Kudus,
soearamoeria.com
Ulil
Abshor Abdalla, aktivis muda NU didaulat untuk menjadi pembicara dalam Stadium
General “Memperbincangkan Islam Arab dan
Islam Nusantara” yang berlangsung di GOR STAIN Kudus, Selasa (01/09).
Dalam
kesempatan ini lelaki 48 tahun ini menyebutkan tiga ciri-ciri Islam Nusantara.
Pertama, peran perempuan di ruang publik. Perempuan di Indonesia bukanlah
makhluk domestik. Jika di Arab kaum hawa tidak boleh menyetir mobil. Di sini
(Indonesia, red) mantan Ketua Lakpesdam menyatakan kaum perempuannya boleh
mengendarai motor, sepeda, mobil maupun jadi tukang ojek sekali pun.
Sehingga
di tempat ia tinggal, di Bekasi, dirinya terheran-heran dengan perempuan
bercadar sembari naik sepeda motor juga berjualan sayur. “Pemandangan ini hanya
kita bisa temukan di Nusantara,” papar pada 2500 mahasiswa yang memadati GOR.
Di
negara Timur Tengah, jelasnya mereka (perempuan, red) sebagai perempuan
domestik. Perempuan rumahan atau konco
wingking. “Tetapi di Indonesia itu mengagetkan jelas sebagai kombinasi yang
janggal,” tambah lelaki asal Pati, Jawa Tengah.
Perempuan
di belahan Nusantara boleh saja meminjam nomenklatur negara lain tetapi ia
tegaskan mereka harus menyesuaikan diri dengan budaya bangsa. Yakni bisa
bekerja di ruang publik laiknya kaum adam.
Hebatnya
lagi, perempuan di masa Kerajaan Islam Pasai pernah dipimpin oleh Ratu
perempuan. Begitu pula di Indonesia pernah dipimpin Presiden perempuan meski
hanya sementara. Hal ini jelas berbeda di negara adi kuasa, Amerika tidak
pernah dipimpin perempuan.
Kedua, Islam yang cinta damai bukan
mengajak perang. Islam datang ke India, Pakistan, Afganistan serta Afrika Utara
dengan jalur perang. Tetapi Islam masuk ke Nusantara melalui pedagang, juru
dakwah dan ulama. Mereka berasal dari Persia, Arab, Yaman, India dan
sebagainya. Alhasil, Islam yang
dibawa ke Indonesia tidak suka rebut tetapi suka perdamaian.
Terakhir,
berdamai dengan kekuasaan politik yang ada. “Yaitu menerima NKRI bukan menerima
dasar negara yang lain,” papar menantu KH Mustofa Bisri.
Mengakui
NKRI bagi dia sama artinya dengan menjalankan ruh Islam. Menjalakan etika Islam
universal. Begitu pula dengan mengakui demokrasi, pemilu, partai politik, KPK
dan sebagainya.
“Kita
harus mampu mempertahankan dan memperjuangkan etika Islam. Visi Islam yang
universal. Islam yang kontekstual yang rahmatan
lil alamin. Membuat tersenyum seluruh elemen bangsa yang dilandasi dengan
cinta kasih dan kasih sayang terhadap sesama,” pungkas Ulil yang juga politisi
Partai Demokrat. (qim)