![]() |
Ilustrasi : Google |
Cerpen Havidz
Ia, lelaki yang mencintai kebebasan. Baginya, hidup
adalah sebuah petualangan tanpa akhir. Menyelami labirin-labirin penuh misteri
yang tak akan pernah habis dikupas seumur hidup manusia.
Waktu begitu singkat itu tak cukup untuk mengungkap
teka-teki yang masih mengungkum kebenaran yang masih tersembunyi. Banyak
sungguh yang perlu ditanyakan. Lebih banyak pula yang perlu dijawab.
Tubuhnya bagai cadas. Sekokoh karang di lautan lepas yang
tiap waktu dihantam ombak ganas. Kadang angin monsun yang berembus dahsyat. Tak
tergoyahkan ia. Namun seperti halnya manusia, ia juga mempunyai titik lemah.
Pelukan.
Satu pelukan hangat bisa meluluh lantahkannya. Tubuhnya
yang sekokoh karang itu akan mengendur. Matanya panas hingga mengeluarkan
bulir-bulir air hingga membanjir. Dadanya sesak oleh emosi. Lalu ia terduduk
lunglai. Terkulai dalam balutan ketidakberdayaan.
Setelah itu ia akan kembali berjalan di atas angin. Lebih
tepat lagi, berjalan terbawa angin. Ia pasrahkan langkahnya kepada angin yang
tak punya aliran. Pula tak bermuara. Terombang-ambing ia seperti kapas tipis.
Tapi Ia tetap memercayai angin. Meskipun angin selalu menghianatinya.
---0---
Ia kawanku sejak kecil. Sejak masih ingusan. Hingga satu
Tk, Sd, SMP hingga SMA. Tetangga satu Rt, Rw, Kecamatan, Kabupaten. Kawan
mencari jamur liar di kebun-kebun hingga mencari gadis-gadis desa untuk
dipacari.
Aku tahu betul bagaimana kebiasaannya. Jika merokok, ia selalu
mengoleskan kopi di rokoknya.
Ia lebih suka film porno dengan model orang Jepang daripada orang Barat. Dan
dari semua kebiasaannya yang paling aku kagumi adalah ia tak pernah kulihat ia
meninggalkan lima waktu. Bahkan saat menonton dangdut pun ia mengajak
melaksanan perintah wajib itu dulu.
Dibilang nasibnya bagus, sungguh tidak. Lelaki yang ia
panggil ayah telah pergi saat ia berumur empat tahun. Kabar terdengar lelaki
yang ia panggil ayah itu telah menikah lagi dengan seorang janda kaya.
Meninggalkan dirinya dan seorang perempuan yang ia panggil ibu.
"Kelak aku akan mencari lelaki asu itu dan
menghajarnya hingga mampus," kata ia penuh dendam pada suatu sore yang
cerah.
Ia tumbuh menjadi pemuda yang keras. Keras dalam arti
banyak. Pekerja keras. Bertubuh keras. Bersikap keras. Keras kepala pula.
"Aku akan merantau. Mengikuti angin. Kemanapun ia
membawaku, aku akan ikut. Aku yakin angin akan menunjukanku pada kesuksesan.
Menjadi orang terpandang. Bisa bikin bahagia emak. Kalau beruntung bisa ketemu
lelaki asu itu dan menghajarnya. " kata ia dengan semangat berapi-api.
Kemudian ia benar-benar merantau dengan modal selembar
ijazah SMA. Sepuluh tahun berlalu terasa amat cepat. Kini, ia berada di sini.
Dengan isyarat tangan ia memintaku menuangkan kembali red
wine ke dalam gelasnya. Dalam sekali tegukan ia mengosongkan gelasnya.
"Sekarang ceritakan padaku kemana saja kau selama
ini?"
Ia tergelak. "Kau benar-benar ingin
mendengarnya?"
Tentu saja. Aku mengangguk mantap.
"Ceritanya akan membutuhkan waktu yang lama."
"Tak masalah. Aku bisa bekerja sambil
mendengarkanmu. Lagian bar sedang sepi. Kau juga tak perlu mencemaskan jika
atasan memaraiku. Aku punya kendali."
Temanku itu memandangku sambil tersenyum. "Ternyata
kau tak banyak berubah. Kau tetap kawanku yang selalu ingin tahu."
"Dan kau tetap kawanku yang keras kepala. Bagaimana
kau bisa melupakan kota ini selama bertahun-tahun?"
Ia tergelak dengan tawa kecil. "Sungguh aku tidak
melupakan kota ini, kawan. Aku hanya belum sempat berkunjung. Setelah emak
pergi, aku tak punya siapa-siapa dan apa-apa lagi di sini. Tanah yang hanya
sepetak itu aku jual untuk bekal merantau. Mengikuti embusan angin yang akan
membawa pada takdirku."
Jadi bukan hanya Ijazah SMA
yang jadi bekal merantaunya.
"Baiklah. Jadi, bagaimana kau memulai
ceritamu?"
Ia memintaku menuangkan red wine lagi. Lalu ia meneguk untuk yang kelima kali. Sekali
tegukan lagi.
"Dimulai dari angin."
---0---
Ia bernama Angin. Cukup Angin. Tidak lebih. Tidak kurang.
Konon, ia dinamai demikian karena ketika lahir, kota
kecil ini sedang dihantam angin yang dahsyat. Entah topan. Entah lesus. Entah
beliung. Angin pun tumbuh seperti angin. Ia selalu ingin kebebasan. Segala hal
yang berbau mengekang tak ia suka. Karena seperti itulah seharusnya angin.
Setelah Bu Halimah meninggal, Angin hidup sebatang kara.
Ketika itu ia kelas dua SMA. Ia tetap memilih hidup di rumahnya yang sederhana.
Menolak ajakan tinggal bersama bibinya, adik dari ibunya. Lalu setelah lulus
SMA, entah keberanian dari mana, ia menjual tanah sempit beserta rumahnya itu.
"Sudah saatnya aku mencari jalanku," ujar Angin
mulai melangkah ke Jakarta.
---0---
"Lalu apa yang kau dapatkan di Jakarta?"
tanyaku ingin tahu.
"Sebuah pelukan," ujarnya.
"Pacar?" seruku. Menebak.
---0---
Angin menyewa sebuah kost kecil sekadar untuk menidurkan
tubuhnya dari kelelahan. Dengan selembar Ijazah SMA, ia mulai melamar
pekerjaan. Tidak mudah mencari pekerjaan di ibu kota yang sudah penuh sesak
itu. Apalagi jika kau tidak punya relasi sama sekali. Selama sebulan lebih Angin
menganggur. Ia sadar harus berhemat. Hingga ia menemukan pekerjaan sebagai
security.
Betapa gagah ia memakai seragam security. Sangat laki. Ia
juga tampan. Bisa ditebak jika akan banyak yang naksir. Termasuk si bos. Seorang
wanita Tionghoa. Mis Evelin. Istri dari pengusaha konveksi yang kaya raya.
Miss Evelin menggodanya. Dan lelaki bujang itu menerima
godaan itu. Wanita itu memenuhi semua kriteria syarat-syarat wanita cantik yang
akan membuat lelaki normal bertekuk lutut, meskipun sudah tidak lagi bisa di
bilang muda. Maka percintaan diam-diam itu terjadi. Di hotel-hotel berkelas.
Miss Evelin berhasil memeluk erat Angin.
Angin tahu betul bagaimana harus bercinta. Saat SMA,
beberapa kali ia meniduri gadis-gadis seumurannya, baik teman sekolah maupun
kenalan-kenalan. Namun ia tidak pernah menyangka jika tidur dengan wanita yang
jauh lebih tua. Sensasinya benar-benar bisa seluar biasa itu.
Angin tahu jika ia telah bermain api. Api dengan skala
sangat besar. Namun Mis Evelin meyakinkannya bahwa semua baik-baik saja.
"Kau tak usah khawatir sayang. Suamiku itu tak akan
peduli aku tidur dengan siapa. Karena aku juga tidak peduli ia tidur dengan
siapa." kata Miss Evelin. Angin paham.
Suami Miss Evelin itu seorang lelaki gendut berkepala
botak dan impotensi.
Awalnya Angin merasa jika ia benar-benar merasa dicintai
oleh wanita itu. Nyatanya, ia keliru. Wanita yang memeluknya mesra itu juga
tidur dengan brondong lain. Angin merasa dirinya hanya dijadikan kacung seks
bosnya itu.
"Apa yang kau katakan? Kau salah paham sayang. Kau
tetap yang tersayang," pembelaan Mis Evelin. Angin kembali terpeluk.
---0---
"Kau benar-benar berani bermain-main dengan
singa-singa buas," kataku dengan nada takjub.
"Maksudmu?"
"Suami Mis Evelin itu pasti tidak bisa menerima
betinya bermain kelamin dengan seorang security. Itu meruntuhkan harga
dirinya."
Angin terdiam beberapa saat. "Ya, kau benar."
"Meskipun Mis Evelin itu selalu bilang semua
baik-baik saja."
Angin mengangguk.
"Dan aku hampir mati karenanya."
---0---
Tubuh-tubuh besar itu menyeret tubuh Angin dalam
kegelapan. Masih Angin dengan seragam securytinya. Namun seragam nan gagah itu
tak berarti apa-apa di hadapan tiga pria bertubuh gorilla yang dengan tanpa
perasaan meremukkan sendi-sendi tubuhnya.
Dihajarnya Angin hingga hampir mampus. Muka lebam-lebam.
Hidung bonyok. Tulang tangannya sepertinya patah. Lalu ia ditinggalkan begitu
saja. Beruntung orang-orang menemukannya terkapar. Segera di bawalah ia ke
rumah sakit.
"Maafkan aku sayang atas kejadian ini," ucap
Mis Evelin saat menjenguk Angin di rumah sakit. Tentu saja, secara diam-diam.
"Situasinya menjadi rumit. Setelah keadaanmu pulih
segeralah pergi dari kota ini. Sejauh mungkin. Aku akan segera memasukkan
sejumlah nominal ke rekeningmu."
Angin tahu hubungan terlarang dengan bos wanitanya sudar
berakhir detik itu juga.
---0---
"Kau pergi kemana setelah itu?" tanyaku
penasaran.
Sambil menunggu jawaban Angin, aku mengisyaratkan rekan
kerjaku (aku lebih suka menyebut rekan kerja daripada anak buah) untuk melayani
tamu bar yang baru masuk.
"Aku terbang ke Bali," Angin berkata lirih.
---0---
Bali menjadi tujuannya. Angin tidak tahu alasannya.
Melangkah saja kakinya. Sampai ia di sana. Ia memilih Legian sebagai tempat
tinggal.
Dengan uang miliknya dan ditambah kiriman dari Mis
Evelin, Angin tak terlalu mencemaskan untuk cepat-cepat mencari pekerjaan lagi.
Ia nikmati suasana Legian selayaknya turis berlibur. Menikmati deburan ombak
pantai Legian.
Menghirup dalam-dalam bau-bau dupa dari pura di
depan-depan rumah dan beberapa sudut-sudut jalan. Memanjakan tubuhnya dengan massage dan spa yang bejibun di sepanjang
jalan legian.
Lama-lama Angin merasakan ada yang kosong dalam hidupnya.
Sebulan sudah ia menikmati Bali dan ia mulai merasa bosan. Uang yang diberi Mis
Evelin memang sangat banyak. Namun jika dipakai terus menerus pasti akan habis
juga. Angin memutuskan mencari pekerjaan lagi.
Dari kenalannya, Rafky, yang tak sengaja bertemu saat
melihat pameran seni di Kuta, Angin mendapatkan pekerjaan di money changer.
Jasa penukaran uang. Dan sejak petemuan di pameran itu, Angin jadi berteman
dengam Rafki. Tidak jelas apa pekerjaan Rafki. Yang Angin tahu, Rafki adalah
perantauan dari pulau sebelah, Lombok.
Rafki bertubuh ceking, berkaca mata bulat dan dandanannya
tampak asal-asalan. Ia tipe lelaki yang tidak terlalu peduli dengan penampilan.
Asalkan wangi. Cukup.
"Sudah berapa lama kau di Bali?" tanya Angin.
"Lima tahun," jawab Rafki.
Lumayan lama juga.
"Dan apa pekerjaanmu selama lima tahun itu. Kulihat
kau tak melakukan apapun. Tapi kulihat juga kau begitu banyak duit. Kau pasti
anak orang kaya."
Rafki tertawa. "Kau benar ingin tahu?"
Angin menggangguk.
"Jika sudah saatnya akan kuberi tahu."
---0---
"Lalu? Apa pekerjaannya?"Aku jadi penasaran
dengan sosok Rafki ini.
"Sebelum menjawabnya tolong isi gelasku lagi."
"Kau sudah meneguk sembilan kali. Kau bisa
ambruk."
"Tenang saja. Aku peminum yang tangguh."
Aku menganggat bahu. Terserah. Lalu kutuang
kembali red wine ke gelas kosongnya.
"Jadi?"
Angin meneguk minumannya. Sekali tegukan. Lalu ia
menyulut LA mentolnya sebelum bicara.
---0---
"Kau benar-benar ingin tahu pekerjaanku?" tanya
Rafki setengah berbisik. Mereka berdua kini berada di kost Angin.
Bersantai-santai ria sambil menikmati rokok dan bir.
"Sebenarnya tidak juga. Jika itu privasimu. Aku akan
menghargainya," kata Angin.
"Aku rasa tak apa menceritakan padamu. Sudah lumayan
lama kita berteman. Dan kau adalah teman terbaikku selama ini," kata Rafki
sungguh-sungguh membuat Angin tersentuh.
"Ini untukmu." Rafki menyerahkan suatu benda
kecil yang terbungkus kertas koran. Angin lalu membuka bungkusan itu. Ia cukup
terkejut melihat isinya, walau sebenarnya sudah lama Angin menerka.
"Kau pengedar saja atau pemakai pula?" tanya
Angin.
"Menurutmu?"
Angin perlahan paham. Ia memang tidak pernah memakai
benda itu, tapi saat Rafki berkata, "Benda itu bisa membuatmu bahagia.
Termasuk menghilangkan masa lalu yang suram dari batok kepalamu," Angin
tertarik ingin mencobanya. Ingatan-ingatan akan dendam kepada ayahnya yang
telah meninggalkannya sejak kecil, kehidupan susah bersama ibunya dulu dan
percintaannya dengan Mis Evelin selalu membuat emosinya meluap-luap tak
terkendali.
"Boleh aku mencobanya?"
"Pakai saja. Itu kuberi gratis untukmu."
Dan sejak saat itu, narkoba memeluk tubuh Angin. Bukan
tubuh saja malah. Pikiran dan emosi pula. Melayang ia dalam balutan perasaan senang
saat memakainya. Membuatnya lupa pada sesuatu yang dinamai sedih. Hanya ada
senang, bahagia dan candu.
Tapi itu pun tak berlangsung lama. Ternyata Rafki telah
lama menjadi incaran polisi.
Seusai kerja, Angin berniat untuk mengunjungi Rafki di
kostnya. Belum sampai menginjakkan kaki di kost itu, kerumunan polisi telah
siaga. Mobil polisi terparkik apik di halaman. Angin paham. Rafki telah usai.
Ia segera pergi dari tempat itu. Mencari tempat bersembunyi. Mungkin saja ia
bisa terseret dalam kasus ini.
---0---
"Sudah seperti cerita dalam novel saja kisah
hidupmu," kataku takjub.
Angin tak mengindahkan omonganku. Ia berdiri dari tempat
duduknya.
"Aku mau ke toilet dulu," kata Angin lalu
berjalan dengat sedikit sempoyong ke toilet.
Kupandangi punggung teman kecilku itu menjauh. Kusadar,
betapa cepat waktu berlalu. Begitu banyak hal yang berubah. Mungkin kisah
hidupku tak serumit Angin.
Tapi aku juga pernah mengalami masa masa kelam dimana aku
harus berjuang hingga bisa seperti sekarang. Benar, hidup adalah perjuangan
tanpa akhir bagi siapapun yang memutuskan untuk berjuang.
Lama Angin tak kembali dari toilet membuatku
bertanya-tanya apa ia ambruk di sana. Ia minum banyak sekali. Karena takut
terjadi apa-apa, aku memutuskan untuk mengecek toilet. Dan benar, ia terkapar
sambil mengingau tak jelas di bawah wastafel. Aku segera membopongnya keluar.
"Jo, gue balik dulu. Tolong lo urus sisanya. Temen
gue tepar."
"Siap bos!"
Aku membawa Angin ke mobil. Lalu pergi meninggalkan bar
menuju rumahku.
---0---
Cukup pagi aku terbangun. Jam tujuh bagiku termasuk dalam
kategori cukup pagi, entah orang lain. Aku keluar kamar seraya menghampiri
Angin yang masih tertidur di atas sofa. Selimut yang aku sematkan tergeletak di
atas lantai. Aku beralih ke dapur membuat kopi. Tak mau aku mengganggunya.
Aku membaca koran di depan rumah sambil menyeruput
kopiku. Kopi hitam dengan sedikit gula. Begitu nikmat.
Kubuka koranku. Berita-berita yang hampir sama dengan
yang kemarin. Politik penuh intrik. Gubernur ibukota. Isu agama. Kriminalitas.
Harga sembako yang terus meroket. Tapi ada satu berita yang membuatku tertegun.
Berita pembunuhan seorang lelaki baya. Nama seorang tertera di sini dan lantas
membuatku berpikir.
Lukman Sukardi, lelaki berumur 53 tahun asal kota Ukir
ditemukan tewas mengenaskan dengan leher nyaris putus di area persawahan. Polisi masih mencari pelaku
pembunuhan dan motif pembunuhan.
Aku membaca seluruh naskah berita itu dengan cermat.
Bahkan aku mengulanginya. Aku yakin apa yang ada dipikiranku benar.
Aku menghela napas dalam-dalam.
Kawan, sudah seberapa jauh angin membawa kau melangkah?
Kutunggu ia bangun sambil menyiapkan sarapan untuknya.
Ketika ia sudah siuman dengan wajah yang berantakan, lekas kusuruh ia mandi
lalu kugiring ia ke meja makan.
"Kau yang membuat nasi goreng ini?" katanya
sambil mengunyah. Aku mengangguk.
"Enak sekali," pujinya. Ia menghabiskan
sarapannya.
Lalu kusodorkan koran pagi ini. Pas di berita yang aku
baca tadi. Ia terdiam cukup lama. Wajahnya tetap tenang.
"Dulu aku bilang padamu aku akan mencarinya dan
memampuskannya."
"Dan kau sudah melakukannya."
"Ya."
"Lalu kemana lagi kau akan melangkah? Cepat atau
lambat polisi-polisi itu akan menemukanmu"
"Tenang saja. Aku tak kan kemana-mana. Aku sudah
capek mengikuti angin. Sebelum aku menyerahkan diri, aku memang sempatkan
mengunjungi kota ini. Aku ingin menemuimu, kawan. Ingin mengenang masa kecil
dulu. Tadi malam ingin aku meneceritakan hal ini padamu tapi keburu ambruk.
Ia tersenyum kemudian berdiri dari tempat duduknya.
Sebelum ia pergi dari rumahku, ia memelukku. (*)
Havidz lahir di Jepara, Maret
1992. Mahasiswa Universitas Semarang (USM) jurusan Ilmu Komunikasi. Aktif berpartisipasi dalam komunitas “Akademi Menulis
Jepara” dan “Global English Club Jepara”. Menulis adalah hobi yang membuatnya
lebih hidup dalam kehidupannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar