Tiga Ciri Islam Nusantara Menurut Ulil Abshor Abdalla - Soeara Moeria

Breaking

Kamis, 03 September 2015

Tiga Ciri Islam Nusantara Menurut Ulil Abshor Abdalla

Kudus, soearamoeria.com
Ulil Abshor Abdalla, aktivis muda NU didaulat untuk menjadi pembicara dalam Stadium General “Memperbincangkan Islam Arab dan Islam Nusantara” yang berlangsung di GOR STAIN Kudus, Selasa (01/09).

Dalam kesempatan ini lelaki 48 tahun ini menyebutkan tiga ciri-ciri Islam Nusantara. Pertama, peran perempuan di ruang publik. Perempuan di Indonesia bukanlah makhluk domestik. Jika di Arab kaum hawa tidak boleh menyetir mobil. Di sini (Indonesia, red) mantan Ketua Lakpesdam menyatakan kaum perempuannya boleh mengendarai motor, sepeda, mobil maupun jadi tukang ojek sekali pun.   

Sehingga di tempat ia tinggal, di Bekasi, dirinya terheran-heran dengan perempuan bercadar sembari naik sepeda motor juga berjualan sayur. “Pemandangan ini hanya kita bisa temukan di Nusantara,” papar pada 2500 mahasiswa yang memadati GOR.

Di negara Timur Tengah, jelasnya mereka (perempuan, red) sebagai perempuan domestik. Perempuan rumahan atau konco wingking. “Tetapi di Indonesia itu mengagetkan jelas sebagai kombinasi yang janggal,” tambah lelaki asal Pati, Jawa Tengah.

Perempuan di belahan Nusantara boleh saja meminjam nomenklatur negara lain tetapi ia tegaskan mereka harus menyesuaikan diri dengan budaya bangsa. Yakni bisa bekerja di ruang publik laiknya kaum adam.

Hebatnya lagi, perempuan di masa Kerajaan Islam Pasai pernah dipimpin oleh Ratu perempuan. Begitu pula di Indonesia pernah dipimpin Presiden perempuan meski hanya sementara. Hal ini jelas berbeda di negara adi kuasa, Amerika tidak pernah dipimpin perempuan.

Kedua, Islam yang cinta damai bukan mengajak perang. Islam datang ke India, Pakistan, Afganistan serta Afrika Utara dengan jalur perang. Tetapi Islam masuk ke Nusantara melalui pedagang, juru dakwah dan ulama. Mereka berasal dari Persia, Arab, Yaman, India dan sebagainya. Alhasil, Islam yang dibawa ke Indonesia tidak suka rebut tetapi suka perdamaian.

Terakhir, berdamai dengan kekuasaan politik yang ada. “Yaitu menerima NKRI bukan menerima dasar negara yang lain,” papar menantu KH Mustofa Bisri.
Mengakui NKRI bagi dia sama artinya dengan menjalankan ruh Islam. Menjalakan etika Islam universal. Begitu pula dengan mengakui demokrasi, pemilu, partai politik, KPK dan sebagainya.

“Kita harus mampu mempertahankan dan memperjuangkan etika Islam. Visi Islam yang universal. Islam yang kontekstual yang rahmatan lil alamin. Membuat tersenyum seluruh elemen bangsa yang dilandasi dengan cinta kasih dan kasih sayang terhadap sesama,” pungkas Ulil yang juga politisi Partai Demokrat. (qim)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar