Lelaki dalam Pelukan Angin - Soeara Moeria

Breaking

Selasa, 23 Mei 2017

Lelaki dalam Pelukan Angin



Ilustrasi : Google
Cerpen Havidz

Ia, lelaki yang mencintai kebebasan. Baginya, hidup adalah sebuah petualangan tanpa akhir. Menyelami labirin-labirin penuh misteri yang tak akan pernah habis dikupas seumur hidup manusia.

Waktu begitu singkat itu tak cukup untuk mengungkap teka-teki yang masih mengungkum kebenaran yang masih tersembunyi. Banyak sungguh yang perlu ditanyakan. Lebih banyak pula yang perlu dijawab.

Tubuhnya bagai cadas. Sekokoh karang di lautan lepas yang tiap waktu dihantam ombak ganas. Kadang angin monsun yang berembus dahsyat. Tak tergoyahkan ia. Namun seperti halnya manusia, ia juga mempunyai titik lemah.

Pelukan.

Satu pelukan hangat bisa meluluh lantahkannya. Tubuhnya yang sekokoh karang itu akan mengendur. Matanya panas hingga mengeluarkan bulir-bulir air hingga membanjir. Dadanya sesak oleh emosi. Lalu ia terduduk lunglai. Terkulai dalam balutan ketidakberdayaan.

Setelah itu ia akan kembali berjalan di atas angin. Lebih tepat lagi, berjalan terbawa angin. Ia pasrahkan langkahnya kepada angin yang tak punya aliran. Pula tak bermuara. Terombang-ambing ia seperti kapas tipis. Tapi Ia tetap memercayai angin. Meskipun angin selalu menghianatinya.

---0---

Ia kawanku sejak kecil. Sejak masih ingusan. Hingga satu Tk, Sd, SMP hingga SMA. Tetangga satu Rt, Rw, Kecamatan, Kabupaten. Kawan mencari jamur liar di kebun-kebun hingga mencari gadis-gadis desa untuk dipacari.

Aku tahu betul bagaimana kebiasaannya. Jika merokok, ia selalu mengoleskan kopi di rokoknya. Ia lebih suka film porno dengan model orang Jepang daripada orang Barat. Dan dari semua kebiasaannya yang paling aku kagumi adalah ia tak pernah kulihat ia meninggalkan lima waktu. Bahkan saat menonton dangdut pun ia mengajak melaksanan perintah wajib itu dulu.

Dibilang nasibnya bagus, sungguh tidak. Lelaki yang ia panggil ayah telah pergi saat ia berumur empat tahun. Kabar terdengar lelaki yang ia panggil ayah itu telah menikah lagi dengan seorang janda kaya. Meninggalkan dirinya dan seorang perempuan yang ia panggil ibu.

"Kelak aku akan mencari lelaki asu itu dan menghajarnya hingga mampus," kata ia penuh dendam pada suatu sore yang cerah.

Ia tumbuh menjadi pemuda yang keras. Keras dalam arti banyak. Pekerja keras. Bertubuh keras. Bersikap keras. Keras kepala pula.

"Aku akan merantau. Mengikuti angin. Kemanapun ia membawaku, aku akan ikut. Aku yakin angin akan menunjukanku pada kesuksesan. Menjadi orang terpandang. Bisa bikin bahagia emak. Kalau beruntung bisa ketemu lelaki asu itu dan menghajarnya. " kata ia dengan semangat berapi-api.

Kemudian ia benar-benar merantau dengan modal selembar ijazah SMA. Sepuluh tahun berlalu terasa amat cepat. Kini, ia berada di sini. Dengan isyarat tangan ia memintaku menuangkan kembali  red wine ke dalam gelasnya. Dalam sekali tegukan ia mengosongkan gelasnya.

"Sekarang ceritakan padaku kemana saja kau selama ini?"

Ia tergelak. "Kau benar-benar ingin mendengarnya?"

Tentu saja. Aku mengangguk mantap.

"Ceritanya akan membutuhkan waktu yang lama."

"Tak masalah. Aku bisa bekerja sambil mendengarkanmu. Lagian bar sedang sepi. Kau juga tak perlu mencemaskan jika atasan memaraiku. Aku punya kendali."

Temanku itu memandangku sambil tersenyum. "Ternyata kau tak banyak berubah. Kau tetap kawanku yang selalu ingin tahu."

"Dan kau tetap kawanku yang keras kepala. Bagaimana kau bisa melupakan kota ini selama bertahun-tahun?"

Ia tergelak dengan tawa kecil. "Sungguh aku tidak melupakan kota ini, kawan. Aku hanya belum sempat berkunjung. Setelah emak pergi, aku tak punya siapa-siapa dan apa-apa lagi di sini. Tanah yang hanya sepetak itu aku jual untuk bekal merantau. Mengikuti embusan angin yang akan membawa pada takdirku."

Jadi bukan hanya Ijazah SMA yang jadi bekal merantaunya.

"Baiklah. Jadi, bagaimana kau memulai ceritamu?"

Ia memintaku menuangkan red wine lagi. Lalu ia meneguk untuk yang kelima kali. Sekali tegukan lagi.

"Dimulai dari angin."

---0---
Ia bernama Angin. Cukup Angin. Tidak lebih. Tidak kurang.

Konon, ia dinamai demikian karena ketika lahir, kota kecil ini sedang dihantam angin yang dahsyat. Entah topan. Entah lesus. Entah beliung. Angin pun tumbuh seperti angin. Ia selalu ingin kebebasan. Segala hal yang berbau mengekang tak ia suka. Karena seperti itulah seharusnya angin.

Setelah Bu Halimah meninggal, Angin hidup sebatang kara. Ketika itu ia kelas dua SMA. Ia tetap memilih hidup di rumahnya yang sederhana. Menolak ajakan tinggal bersama bibinya, adik dari ibunya. Lalu setelah lulus SMA, entah keberanian dari mana, ia menjual tanah sempit beserta rumahnya itu.

"Sudah saatnya aku mencari jalanku," ujar Angin mulai melangkah ke Jakarta.

---0---

"Lalu apa yang kau dapatkan di Jakarta?" tanyaku ingin tahu.

"Sebuah pelukan," ujarnya.

"Pacar?" seruku. Menebak.

---0---

Angin menyewa sebuah kost kecil sekadar untuk menidurkan tubuhnya dari kelelahan. Dengan selembar Ijazah SMA, ia mulai melamar pekerjaan. Tidak mudah mencari pekerjaan di ibu kota yang sudah penuh sesak itu. Apalagi jika kau tidak punya relasi sama sekali. Selama sebulan lebih Angin menganggur. Ia sadar harus berhemat. Hingga ia menemukan pekerjaan sebagai security.

Betapa gagah ia memakai seragam security. Sangat laki. Ia juga tampan. Bisa ditebak jika akan banyak yang naksir. Termasuk si bos. Seorang wanita Tionghoa. Mis Evelin. Istri dari pengusaha konveksi yang kaya raya.

Miss Evelin menggodanya. Dan lelaki bujang itu menerima godaan itu. Wanita itu memenuhi semua kriteria syarat-syarat wanita cantik yang akan membuat lelaki normal bertekuk lutut, meskipun sudah tidak lagi bisa di bilang muda. Maka percintaan diam-diam itu terjadi. Di hotel-hotel berkelas. Miss Evelin berhasil memeluk erat Angin.

Angin tahu betul bagaimana harus bercinta. Saat SMA, beberapa kali ia meniduri gadis-gadis seumurannya, baik teman sekolah maupun kenalan-kenalan. Namun ia tidak pernah menyangka jika tidur dengan wanita yang jauh lebih tua. Sensasinya benar-benar bisa seluar biasa itu.

Angin tahu jika ia telah bermain api. Api dengan skala sangat besar. Namun Mis Evelin meyakinkannya bahwa semua baik-baik saja.

"Kau tak usah khawatir sayang. Suamiku itu tak akan peduli aku tidur dengan siapa. Karena aku juga tidak peduli ia tidur dengan siapa." kata Miss Evelin. Angin paham.

Suami Miss Evelin itu seorang lelaki gendut berkepala botak dan impotensi.

Awalnya Angin merasa jika ia benar-benar merasa dicintai oleh wanita itu. Nyatanya, ia keliru. Wanita yang memeluknya mesra itu juga tidur dengan brondong lain. Angin merasa dirinya hanya dijadikan kacung seks bosnya itu.

"Apa yang kau katakan? Kau salah paham sayang. Kau tetap yang tersayang," pembelaan Mis Evelin. Angin kembali terpeluk.

---0---

"Kau benar-benar berani bermain-main dengan singa-singa buas," kataku dengan nada takjub.

"Maksudmu?"

"Suami Mis Evelin itu pasti tidak bisa menerima betinya bermain kelamin dengan seorang security. Itu meruntuhkan harga dirinya."

Angin terdiam beberapa saat. "Ya, kau benar."

"Meskipun Mis Evelin itu selalu bilang semua baik-baik saja."

Angin mengangguk.

"Dan aku hampir mati karenanya."

---0---
Tubuh-tubuh besar itu menyeret tubuh Angin dalam kegelapan. Masih Angin dengan seragam securytinya. Namun seragam nan gagah itu tak berarti apa-apa di hadapan tiga pria bertubuh gorilla yang dengan tanpa perasaan meremukkan sendi-sendi tubuhnya.

Dihajarnya Angin hingga hampir mampus. Muka lebam-lebam. Hidung bonyok. Tulang tangannya sepertinya patah. Lalu ia ditinggalkan begitu saja. Beruntung orang-orang menemukannya terkapar. Segera di bawalah ia ke rumah sakit.

"Maafkan aku sayang atas kejadian ini," ucap Mis Evelin saat menjenguk Angin di rumah sakit. Tentu saja, secara diam-diam.

"Situasinya menjadi rumit. Setelah keadaanmu pulih segeralah pergi dari kota ini. Sejauh mungkin. Aku akan segera memasukkan sejumlah nominal ke rekeningmu."

Angin tahu hubungan terlarang dengan bos wanitanya sudar berakhir detik itu juga.

---0---

"Kau pergi kemana setelah itu?" tanyaku penasaran.

Sambil menunggu jawaban Angin, aku mengisyaratkan rekan kerjaku (aku lebih suka menyebut rekan kerja daripada anak buah) untuk melayani tamu bar yang baru masuk.

"Aku terbang ke Bali," Angin berkata lirih.

---0---

Bali menjadi tujuannya. Angin tidak tahu alasannya. Melangkah saja kakinya. Sampai ia di sana. Ia memilih Legian sebagai tempat tinggal.

Dengan uang miliknya dan ditambah kiriman dari Mis Evelin, Angin tak terlalu mencemaskan untuk cepat-cepat mencari pekerjaan lagi. Ia nikmati suasana Legian selayaknya turis berlibur. Menikmati deburan ombak pantai Legian.

Menghirup dalam-dalam bau-bau dupa dari pura di depan-depan rumah dan beberapa sudut-sudut jalan. Memanjakan tubuhnya dengan massage dan spa yang bejibun di sepanjang jalan legian.

Lama-lama Angin merasakan ada yang kosong dalam hidupnya. Sebulan sudah ia menikmati Bali dan ia mulai merasa bosan. Uang yang diberi Mis Evelin memang sangat banyak. Namun jika dipakai terus menerus pasti akan habis juga. Angin memutuskan mencari pekerjaan lagi.

Dari kenalannya, Rafky, yang tak sengaja bertemu saat melihat pameran seni di Kuta, Angin mendapatkan pekerjaan di money changer. Jasa penukaran uang. Dan sejak petemuan di pameran itu, Angin jadi berteman dengam Rafki. Tidak jelas apa pekerjaan Rafki. Yang Angin tahu, Rafki adalah perantauan dari pulau sebelah, Lombok.

Rafki bertubuh ceking, berkaca mata bulat dan dandanannya tampak asal-asalan. Ia tipe lelaki yang tidak terlalu peduli dengan penampilan. Asalkan wangi. Cukup.

"Sudah berapa lama kau di Bali?" tanya Angin.

"Lima tahun," jawab Rafki.

Lumayan lama juga.

"Dan apa pekerjaanmu selama lima tahun itu. Kulihat kau tak melakukan apapun. Tapi kulihat juga kau begitu banyak duit. Kau pasti anak orang kaya."

Rafki tertawa. "Kau benar ingin tahu?"

Angin menggangguk.

"Jika sudah saatnya akan kuberi tahu."

---0---

"Lalu? Apa pekerjaannya?"Aku jadi penasaran dengan sosok Rafki ini.

"Sebelum menjawabnya tolong isi gelasku lagi."

"Kau sudah meneguk sembilan kali. Kau bisa ambruk."

"Tenang saja. Aku peminum yang tangguh."

Aku menganggat bahu. Terserah. Lalu kutuang kembali red wine ke gelas kosongnya.

"Jadi?"

Angin meneguk minumannya. Sekali tegukan. Lalu ia menyulut LA mentolnya sebelum bicara.

---0---

"Kau benar-benar ingin tahu pekerjaanku?" tanya Rafki setengah berbisik. Mereka berdua kini berada di kost Angin. Bersantai-santai ria sambil menikmati rokok dan bir.

"Sebenarnya tidak juga. Jika itu privasimu. Aku akan menghargainya," kata Angin.

"Aku rasa tak apa menceritakan padamu. Sudah lumayan lama kita berteman. Dan kau adalah teman terbaikku selama ini," kata Rafki sungguh-sungguh membuat Angin tersentuh.

"Ini untukmu." Rafki menyerahkan suatu benda kecil yang terbungkus kertas koran. Angin lalu membuka bungkusan itu. Ia cukup terkejut melihat isinya, walau sebenarnya sudah lama Angin menerka.

"Kau pengedar saja atau pemakai pula?" tanya Angin.

"Menurutmu?"

Angin perlahan paham. Ia memang tidak pernah memakai benda itu, tapi saat Rafki berkata, "Benda itu bisa membuatmu bahagia. Termasuk menghilangkan masa lalu yang suram dari batok kepalamu," Angin tertarik ingin mencobanya. Ingatan-ingatan akan dendam kepada ayahnya yang telah meninggalkannya sejak kecil, kehidupan susah bersama ibunya dulu dan percintaannya dengan Mis Evelin selalu membuat emosinya meluap-luap tak terkendali.

"Boleh aku mencobanya?"

"Pakai saja. Itu kuberi gratis untukmu."

Dan sejak saat itu, narkoba memeluk tubuh Angin. Bukan tubuh saja malah. Pikiran dan emosi pula. Melayang ia dalam balutan perasaan senang saat memakainya. Membuatnya lupa pada sesuatu yang dinamai sedih. Hanya ada senang, bahagia dan candu.

Tapi itu pun tak berlangsung lama. Ternyata Rafki telah lama menjadi incaran polisi.

Seusai kerja, Angin berniat untuk mengunjungi Rafki di kostnya. Belum sampai menginjakkan kaki di kost itu, kerumunan polisi telah siaga. Mobil polisi terparkik apik di halaman. Angin paham. Rafki telah usai. Ia segera pergi dari tempat itu. Mencari tempat bersembunyi. Mungkin saja ia bisa terseret dalam kasus ini.

---0---

"Sudah seperti cerita dalam novel saja kisah hidupmu," kataku takjub.

Angin tak mengindahkan omonganku. Ia berdiri dari tempat duduknya.

"Aku mau ke toilet dulu," kata Angin lalu berjalan dengat sedikit sempoyong ke toilet.

Kupandangi punggung teman kecilku itu menjauh. Kusadar, betapa cepat waktu berlalu. Begitu banyak hal yang berubah. Mungkin kisah hidupku tak serumit Angin.

Tapi aku juga pernah mengalami masa masa kelam dimana aku harus berjuang hingga bisa seperti sekarang. Benar, hidup adalah perjuangan tanpa akhir bagi siapapun yang memutuskan untuk berjuang.

Lama Angin tak kembali dari toilet membuatku bertanya-tanya apa ia ambruk di sana. Ia minum banyak sekali. Karena takut terjadi apa-apa, aku memutuskan untuk mengecek toilet. Dan benar, ia terkapar sambil mengingau tak jelas di bawah wastafel. Aku segera membopongnya keluar.

"Jo, gue balik dulu. Tolong lo urus sisanya. Temen gue tepar."

"Siap bos!"

Aku membawa Angin ke mobil. Lalu pergi meninggalkan bar menuju rumahku.

---0---

Cukup pagi aku terbangun. Jam tujuh bagiku termasuk dalam kategori cukup pagi, entah orang lain. Aku keluar kamar seraya menghampiri Angin yang masih tertidur di atas sofa. Selimut yang aku sematkan tergeletak di atas lantai. Aku beralih ke dapur membuat kopi. Tak mau aku mengganggunya.

Aku membaca koran di depan rumah sambil menyeruput kopiku. Kopi hitam dengan sedikit gula. Begitu nikmat.

Kubuka koranku. Berita-berita yang hampir sama dengan yang kemarin. Politik penuh intrik. Gubernur ibukota. Isu agama. Kriminalitas. Harga sembako yang terus meroket. Tapi ada satu berita yang membuatku tertegun. Berita pembunuhan seorang lelaki baya. Nama seorang tertera di sini dan lantas membuatku berpikir.

Lukman Sukardi, lelaki berumur 53 tahun asal kota Ukir ditemukan tewas mengenaskan dengan leher nyaris putus di  area persawahan. Polisi masih mencari pelaku pembunuhan dan motif pembunuhan.

Aku membaca seluruh naskah berita itu dengan cermat. Bahkan aku mengulanginya. Aku yakin apa yang ada dipikiranku benar.

Aku menghela napas dalam-dalam.

Kawan, sudah seberapa jauh angin membawa kau melangkah?

Kutunggu ia bangun sambil menyiapkan sarapan untuknya. Ketika ia sudah siuman dengan wajah yang berantakan, lekas kusuruh ia mandi lalu kugiring ia ke meja makan.

"Kau yang membuat nasi goreng ini?" katanya sambil mengunyah. Aku mengangguk.

"Enak sekali," pujinya. Ia menghabiskan sarapannya.

Lalu kusodorkan koran pagi ini. Pas di berita yang aku baca tadi. Ia terdiam cukup lama. Wajahnya tetap tenang.

"Dulu aku bilang padamu aku akan mencarinya dan memampuskannya."

"Dan kau sudah melakukannya."

"Ya."

"Lalu kemana lagi kau akan melangkah? Cepat atau lambat polisi-polisi itu akan menemukanmu"

"Tenang saja. Aku tak kan kemana-mana. Aku sudah capek mengikuti angin. Sebelum aku menyerahkan diri, aku memang sempatkan mengunjungi kota ini. Aku ingin menemuimu, kawan. Ingin mengenang masa kecil dulu. Tadi malam ingin aku meneceritakan hal ini padamu tapi keburu ambruk.

Ia tersenyum kemudian berdiri dari tempat duduknya. Sebelum ia pergi dari rumahku, ia memelukku. (*)


Havidz lahir di Jepara, Maret 1992. Mahasiswa Universitas Semarang (USM) jurusan Ilmu Komunikasi. Aktif berpartisipasi dalam komunitas “Akademi Menulis Jepara” dan “Global English Club Jepara”. Menulis adalah hobi yang membuatnya lebih hidup dalam kehidupannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar