Ilustrasi : Google |
Jakarta sore itu nampak suram berguyur hujan
deras, jejak langkahku turun dari bus kota yang membawaku dari Tegal.
Pulogadung tampak riuh di dalamnya tumpah ruah berbagai manusia dengan tujuan
bertaruh hidup di Ibukota.
Begitu juga diriku tergiur, semua orang
kampungku merantau dan berhasil meraih pundi-pundi uang yang mereka keruk bumi
Batavia ini.
Saat
itu menjelang magrib dan azan itu berkumandang, kusandang tas ransel di
pundak berlari kecil-kecil menghindari rintik-rintik hujan.
Kucari tempat berteduh sejenak melepas penat
sehari terbujur kaku dalam bangku reyot bus tadi. Jam tanganku menunjukkan pukul
enam lebih seperempat, kurekatkan resleting jaket parasitku untuk mengusir
dingin. Seharusnya lek Giman datang satu jam yang lalu tapi tak satu pun wajahnya nongol terminal
para urban ini.
Info lek
Giman ada lowongan kerja buruh kasar pabrik konveksi di depan warteg miliknya,
sementara awal aku bisa bantu-bantu di warungnya dulu.
Tapi saudara ibuku tak kunjung datang, perut
terasa keroncongan dari tadi cacing-cacing dalam perutku demo minta jatuh. Di dompet
hanya ada selembar uang kertas sisa kembalian bus tadi sebagai pegangan
darurat.
Percikan hujan berkah dari langit tak mau
berhenti sedikit, terus membasahi aspal dan kupandangi seliweran manusia
urban mengais rezeki dengan berbagai cara.
Detik berganti menit, menit terus bergulir
dan aku masih berteduh di sini. Kurogoh Nokia pisang-ku di saku celana jeans, kupencet
tuts untuk melakukan panggilan tapi sial operator bersuara merdu
mengatakan pulsa tidak mencukupi.
Coba aku cek *123# ternyata 100 rupiah
ditambah low bat, ini pun tak cukup untuk sms lek Giman. Nasibku terkatung-katung di kota ini.
Penantian tak pasti, kuputuskan untuk
beranjak dari tempat berteduh menuju masjid sekitar terminal untuk berjamaah.
Tak jauh sekitar itu aku melangkah untuk wudu, kulenting ujung celana jeans dan
membasuh muka. Terasa segar menghapuskan penat dan galau ini, shaf depan telah
penuh saat memasukkan masjid. Barisan kedua aku isi berbarengan jamaah lainnya,
tas serta jaket aku letakkan di samping belakang berbarengan barang bawaan
jamaah lainnya.
Tapi ada gejolak gelisah di dadaku, tak tahu
apa itu sewaktu sujud dan ruku. Aku merasa tak tenang untuk menjalankan ibadah
magrib ini.
Seperti ada banyak mata mengawasi dan
memandang diriku, mata-mata itu menghakimi bahwa kau orang asing di sini dan
selalu cari pekara sendiri.
Aduh kenapa otak ini bergelut imaji-imaji
bodoh itu atau gara-gara perut belum
diisi sesuap nasi. Kegalauan itu terus merayapi sampai diakhir salam. Ada apa
gerangan ini? Apakah pertanda buruk?
Itu cuma prasangka-prasangka negatif
dihasilkan korteks otakku, ditambah ketidakpastian melandaku juga. Aku coba
memenangkan diri dengan berdoa.
Selesai memanjatkan keinginan dunia dan
akhiratku, langsung aku beranjak dari tempatku. Tapi betapa terkejutnya aku,
tas dan jaket yang kuletakkan di belakang raib tanpa bekas. Kaget bukan
kepalang, tas berisikan baju, ijazah dan hp jadulku hilang.
Kucoba mencari ke sana ke mari untuk memastikan
apakah aku yang salah meletakkan, keluar masuk tapi tas butut itu tak
kutemukan. Bertanya orang sekitar itu juga tidak menemukan jawaban yang
memuaskan, akhirnya aku tertunduk lemas dan duduk di pojok masjid itu.
Tas itu pasti dimaling orang tapi kebangetan
tempat ibadah jadi ajang kriminal, ah apes aku hari ini. Sudah perut lapar tak
terkira dan barang satu-satunya juga lenyap, satu hal yang kusesali bukan tas
itu tapi hp di dalamnya buat komunikasi.
Bagaimana aku menghubungi lek Giman, semua nomer ada di hp.
Sialnya juga sepatu yang aku pakai juga digondol maling sial itu klop
penderitaan saat ini.
Aku hanya menghela napas tapi semua kesialan
ini ada sedikit keberuntungan, marbot masjid melihat aku merasa kasihan. Ia
memberikan sandal jepit untuk kupakai sebagai pengganti sepatu yang hilang
tersebut.
Malam sudah beranjak menuju peranduan, rasa
lapar terus menggerototi. Dompet coba aku buka, satu lembar uang lima puluhan
dan hanya itu. Inisatif untuk memenuhi reaksi alami, kuputuskan untuk mencari
warung terdekat. Di luar belum reda juga, bulir-bulir hujan masih terus
berjatuhan
Kumasuki gang itu, tampak gelap hanya temaram
lampu pijar 5 watt di ujung. Kuberharap ada warung makan di ujung penghabisan
lorong ini, perut terus melilit. Kutiti dikit demi dikit kaki menerpa genangan
air akibat hujan tak henti-henti tadi.
“Stop!”
“Kau siapa?”
“Kenapa malam-malam masih berkeliaran di sini?”
“Orang mana kau?”
Suara itu tiba-tiba menggelegar di kupingku,
muncul dua orang pria perawakan sedang. Salah satu berambut panjang dan
berjaket jeans levis, temannya wajahnya tetutup topi terlihat menunduk.
“Numpang lewat bang,” sahut sekenaku
Pria berambut panjang itu melihat dari ujung
kaki sampai rambut, meneliti satu persatu seperi tidak percaya.
Di sini ada aturannya bung, kami sebagai pemuda
karang taruna di sini menjaga keamanan. Tentu curiga jika ada orang asing yang
mondar-mandir sembarangan, banyak kasus pencurian dan maling akhir-akhir ini. Pria
ini berkacak pinggang.
“Maaf bung, mana tanda pengenal anda?”
Aku tak menjawab, langsung kurogoh dompetku. Buka
dan mengambil ktp-ku dan kuserahkan ke pria itu.
Saat menerima ktp itu, pria ini tak lansung
menerima.
“Hei bung buka dompetnya, jangan kau
sembunyikan narkoba dalamnya,” bentak dia.
“Maaf bang, tidak ada narkoba di sini,” kubuka
lebar-lebar dompetku.
Secepat kilat tangan pria itu mengambil satu
lembaran satu-satunya, berpindah tangan.
“Apa-apaan ini, kembalikan itu,” pintaku.
“Pergi kau dari sini atau aku tebas,” ancam
pria itu sambil sesekali tangan kanan memasukan dalam jaket levis itu. Terlihat
logam menyilaukan tersembul di sana.
Aku termakan gertakan karena sekitarku tak
ada orang sama sekali. Saat itu dan aku jauh dari rumah. Hal yang bisa aku
lakukan melihat dua orang preman bermodus modern itu berlalu dari hadapanku.
Ah… baguslah komplit sudah penderitaanku,
telah jatuh ketimpa tangga pula. Aku tak tahu berbuat apa sekarang. Badan
terasa penat dan capek, langkah gontai terseret kucoba gerakkan.
Depan itu ada ruko yang telah tertutup rolling door, karena lelah sangat
mendera. Kehempaskan tubuhku di sana, rehat sejenak. Malam telah larut dan tak
sadar aku tergolek nyenyak berbantal lantai dingin berselimut udara terhembus.
* *
*
Kelopak mataku terasa panas, sinar matahari
menusuk retina. Kubuka mata, agak menyipit untuk memantau sekitar.
“Bangun!”
Sepatu lars panjang mengenai tulang keringku,
aduh sakit nian. Kaget aku setengah mati, tubuhku masih melingkar menahan
dinginnya pagi. Pemandangan menakjubkan, aku dikelilingi petugas satpol PP.
“Banyak gelandangan baru akhir-akhir ini”
Hah gelandangan, aku dituduh tunawisma tanpa
rumah.
Bukan pak, saya bukan. Hanya numpang tidur
dan tersesat, kelitku.
“Banyak alasan gelandangan ini.”
“Gelandangan tetap gelandangan.”
“Berdiri!”
Mulutku tak bisa berkata-kata lagi, aku
beringsut dari tempatku, tapi kulihat gerombolan penyapu PKL itu sibuk-sibuk
mengggusur tanpa memperhatikan aku lagi.
Ada kesempatan, aku jejakan kaki untuk lari
menjauh dari sana. Aku terus berlari dan yang kudengar teriakan makian cacian
dari kejauhan lambat laun menghilang dari telingaku.
Napasku tersengal-sengal, paru-paru tak
terpenuhi oksigen yang cukup. Pantat ini juga letih, kuletakkan di pembatas
jalan. Kuatur denyut nadi setelah diajak lari pagi-pagi tadi, benar-benar sial nasibku
kali ini.
Di saat aku mulai mereda tapi aku sadari di sebelahku
ada gerobak dengan seorang pria setengah baya sedang terlelap dalam gerobak.
Aneh tadi tak terlihat atau aku yang terlewat, kulihat pria tua itu terbangun
dari tidur dan melihat aku.
“Anak muda kenapa kau?”
“Napasmu kembang kempis layak puasa senin
kamis,”
tanya keheranan.
“Tidak apa-apa, hanya hari buruk saja,” jawabku sekenanya.
Pria itu beranjak dari gerobak dan duduk di sebelahku,
ia memberikan botol mineral. Tak kusia-siakan, kuteguk habis memenuhi perut
yang sudah tidak lapar.
“Anak muda, kau bukan orang sekitar ini
kulihat.”
“Dari kampung?”
Aku hanya menggangguk tanpa menjawab, pria
siapa dan dari mana layak setan berkeliaran tanpa undangan.
Kuterangkan semua yang aku derita flashblack ke belakang, pria
manggut-manggut.
“Nasibmu masih beruntung anak muda, kamu
masih hidup kan”
“Ibukota memang magnet bagi pemuda tanggung
dari kampung.”
“Begitu juga aku bersemangat 20 tahun silam,
datang kesini dengan bekal semangat.”
Kerja banting tulang dan melakukan apa saja
untuk sesuap nasi. Bertahan hidup kerasnya jalanan.
Pria itu ngoceh tak karuan tentang
masa lalu dia, terus bicara tak karuan sampai akhirnya terdampar di gerobaknya
itu. Kutahu dari ceritanya ia dikenal dengan Mang Sarbot, telah lama
berkeliaran di sini.
Hidup nomaden
dengan gerobaknya, tidur-makan bahkan berak di sana. Ditasbihkan menjadi
gelandangan sejati, kenyang digusur sana-sini tanpa ampun. Kerja serabut, kuli
sampai buruh panggul pelabuhan. Terakhir ia mengemis berharap belas kasihan orang sekitarnya.
“Paham kau anak muda, hidup itu keras. Kamu
jangan menyerah dan jalani yang sudah ada tanpa penyesalan.”
Pria tua itu menepuk-nepuk pundak dan berdiri
beranjak dari sana, menarik gerobak reyot membelah kemacetan Jakarta. Mang
Sarbot perlahan menghilang perlahan di hadapanku.
Ucapan orang tua itu benar juga, jika hanya
masalah seperti ini aku lemah sama saja bunuh diri. Jika nasibku sama seperti
orang tua, tak eloklah. Menarik gerobak seumur hidupnya.
Pada suatu masa yang tenangku, sebuah saluran
televisi nasional menayangkan operasi sweeping
penyakit masyarakat. Berita mengejutkan ada seorang gelandangan tertangkap dan
menyimpang uang puluhan juta di dalam baju celananya.
Lebih mengherankan, ia juga menyimpan
lembaran-lembaran rupiah terbungkus rapi dalam plastik dalam gerobaknya. Ada
sesuatu yang tak asing bagiku, mata ini kupicing untuk memperjelaskan. Orang
itu Mang Sarbot, aku yakin apa yang kulihat dan tak salah lagi.
Surabaya, April 2017
_________
Ferry
Fansuri kelahiran
Surabaya adalah travel writer, fotografer dan entreprenur lulusan
Fakultas Sastra jurusan Ilmu Sejarah Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya.
Pernah bergabung dalam teater Gapus-Unair dan ikut dalam pendirian majalah
kampus Situs dan cerpen pertamanya "Roman Picisan" (2000) termuat.
Cerpen "pria dengan rasa jeruk" masuk antologi cerpen senja perahu
litera (2017). Mantan redaktur tabloid Ototrend (2001-2013) Jawa Pos Group.
Sekarang menulis freelance dan tulisannya tersebar di berbagai media Nasional.
Dalam waktu dekat menyiapkan buku antologi cerpen dan puisi tunggal.
Ibukota ternyata lebih kejam daripada ibu tiri. Tak kenal maka tak sayang, hati-hati bila salat di masjid. Jadi ingat suatu hari ada orang salat subuh di masjid agung Jepara, ia meletakkan tas besar di luar pintu, sementara ia mengerjakan salat Subuh. Betapa terkejutnya, saat usai salat Subuh dan ia melihat tasnya raib. Tas besar berisi pentungan dan seragam satpam!
BalasHapusWeh, cerpen ini (sepertinya) terisnpirasi dari kisah Manusia Gerobok yang tempo hari berseliweran di televisi.