Ia pemuda belia, tampan dan rupawan
putra Sunan Muria. Ia pemuda cerdas, sayang bengal. Bukan sekali dua kali, ia
mendapat petuah dari Bapanya, yang memiliki pesantren di puncak Gunung Muria.
“Bapa tak tahu lagi dengan cara apa
menyadarkanmu. Berulangkali Bapa mengingatkan agar kau tidak berbuat
jahat, kau tetap mengulangi keburukan.
Bapa baru saja mendapat laporan dari cantrik jika kau menyembunyikan alas kaki
orang-orang yang sedang sembahyang. Kau mengunduh lagi dosa, anakku.”
“Maafkan saya, bapa. Saya hanya iseng….”
“Keisengan yang membuat orang sengsara. Kau tahu, seorang santri yang alas
kakinya kau sembunyikan, kakinya tertusuk duri. Ia terluka parah, tak bisa
bekerja. Anak-istrinya tidak bisa makan. Duh anakku….”
“Maafkan ananda. Bapa.’
“Seorang santri lainnya mengabarkan,
kemarin malam kau sengaja menakuti santri perempuan dengan berpura-pura menjadi
pocong. Sehingga seorang santri jatuh pingsan.”
“Saya bersalah, bapa.”
“Subuh tadi kau juga mengganggu
kekhusyukan orang sembahyang. Kau
mengambil lidi dan menusuk-nusukkan pada bokong santri ketika mereka sujud.
Apakah kau tahu adalah perbuatan dosa besar ketika seorang muslim sedang sembahyang, menghadap
Allah, terus engkau sengaja menggoda kekhusukkannya. Duh anakku Amir Hasan Cah Bagus, bapa tak mengerti apa sebenarnya
maumu. Bapa akan mengirimmu ke pesantren Sunan Kudus. Bapa sudah minta tolong
pada pamanmu itu agar mendidikmu lebih baik. Bersiaplah, bakda Ashar nanti kita
berangkat. Bapa sendiri yang akan mengantarkanmu.”
“Saya menuruti perintah bapa. Hukuman
apapun ananda terima.”
“Ketahuilah anakku, ini bukan hukuman.
Bapa hanya ingin kau menjadi anak yang saleh. Satu hari jika kau sudah berubah,
pintu pasantren ini selalu terbuka menyambut kedatanganmu.”
* * *
Ia, pemuda berusia dua puluh dua tahun
yang tampan, kharismatik dan saleh. Dua belas tahun dalam gemblengan Sunan Kudus,
berhasil mengikis kebengalan yang pernah bersemayam dalam dirinya.
“Amir Hasan, bapa senang melihatmu
tumbuh seperti yang Bapa harapkan.”
“InsyaAllah, bapa. Ananda seperti ini
karena didikan Sunan Kudus, berkat petuah bapa, doa ibu, orang-orang yang
menyayangi ananda, semuanya atas hidayah Allah SWT.”
“Alhamdulillah.”
“Ananda ingin menuntut ilmu kembali di pesantren Muria jika
Bapa mengizinkan.”
“Bapa sangat senang mendengar keinginan
muliamu anakku. Ketahuilah Bapa memang akan mengutusmu untuk syiar ilmu agama
yang sudah kau peroleh selama mondok di pesantren pamanmu, Sunan Kudus.”
“Apa titah Bapa…?”
“Pergilah anakku, Amir Hasan, syiarkanlah
Islam pada sebuah pulau yang jika dilihat dari puncak Muria ini terlihat kremun-kremun.”
“Pulau kremun-kremun…”
“Naiklah pohon Nyamplungan itu. Lihatlah
pulau di utara laut Jawa yang terlihat samar-samar itu!” Sunan Muria menunjuk
sebuah pulau. Amir Hasan memandang lepas.
“Apakah kau sanggup anakku?”
“InsyaAllah Bapa.”
Pada hari yang ditentukan Amir Hasan pun
hendak berangkat ke tempat yang
dikendaki. Sunan Muria membekalinya dengan
beberapa amanat.
“Aku bawakan mustaka masjid ini. Jika
kau sudah sampai di sana, segera dirikanlah masjid sebagai tempat ibadah.
Bawalah tongkat Kalimasada pemberian kakekmu Sunan Kalijaga. Syiarkan
Islam pada penduduk pribumi. ”
“InsyaAllah Bapa.”
“Bapa juga bawakan beberapa biji pohon
Nyamplungan. Segera tanam pohon itu setiba kau di Pulau kremun-kremun. Kelak pohon Nyamplungan pertanda hubungan
kekerabatan leluhurmu di Muria ini.”
“InsyaAllah, Bapa.”
“Bapa juga mengutus dua orang abdi,
untuk melayani, menemanimu selama syiar. InsyaAllah perjalananmu selamat
dan harapan kita terkabul”
“InsyaAllah, bapa.”
“Syiarkanlah Islam pada masyarakat
jahiliyah di pulau kremun-kremun dengan damai.”
“Insya Allah.”
* * *
Perahu yang membawa Amir Hasan meninggalkan
bumi Muria. Perlahan mengarungi selat Muria, berlayar menuju pulau kremun-kremun. Ombak mengayun, angin
mengiringi laju. Semakin lama, semakin jauh.
Pada bibir pantai, Nyai Sunan Muria
menangis. “Duh, anakku, mengapa kau sudah berangkat. Ibu terlambat mengantarmu.“
Tersebutlah Nyai Sunan yang ketika sampai
di pantai, perahu yang membawa Amir Hasan sudah jauh berlayar. Perahu terlihat semakin
jauh, jauh, mengecil.
Nyai Sunan mengusap derai air mata. “Duh
putraku, aku terlambat melihatmu untuk yang terakhir kali. Aku tidak tahu,
apakah kelak masih melihatmu. Apakah kelak kita bertemu. Tapi aku mendoakanmu
di mana pun berada Gusti Allah selalu melindungimu Amir Hasan.”
Ia mengusap bungkusan yang dibawanya
sebagai bekal. Makna kesukannya putra tersayang. Pecel lele. Amir Hasan sudah pergi.
“Nyai….” para cantrik mengusap air mata,
turut terharu. Bagaimana pun mereka lah yang merawat Amir Hasan semenjak kecil.
Mereka sangat menyayangi Amir Hasan, walau kadang ia jahil.
“Duh putraku, Amir Hasan, di mana pun
kau berada, syiarkah Islam, penuhi amanat bapamu, ibu selalu mohon pada Gusti Allah,
melindungimu jalanmu.”
Para santri turut berdoa.
Perahu yang membawa Amir Hasan tinggallah
setitik noktah. Nyai Sunan Muria menghela nafas, mengusir gundah. ”Aku ikhlas
yang terjadi, pada jalan yang Kau gariskan untuk anakku ya Allah. Bertahun-tahun
aku tak melihatnya, kini ketika dia pulang sebentar, sudah meninggalkanku
entah kapan pulang. Namun demi syiar aku
ikhlas, rela. Semoga Engkau Yang Maha Agung selalu melindunginya.”
“Nyai Sunan bagaimana dengan makanan….?”
“Buanglah ke laut, semoga lele-lele itu
hidup dan mengawal, dan mengiringi
putraku Amir Hasan.”
Maka
pecel lele pun ditebarkan di lautan. Kau tahu, atas mukjizat Allah, lele-lele itu hidup kembali. Kelak
menempati sebuah tempat bernama Legon
Lele di Pulau kremun-kremun. Amir Hasan syiar Islam di pulau kremun-kremun,
yang kelak disebut sebagai Pulau Karimunjawa.
Syekh Amir Hasan mendapat julukan sebagai Sunan Nyamplungan.
Kota Ukir, 7 Januari-20 Januari 2014
*) Cerpen ini pernah dimuat edisi cetak Koran Muria.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar