Foto : Google |
Cerpen Kartika Catur Pelita
Aku
sedih sekali hari ini. Karena mimpi-mimpi burukku menjadi sebuah kenyataan: Papa dan Mama bercerai!
Setelah
beberapa bulan ini hari-hariku diwarnai pertengkaran mereka.
Aku
sedang makan mereka berantem. Aku sedang tidur mereka rebut. Bahkan aku sedang
belajar pun mereka adu
mulut. Benar-benar
kepalaku pusing deh.
Dan kini setelah mereka benar-benar bercerai, apakah
pusingku hilang? Nggak lah.
Malah pusingku bertambah, karena mereka kini
buntut dari perpisahan itu mereka memperebutkan hak asuh atas diriku.
“Papa
yang berhak membawa Eka, karena penghasilan Papa lebih besar. Papa bisa menyekolahkan Eka sampai tinggi. Bahkan
kalau perlu sampai ke luar negeri!”
“Enak
aja! Eh, mama yang melahirkan Eka. Jadi
mama lebih berhak atas dia. Walau gaji
Mama kecil, Mama pun sanggup untuk
memenuhi kebutuhan Eka, termasuk menyekolahkannya!”
Mama
ngotot!
Papa
melotot!
Aku
memilih berlari masuk ke kamar tidur.
Dalam kamarku aku mangis. Nggak apa-apa kan anak lelaki umur sepuluh tahun, duduk di bangku kelas IV SD-menangis kalau sedng sedih. Soalnya
sehabis menangis perasaan lega.
Pengadilan
Agama telah memutuskan perceraian Papa dan mama. Juga perwalian hak asuh atas
diriku, yang jatuh pada Papa! Dengan
alasan penghasilan Papa lebih besar daripada Mama. Tentu saja. Papa kan seorang direktur sebuah
Perusahaan Furniture. Mama seorang guru SMA.
Katanya
dengan kekayaannya, papa bisa
menjamin masa depanku. Tapi apakah masa
depanku terpenuhi hanya dengan harta banyak?
Aku
juga masih memerlukan kasih sayang seorang ibu. Belaian lembutnya. Aku teringat bila aku sakit,
mama yang merawat penuh kasih sayang.
“Makan
bubur ini, Sayang
supaya cepat sembuh. Mama suapin, yah, Sayang…”
Aku
menggeleng.
“Sedikit
saja sayang. Supaya perutmu ada isinya. Kalau kosong
ntar
dimasukin angin. Sakitnya nggak sembuh-sembuh dong.”
Akhirnya
karena dibujuk Mama aku mau makan juga, walau sedikit. Soalnya kalau sedang
sakit walaupun kita makan enak seperti pizza atau ayam goreng, tapi di mulut
rasanya pahit.
“Nah…kalau
begini kan sayang cepat sembuh. Cepat
bisa sekolah.”
Aku
tersenyum.
“Tahu
nggak saying seorang mama akan sangat sedih ketika buah hatinya sakit.”
Kini
aku harus berpisah dengan Mama. Sanggupkah aku hidup jauh darinya?
* * *
Dua
bulan sudah aku tinggal bersama Papa. Di lain kota, di sebuah rumah baru. Bersama mama baru pula!
Dia Tante Vira, sekretaris Papa!
Jadi
benar cerita Mama mereka bercerai karena Papa selingkuh? Untuk mengurusi
kebutuhanku sehari-hari ada pembantu.
Juga sopir yang mengantar-jemputku sekolah.
Namun
aku merasa hidupku hampa. Papa sibuk
dengan pekerjaannya. Sekadar menanyakan
PR pun tak sempat. Tidak seperti Mama yang selalu mengajariku bila ada
pelajaran atau PR yang kurang
kupahami.
Sementara
Mama Vira sih baik. Tak seperti ibu tiri
di dalam kisah Cinderella, atau Bawang
Merah-Bawang Putih. Tapi aku merasa asing dengannya.
Buntut
dari semuanya aku sering melamun. Hingga nilai pelajaranku turun. Dan aku jatuh
sakit. Papa khawatir. Apalagi saat dokter yang memeriksaku tidak menemukan penyakit serius pada diriku.
Kata
dokter aku sakit rindu karena ingin bertemu mama.
Ah,
kulihat dokter itu berbicara lama pada Papa. Sesekali mereka melirikku. Kulihat wajah Papa sedih.
Akhirnya
aku sembuh dari sakitku.
Hari
ini dengan diantar Papa aku bertemu mama. Dua bulan lebih -hanya terkadang mendengar suara mama di dalam telepon- kini ketika berada dalam pelukannya, aku merasa
bahagia.
“Mama
agak kurusan, ” kataku saat sudah puas memeluk Mama.
“Ya.
Karena mama memikirkanmu sayang.” Mama mengelus rambutku.
“Tapi
sekarang mama nggak perlu sedih lagi deh karena papa punya kebijakan
baru,” kataku kemudian.
“Oya?”
“Ya.
Ma. Menurut Papa Eka boleh bertemu dan
tinggal beberapa hari bersama mama bila Eka rindu.”
Mama
memelukku dengan mata berkaca-kaca. “Mama bahagia mendengarnya
sayang.”
Seperti
mama, aku pun bahagia mendengar kabar ini. Karena walaupun aku suka tinggal
bersama Papa dan Mama Vira-yang sayang
padaku, tapi toh aku tentu saja lebih
suka tinggal bersama Mama kandungku. Mama yang hidupnya sederhana, namun kasih
sayangnya tulus
padaku, tiada terhingga. (*)
Kota Ukir, 12
Maret 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar