik dapur seroang penulis gak kalah menarik dibanding karyanya...”
     
Penulis dan guru pengampu Bahasa Indonesia,  asik merintang waktu berbincang, kali ini tentang Pilgub, yang  isunya sepanjang sungai Brantas, bahkan mendunia, hingga keluar negeri tentang seorang cagub yang konon tersangka  kasus penistaan agama. Polemik sekitar pilkada. Asik. Unik.  
      
Ketika serombongan anak sekolah memasuki ruang makan.
     
“Wah, datang rombongan anak-anak sekolah, kita lanjutin ngobrol  di  luar warung aja,“ cerpenis menggeret tangan karib.
     
“Oke,“ si cowok gempal menurut. Di luar  semriwing....

* * *
    
Serombongan anak sekolah memesan mi. Memilih bangku. Duduk, berdekatan, tidak mengobrol, masing-masing asik main hape.
     
“Mi ayam, Pak.”
     
“Penuh atau separuh?”
     
“Sepuluh  separuh aja, Pak.”
     
“Minumnya teh  atau sirup?”
     
Kang  Kus menyiapkan mi ayam. Memasukkan mi mentah ke air mendidih di dalam dandang besar. Kemudian menuangkan minyak, bumbu, di mangkok dan mengaduk-aduk mi, menyeduhi potongan ayam. Anak-anak terlihat tak sabar menanti hidangan. Ketika dua orang anak perempuan pamit  meninggalkan  bangku,  mereka hendak menumpang pipis ke toilet.
* * *
     
Dua orang dara berjilbab melewati sepasang  teruna-yang  asik menikmati mi seraya ngobrol asik. Mereka melangkah menuju ke kamar mandi warung mi bakso kuburan. Kamar mandi terletak di belakang dekat sumur.
     
Kamar mandi  dari gedek bambu. Seorang dara masuk, seorang  lain menunggu di depan. Belum selemparan batu,  si perempuan  masuk ke kamar mandi, ketika tiba-tiba ia keluar dengan paras pucat pasi, gugup menggeret temannya melongok kamar mandi.

Lalu  berdua  barengan  menjerit histeris berteriak-teriak ketakutan. Sontak seluruh  orang yang sedang jajan terperangah.

* * *
      
“Apa yang terjadi?”
      
“Ayo kita ke sana, Bro!”  berlari ke arah kamar mandi, di situ dua dara tampak  masih shock.
      
“Ada apa? Ada apa?”  bertanya, terheran.
      
“Kepala. Ada... ada kepala tikus. Kepala tikus. Banyak sekali di kamar mandi....”
     
Pengarang kita, sahabatnya,  orang-orang yang sedang jajan mi bakso sontak memenuhi kamar mandi. Benar,  kepala-kepala tikus berleleran di lantai kamar mandi. Kepala-kepala tikus yang masih meneteskan darah, menguarkan amis anyir. Beberapa orang muntah-muntah.
      
Ternyata Kang Kus menggunakan tikus sawah untuk bahan mi ayam baksonya. Sehingga mi bakso terasa lezat? Inikah rahasia  resep kelezatan hidangannya? Benarkah?
     
Sang penulis bergidik, mendelik. Si guru muda malah mengukir senyum di bibir merah.
     
“Kau gak muntah, Jeff?”
     
“Di daerah asal saya, Manado, di Tomohon, orang sana biasa makan ular, babi, kelelawar, kucing,  tikus. Tikus hutan.  Bukan tikus sawah. Tapi  kalau tikus sawah dijadiin  mi ayam,  apakah rasanya enak. Hahaha, kita selama ini makan mi bakso tikus!” 
     
“Entahlah, Bro. Rasanya sudah gak keitung kita sering makan mi bakso di sini. Ternyata kita makan   bukan mi ayam, tapi mi bakso tikus.”
                                                                      
Sejak terkuak skandal daging tikus dalam olahan mi bakso ayam yang dikelola Kang Kus,  maka orang-orang berdatangan ke warung makan  mi bakso  kuburan, demi  menikmati sensasi makan mi bakso yang terbuat dari daging  tikus sawah. Mau?

Kota Ukir, 09 Februari-14 Februari 2017
                                 
Kartika Catur Pelita, lahir 11 Januari 1971. Karya cerpen, esai, dan puisi dimuat di Koran Merapi, Suara Merdeka, Suara Pembaruan, Kartini, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Joglosemar, Solo Pos, Radar Bojonegoro, Sabili, Annida, Analisa, Haluan Padang, Jembia Batam Pos, Koran Rakyat Sultra, Lampung Pos, Soeara Moeria, Bangka Pos, Metro Riau, Republika, Media Indonesia, Genia, dan Nova. Buku fiksi “Perjaka”, “Balada Orang-orang Tercinta” dan “Bintang Panjer Sore”. Bermukim di Jepara bergiat di komunitas Akademi Menulis Jepara (AMJ).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar