Sunan Nyamplungan - Soeara Moeria

Breaking

Senin, 26 Oktober 2015

Sunan Nyamplungan


Cerpen Kartika Catur Pelita
 
Ia pemuda belia, tampan dan rupawan putra Sunan Muria. Ia pemuda cerdas, sayang bengal. Bukan sekali dua kali, ia mendapat petuah dari Bapanya, yang memiliki pesantren di puncak Gunung Muria.

“Bapa tak tahu lagi dengan cara apa menyadarkanmu. Berulangkali Bapa mengingatkan agar kau tidak berbuat jahat,  kau tetap mengulangi keburukan. Bapa baru saja mendapat laporan dari cantrik jika kau menyembunyikan alas kaki orang-orang yang sedang sembahyang. Kau mengunduh lagi dosa, anakku.”
  
“Maafkan saya, bapa. Saya hanya iseng….”
  
“Keisengan yang membuat orang  sengsara. Kau tahu, seorang santri yang alas kakinya kau sembunyikan, kakinya tertusuk duri. Ia terluka parah, tak bisa bekerja. Anak-istrinya tidak bisa makan. Duh anakku….”
  
“Maafkan ananda. Bapa.’
  
“Seorang santri lainnya mengabarkan, kemarin malam kau sengaja menakuti santri perempuan dengan berpura-pura menjadi pocong. Sehingga seorang santri jatuh pingsan.”
  
“Saya bersalah, bapa.”
  
“Subuh tadi kau juga mengganggu kekhusyukan  orang sembahyang. Kau mengambil lidi dan menusuk-nusukkan pada bokong santri ketika mereka sujud. Apakah kau tahu adalah perbuatan dosa besar ketika  seorang muslim sedang sembahyang, menghadap Allah, terus engkau sengaja menggoda kekhusukkannya. Duh anakku Amir Hasan Cah Bagus, bapa tak mengerti apa sebenarnya maumu. Bapa akan mengirimmu ke pesantren Sunan Kudus. Bapa sudah minta tolong pada pamanmu itu agar mendidikmu lebih baik. Bersiaplah, bakda Ashar nanti kita berangkat. Bapa sendiri yang akan mengantarkanmu.”
  
“Saya menuruti perintah bapa. Hukuman apapun ananda terima.”
  
“Ketahuilah anakku, ini bukan hukuman. Bapa hanya ingin kau menjadi anak yang saleh. Satu hari jika kau sudah berubah, pintu pasantren ini selalu terbuka menyambut kedatanganmu.”

* * *
  
Ia, pemuda berusia dua puluh dua tahun yang tampan, kharismatik dan saleh. Dua belas tahun dalam gemblengan Sunan Kudus,  berhasil mengikis kebengalan yang pernah bersemayam dalam dirinya.
 
“Amir Hasan, bapa senang melihatmu tumbuh seperti yang Bapa harapkan.”
  
“InsyaAllah, bapa. Ananda seperti ini karena didikan Sunan Kudus, berkat petuah bapa, doa ibu, orang-orang yang menyayangi ananda, semuanya atas hidayah Allah SWT.”
    
“Alhamdulillah.”
   
“Ananda ingin  menuntut ilmu kembali di pesantren Muria jika Bapa mengizinkan.”
  
“Bapa sangat senang mendengar keinginan muliamu anakku. Ketahuilah Bapa memang akan mengutusmu untuk syiar ilmu agama yang sudah kau peroleh selama mondok di pesantren pamanmu, Sunan Kudus.”
   
“Apa titah Bapa…?”
   
“Pergilah anakku, Amir Hasan, syiarkanlah Islam pada sebuah pulau yang jika dilihat dari puncak Muria ini  terlihat kremun-kremun.”
    
“Pulau kremun-kremun…”
    
“Naiklah pohon Nyamplungan itu. Lihatlah pulau di utara laut Jawa yang terlihat samar-samar itu!” Sunan Muria menunjuk sebuah pulau. Amir Hasan  memandang  lepas.
     
“Apakah kau sanggup anakku?”
    
“InsyaAllah Bapa.”
      
Pada hari yang ditentukan Amir Hasan pun  hendak berangkat ke tempat yang dikendaki. Sunan Muria membekalinya dengan   beberapa amanat.
  
“Aku bawakan mustaka masjid ini. Jika kau sudah sampai di sana, segera dirikanlah masjid sebagai tempat ibadah. Bawalah tongkat Kalimasada pemberian kakekmu Sunan Kalijaga. Syiarkan Islam  pada penduduk  pribumi. ”
  
“InsyaAllah Bapa.”
  
“Bapa juga bawakan beberapa biji pohon Nyamplungan. Segera tanam pohon itu setiba kau di Pulau kremun-kremun. Kelak pohon Nyamplungan pertanda hubungan kekerabatan  leluhurmu di Muria ini.”
  
“InsyaAllah, Bapa.”
  
“Bapa juga mengutus dua orang abdi, untuk melayani, menemanimu selama syiar. InsyaAllah perjalananmu selamat dan  harapan kita terkabul”
   
“InsyaAllah, bapa.”
   
“Syiarkanlah Islam pada masyarakat jahiliyah  di pulau kremun-kremun dengan damai.”
     
“Insya Allah.”
* * *
      
Perahu yang membawa Amir Hasan meninggalkan bumi Muria. Perlahan mengarungi selat Muria, berlayar menuju pulau kremun-kremun. Ombak mengayun, angin mengiringi laju. Semakin lama, semakin  jauh.
     
Pada bibir pantai, Nyai Sunan Muria menangis. “Duh, anakku, mengapa kau sudah berangkat. Ibu terlambat mengantarmu.“ Tersebutlah Nyai Sunan yang  ketika sampai di pantai, perahu yang membawa Amir Hasan  sudah jauh berlayar. Perahu terlihat semakin jauh, jauh, mengecil.
   
Nyai Sunan mengusap derai air mata. “Duh putraku, aku terlambat melihatmu untuk yang terakhir kali. Aku tidak tahu, apakah kelak masih melihatmu. Apakah kelak kita bertemu. Tapi aku mendoakanmu di mana pun berada Gusti Allah selalu melindungimu Amir Hasan.”
    
Ia mengusap bungkusan yang dibawanya sebagai bekal. Makna kesukannya putra tersayang. Pecel lele. Amir Hasan  sudah pergi.
  
“Nyai….” para cantrik mengusap air mata, turut terharu. Bagaimana pun mereka lah yang merawat Amir Hasan semenjak kecil. Mereka sangat menyayangi Amir Hasan, walau kadang ia jahil.
    
“Duh putraku, Amir Hasan, di mana pun kau berada, syiarkah Islam, penuhi amanat bapamu,  ibu selalu mohon pada Gusti Allah, melindungimu jalanmu.”
      
Para santri turut berdoa.
     
Perahu yang membawa Amir Hasan tinggallah setitik noktah. Nyai Sunan Muria menghela nafas, mengusir gundah. ”Aku ikhlas yang terjadi, pada jalan yang Kau gariskan untuk anakku ya Allah. Bertahun-tahun aku tak melihatnya, kini ketika dia pulang sebentar, sudah meninggalkanku entah   kapan pulang. Namun demi syiar aku ikhlas, rela. Semoga Engkau Yang Maha Agung selalu melindunginya.”
      
“Nyai Sunan bagaimana dengan makanan….?”
     
“Buanglah ke laut, semoga lele-lele itu hidup  dan mengawal, dan mengiringi putraku Amir Hasan.”
       
Maka  pecel lele pun ditebarkan di lautan. Kau tahu, atas mukjizat Allah,  lele-lele itu hidup kembali. Kelak menempati  sebuah tempat bernama Legon Lele di Pulau  kremun-kremun.  Amir Hasan  syiar Islam di  pulau kremun-kremun, yang kelak disebut  sebagai Pulau Karimunjawa. Syekh Amir Hasan mendapat julukan sebagai Sunan Nyamplungan.

Kota Ukir, 7 Januari-20 Januari 2014

*) Cerpen ini pernah dimuat edisi cetak Koran Muria.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar