Serunya Materi Antropologi Sastra MAN I Malang - Soeara Moeria

Breaking

Senin, 10 Oktober 2016

Serunya Materi Antropologi Sastra MAN I Malang



Malang, soearamoeria.com
Sudah jamak diketahui bahwa Malang adalah salah satu kota pendidikan di Indonesia. Ya, tentu saja karena  banyaknya jumlah kampus dan jutaan mahasiswa yang datang dari berbagai pelosok negeri.

Pendidikan yang merupakan jembatan menuju peradaban, tidak lepas dari peran buku dan perpustakaan. Karena intelektualitas adalah ilusi tanpa melewati hal tersebut.

Namun, wacana itu tidak bersambut nyata setidaknya dalam mata seorang Halimah Garnasih. Perempuan asli Malang yang telah lama berkecimpung di dunia kepenulisan  selama tinggal di Yogyakarta merasa bahwa Malang sebagai kota pendidikan merupakan suatu hal yang kosong tanpa makna.

Penilaian itu, setidaknya ia dapatkan setelah berkeliling ke kampus-kampus di Malang. Alih-alih melihat sekumpulan mahasiswa dengan buku di tangan saat istirahat sebagaimana pemandangan yang kerap ditemukannya di kampus-kampus Jogja.

Perempuan ini melihat sebuah Mall yang berdiri tinggi tepat di depan salah-satu kampus. Sebuah Mall yang sangat akrab di telinga para mahasiswanya dan menjadi tempat nongkrong mingguan.

Halimah Garnasih bersama teman dosen di STAB Batu Malang, Efi Latifah, mulai menyalurkan kegelisahan itu. Kedua perempuan yang sama-sama berlatar akademisi sastra juga aktifis literasi mulai menyapa para pelajar di MAN I Malang, Sabtu (09/10/16).

Di kelas XI Ilmu Budaya dan Bahasa, Efi Latifah memberikan materi Pengantar Antropologi Sastra yang menjadi materi integratif Antropologi dan Sastra.

Pelajar tampak berminat dan senang difasilitasi oleh pemateri yang memiliki pengalaman praktis di dunia ini. Efi Latifah sering melakukan penelitian sastra dan telah banyak membimbing para mahasiswanya di bidang ini.

Kelas IX IBB ini akhirnya menjelma kelas yang lebih bergairah saat Halimah Garnasih mulai beraksi. Perempuan ini lebih terkesan sebagai seorang seniman di mata pelajar dan para guru di MAN I Malang ini.

“Sepatu kulitnya nyentrik dan vintage khas seniman,” ujar Sisko seorang guru pendatang yang hari itu juga kebagian masuk di salah satu kelas. Salah seorang pelajar juga menyatakan senang karena ngajarnya enak.

Pengalamannya menjadi Fasilitator di Komunitas Matapena Yogyakarta memang sudah tidak diragukan. Komunitas yang dikenal sebagai komunitas penulis pesantren ini juga sangat diakui sebagai komunitas paling kreatif.

“Mungkin karena kami basicnya santri, yang saat di Pesantren dengan realitas seperti itu, membuat kami menjadi kreatif. Santri itu unik!” ungkap Halimah, alumni pesantren Raudlatul Ulum I Ganjaran Gondanglegi Malang.

Komunitas Matapena memang memiliki banyak metode kreatif dalam setiap pelatihan kepenulisan. Setiap pelatihan selalu menggunakan metode kreatif yang berbeda, menyesuaikan peserta pelatihan. Baik dari segi umur, pengetahuan tentang sastra, bahasa, unsur antropologi dan seterusnya.

Halimah Garnasih menyampaikan materi Sastra Antropologi dengan metodenya yang khas, sembari masuk pada tujuan dasarnya: Menumbuhkan ghiroh melek literasi. Halimah semakin bersemangat saat wakil kelas mengabarkan bahwa tugas akhir pelajar di sini adalah membuat cerpen dan novel. Suatu hal yang unik di mata Co. Divisi Pendampingan dan Pelatihan Komunitas Matapena ini.

“Terimakasih untuk kedua pemateri. Anak-anak terlihat sangat semangat sekali ingin membaca dan menulis,” ungkap Ayu, guru Antropologi.

“Saya sebagai guru Bahasa Indonesia sangat terbantu oleh mbak Halimah,” sahut Zakiya, guru Bahasa Indonesia menambahkan. (ed)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar